Langsung ke konten utama

Tiga Belas Memberi Kode #2 (307)

#Part 02


Foto latar: Aslin Hasdi

Air mata telah jadi mata air. Lalu kering lagi jadi tandus dan gersang berkepanjangan di bulan Desember. Sebuah urutan bulan sebagai puncak hitungan dari kecil ke besar, maka aku mampu duduk menunggu bergantinya hari; bergantinya bulan; bergantinya tahun. Tapi dalam hati kecilku, belum mampu merelakan pergi apalagi berharap datang.

Akulah sang mata permai hidup di kerasnya puncak menara dua jari. Ibarat aliran yang dengan sontak suara menghantam getarkan tanah, basuhi keringat. Ketika mendengar iringan melodi kucikan gitar lantunan hati. Tapi saat ini, kumenutup segala ruang; kurapikan segala yang berserak. Tak buka sedikit pun celah sampai masuk mendinginkan kondisiku. Sebab inginku adalah sang waktu sebagai pengadilan setia. Lalu bunyi palu diketuk oleh menit-menit penungguan persembahan kata sepakat.

Ketika langkah dengan cepat melewati batas dua yang siap kurajut. Kau mengelak.

"Far...!!!"

"Jangan terburu-buru. Cukuplah dengan perlahan. Biar ketenangan membawa damai sebagi teman bernapas"

Tapi percayaku masih tetap pada kerendahan hati. Duniaku telah dilalui oleh puluhan, ribuan, ratusan, dan milyaran doa serta semangat disuguhkan tiada henti. Lalu sebagai bentuk jawaban. Kukirimi diri dalam balasan keluhmu.

"Yakinkan aku dengan percayamu. Aku tetap fokus. Karena buru-buru adalah laranganmu".

Tapi heranku kenapa kau selalu mengirim lambang tepuk tangan? Apakah ini sebagai kekaguman? Atau memang salah satu apresiasi. Rupanya tangan ini, tak bisa bersemayam. Karena rintihan memanggil dengan keras untuk selalu mengingat dan tetap fokus. Semua diartikan dari makna; dari hasil analisis dengan pendalaman jiwa yang tak ada duanya. Tapi masih dengan tanda tanya. Pertanyaan-pertanyan akan segera berarkhir, bila kata kunci dan batasan memberi sinyal berhenti. Maka tak ada kelanjutan berharap banyak.

Elakan sering kali berlaku menimpah. Menepis segala yang dianggap inti. Biar bangkitkan kesan bernyawa. Apalagi tentang nuansa yang harus ditranformasikan melalui rasa; melalui getaran; melalui kedalaman hening. Rupanya belum tepat tuangkan keadaan sudah mulai terganggu. Karena pertemuan satu kali tak bisa menjamin kepercayaan yang tinggi. Hanya bisa dituang dalam kalimah penggugah dalam waktu pukul satu lewat dua puluh empat menit.

Semakin larut, mata tak bisa diajak segera pergi; segera menutup untuk tetap tegar di esok hari. Tapi pesanmu untukku cukup mendewasakan mengalihkan kata.

"Silakan tuangkan rasamu di atas tulisan."

Itulah pesanmu yang kupegang sebagai jembatan penghubung. Walau perlahan kubangun dengan sendiri.

Sekiranya rasa bukan hanya dari satu orang. Apalagi ini antara aku dan calon profesor. Ia adalah alasan catatan terus berlanjut. Ini bukan hanya tentang hati; tentang rasa; tentang pengakuan. Tapi semuanya adalah cara berbagi sebagai manusia. Sebab aku dan dia sama-sama memegang prinsip 'sama-sama berbagi dan saling memberi tentang ilmu pengetahuan'. Itulah alasan tanpa henti hingga terus mengganggu.

Ketika memori pijakan dasarmu tertarik pada sebuah kesukaan materi. Maka tak heran bila dengan cepat kugolongkan, kesukanmu tak mampu dibuktikan dalam dunia realitas. Tapi inilah kehendak manusia; inilah kesukaan manusia. Sebagai manusia harus bebas dan merdeka dari dalam pikiran. Jangan sampai kebebasan di dalam wilayah berpikir pun dibatasi.

"Apa materi yang paling disukai dalam organisasi?"

Dengan cepat kau balas, "Kerangka Berpikir Ilmiah."

"Asik..." Kudorong dengan memotivasi. Sambil kulayangkan. "Apa pijakannya berpikir?"

Bila diputar lagi kembali arah jarum penenang sukma, maka ingatan tetap melekat dengan dua gigi taring yang ditutupi hijab. Sebuah penjagaan dilakukan lewat cara berpakian. Karena penampilan sopan, sederhana, dan menutup aurat. Maka akan menghindari niat buruk dari mata; dari pandangan seseorang yang berniat jahat. Belum lagi pendekatan agama sebagai keyakinan kuatku sebagai sang perantau. Sebagai seorang mahasiswi yang kelak akan jadi tenaga pendidik.

Prinsip paten yang selalu dibahasakan ' Setiap orang adalah guru, setiap rumah adalah sekolah' merupakan kunci dan pegangan. Inilah nilai yang tak bisa ditawar-tawar. Menjadi keharusan ketika siapa saja harus dijalin tali silahturahmi. Apalagi yang dibahas adalah hal berguna. Maka gumamku pada suatu ketika atas lelaki yang dinamai Fajar.

"Tidak ada kata bosan ketika yang dibahas adalah hal bermanfaat."

Menunggu jawaban pijakan berpikir tak kunjung dicurahan. Rupanya ada rasa segan atau malu-malu bila mencoba menebak.

"Bagaimana pantai sebagai tempat curahan mampu memberi jawaban?"

Ternyata tak mampu yang mati bersuara. Hanya suara gemuruh ombak yang didengar untuk tenangkan pikiran. Tapi janjiku akan kukabari setelah sudah siap.

Malam begitu lama kumengusir untuk pergi. Hingga kubalas kalau rasa kantukku belum datang. Ia belum mengajakku untuk meraih mimpi. Malah mimpi menahanku agar memberi kabar dan mendengar sebanyak-banyaknya atas lemparan pertanyaan dengan hitungan sembilan angka. Yang dimulai dengan kata tanya 'bagaimana' dan diakhiri dengan kata tanya 'berapa'.

Kalau disusun dari pertanyaan pertama, maka akan berbentuk seperti garis-garis gelombang yang langsung hilang. Tapi gelombang tak mampu menghilangkan pantai. Apalagi menghabiskan pasir yang jumlahnya tak dapat dihitung dengan tangan manusia.

"Bagaimana dengan pantai sebagai tempat kesuakaan?" tanyaku padamu.

"Aku suka pantai, walau pantai identik dengan tidak adanya lagi cahaya untuk dunia. Hanya saja saya suka dengar deruan ombaknya."

Dari jawaban yang kau poles dengan nadi bernada, maka segera hari kesukaanmu telah lewat. Sebab hari ini adalah hari Minggu. Berarti sudah melewatkan dua hari. Belum kuketahui secara pasti. Kenapa kau memilih hari Jumat sebagai hari kesukaanmu? Apakah tak ada lagi hari lain yang lebih indah? Kalau pun ada, maka aku pun ingin ketahui kesukaanmu yang kedua, tapi bukan kuberharap banyak untuk membongkar. Setidaknya, dirimu kujadikan sebatang harapan seperti cahaya. Lalu terangkan kulit dan keringatku yang sudah banyak menetes karena bermain dengan terangnya hari.

Tapi ketika usia telah lewat dari 15 tahun dikalkulasikan dengan jumlah tahun lahir, maka ada kode angka delapan yang menggambarkan usiaku telah lewat. Berarti usia matangku belum juga sepucuk lamaran datang menghampir. Lalu mengajakku bermain dengan bahagia. Tapi tetap memilih sendiri sebagai jalan. Biarkan waktu yang menjawab. Karena lelaki tak lagi kupercayai kalau hanya sebatas berbicara. Yang dibutuhkan adalah gagasan mampu disinergiskan dengan tindakan. Maka kuangkat tangan memberi tepukan hangat sebagai kekaguman yang ke sekian.

Makassar
Minggu, 6 Mei 2018
By: Djik22

Komentar

Populer

FILOSOFI DAUN PISANG

Harapan dan mimpi dari setiap kepala tidak semua terpenuhi dengan usaha dan praktik. Tapi masih membutuhkan untuk saling dekat dan merespon segala polomik. Di masa yang akhir ini, perutmu telah melahirkan bayi yang masih merangkak dipaksa berjalan di kerikil jalan persimpangan. Dari rawat dan buaian, telah membuka mata batin, mengevaluasi adalah jalan yang tepat. Karena kurangnya menilai dari setiap sisi. Sehingga lahir dua persimpangan kiri kanan jalan. Mata telah terang, langkah sudah tepat, bersama sudah terpupuk, kesadaran mulai bangkit. Berdiri dan bergerak. Saatnya cahaya jadi penerang. Titipan amanah 20 21 11 14 jadi bahan belajar bersama. Filosofi "Daun Pisang dan Bidikan Panah yang Tepat" telah ditemui jawaban dan makna yang dalam. Dia bukan sekedar kata, tapi dialah nyawa setiap yang di dalam. Makassar, April 2017 By: Djik22

TOGAKU TAK IBU SAKSIKAN

Perjuanganmu ibu Mengantarkanku meraih mimpi Mataku lembab berhari-hari Setiap saat mengingat ibu Harapan ibu Aku tetap kuat Aku tetap melaju Tapi ibu Saat bahagiaku Takku tatap lagi ibu Wajah bersinar hadir dalam mimpiku Kala itu ibu Ibu Toga dan pakian kebahagiaanku Semua untuk ibu Togaku tak ibu saksikan Karena ibu telah tiada Yakinku ibu senyum melihatnya Tetap tersenyum di sisiku ibu Dua puluh tiga November dua ribu tiga belas Dua kali dengan angka tiga Ibu telah berbaring bergegas Makassar Minggu, 1 Oktober 2017 By: Djik22

PERLUKAH JEMBATAN PALMERAH?

Sedikit menggelitik, ketika wacana pembangunan jembatan Palmerah. Wacana ini, hadir di beberapa tahun terakir. Di tahun 2017, tidak kala seksi pendiskusian jembatan Palmerah. Maka muncullah pro dan kontra. Padahal merefleksikan wacana ini sangat penting. Kenapa Wacananya Jembatan Palmerah? Mari kita menganalisa secara seksama. Pertama, jembatan Palmerah adalah sejarah pertama di Indonesia bila terbangun. Karena menyambungkan dua pulau, yaitu Pulau Adonara dan Pulau Flores (Larantuka). Jarak jembatan Palmerah dengan panjang bentangan 800 meter akan dipasang turbin 400 meter. Kedua, persoalan proses pembangunan jembatan Palmerah dibutuhkan dana tidak sedikit. Diperkirakan dana mencapai Rp. 51 triliun. Hal ini, perlu dipikirkan. Karena Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi NTT pada tahun 2016 hanya mencapai Rp. 3,8 triliun. Sama halnya pemerintah mengajak kita mengutang dengan investor (swasta). Ketiga, jembatan Palmerah bukan proses meninabobokan masyarakat Flores Timur

ADONARA DALAM PUISI

Petuah kata sejarah Masih temani kaki untuk melangkah Dalam bayang-bayang ibu kuatkan hari Dalam jelmaan ayah pancarkan cahaya hati Hingga tebal awan kota Ingatkan suasan desa Dihimpit berdiri megahnya Ile Boleng Didekatkan Bukit Seburi tanah kampung Karena kitalah gunung yang berdiri Karena kitalah bukit yang menyapa Membawa bisikan bahari Ketika menghadap ke arah pantai Sampai kata dan petuah terus mengikut Wariskan api dari generasi ke generasi Tentang pentingnya menjaga kata Tentang indahnya memakai tenun ikat Maka... Tak kulupakan petuah indah dan keramat Tak kuingkari segala kata-kata bernyawa Di atas alam ditaburi darah dan air mata Karena air mata Bukan hanya tentang tangisan Bukan hanya tentang derita tanpa rasa Namun air mata darah tanda perjuangan Maka... Untuk mengingatmu yang di gunung Untuk mengenangmu yang di pantai Aku mengisi kata-kata lewat puisi Karena darah dan bisikan kata terus diasa Biar perang telah terganti buka dan pena

ANTARA (576)

Sering ada perbandingan pada kata 'antara' ketika diapit oleh kalimat. Antara kau dan aku ternyata banyak perbedaan, antara kau dan dia memiliki banyak kesamaan. Antara pacar dan mantan adalah orang yang pernah berlabu dan sementara bertahan. Baik terkandas di tengah jalan, mau pun mampu melewati batas getir yang melampau kesabaran. Namun, pada kata 'antara' seolah jadi misteri yang tersembunyi. Serupa kolom kosong yang disembunyikan dengan untain doa. Lalu, dipercaya menjadi sebuah legenda atau mitos. Bagaimana sesuatu yang dipercaya tapi tak pernah diinderai? Apakah setan yang berpenampilan putih pada malam Jumat hanya menakut-nakuti? Kemudian muncul pertanyaan, siapa yang menjahit pakian putih yang dipakai setan? Ulasan ini, aku dapati saat duduk di bangku SD. Sang guru selalu menakut-nakuti pada setiap siswa. Bahwa malam Jumat selalu ada tanda ketika melewati tempat-tempat gelap. Saat itu, aku dan kawan-kawan sebayaku selalu percaya. Namun, batang hidung p

KARYAMU TETAP MEMIKAT

Foto: Abdul Rahim (Khalifah05) Ketika doa-doa Telah kau panjat Dengan lemah-lembut Pada Tuhan Yang Esa Tak lupa pula Pintamu Pada para pendahulu Dengan merinding bulu-bulu Begitu dalam penghayatan Bersama angin Bersama waktu Bercampur masa lalu Maka... Yakin pun mendalam Tak secuil akan buram Tampak pada kaca belaka Namun ia selalu melekat Selalu mempererat Antara roh dan jasat Hingga karyamu tetap memikat Makassar Jumat, 21 September 2018 By: Djik22

PEMUDA SAHABAT PERUBAHAN (397)

Indonesia adalah negara yang terdiri dari ragam perbedaan. Baik suku, ras agama, budaya, dan corak berpikir. Inilah bagian kekhasan dari bangsa ini. Dengan kekhasan tersebut, maka tak heran bangsa Indonesia dikenal dengan kemajemukan dan menjujung tinggi perbedaan. Sebab perbedaan adalah varian dari semangat menuju persatuan. Belum lagi menerobos batas wilayah yang terdiri dari beberapa provinsi. Perlu kita menelisik lebih jauh lagi tentang bagaimana membangun tatanan bangsa. Supaya mampu keluar dari zona ketertinggalan. Ternyata, ketertinggalan adalah salah satu masalah dari apa yang dirasakan setelah revolusi Indonesia didengungkan. Walau merdeka secara pengakuan sudah memhudata sampai ke telinga anak cucu. Tapi pertanyaan besar yang harus dijawab, Kenapa merdeka secara praktik/ penerapan jauh panggang dari api? Ketika secara penerapan dalam kehidupan berbangsa mulai melenceng dengan dasar negara, maka harus kembali mengamalkan nilai-nilai kebaikan yang telah diletakan oleh