Air mata telah jadi mata air. Lalu kering lagi jadi tandus dan gersang berkepanjangan di bulan Desember. Sebuah urutan bulan sebagai puncak hitungan dari kecil ke besar, maka aku mampu duduk menunggu bergantinya hari; bergantinya bulan; bergantinya tahun. Tapi dalam hati kecilku, belum mampu merelakan pergi apalagi berharap datang.
Akulah sang mata permai hidup di kerasnya puncak menara dua jari. Ibarat aliran yang dengan sontak suara menghantam getarkan tanah, basuhi keringat. Ketika mendengar iringan melodi kucikan gitar lantunan hati. Tapi saat ini, kumenutup segala ruang; kurapikan segala yang berserak. Tak buka sedikit pun celah sampai masuk mendinginkan kondisiku. Sebab inginku adalah sang waktu sebagai pengadilan setia. Lalu bunyi palu diketuk oleh menit-menit penungguan persembahan kata sepakat.
Ketika langkah dengan cepat melewati batas dua yang siap kurajut. Kau mengelak.
"Far...!!!"
"Jangan terburu-buru. Cukuplah dengan perlahan. Biar ketenangan membawa damai sebagi teman bernapas"
Tapi percayaku masih tetap pada kerendahan hati. Duniaku telah dilalui oleh puluhan, ribuan, ratusan, dan milyaran doa serta semangat disuguhkan tiada henti. Lalu sebagai bentuk jawaban. Kukirimi diri dalam balasan keluhmu.
"Yakinkan aku dengan percayamu. Aku tetap fokus. Karena buru-buru adalah laranganmu".
Tapi heranku kenapa kau selalu mengirim lambang tepuk tangan? Apakah ini sebagai kekaguman? Atau memang salah satu apresiasi. Rupanya tangan ini, tak bisa bersemayam. Karena rintihan memanggil dengan keras untuk selalu mengingat dan tetap fokus. Semua diartikan dari makna; dari hasil analisis dengan pendalaman jiwa yang tak ada duanya. Tapi masih dengan tanda tanya. Pertanyaan-pertanyan akan segera berarkhir, bila kata kunci dan batasan memberi sinyal berhenti. Maka tak ada kelanjutan berharap banyak.
Elakan sering kali berlaku menimpah. Menepis segala yang dianggap inti. Biar bangkitkan kesan bernyawa. Apalagi tentang nuansa yang harus ditranformasikan melalui rasa; melalui getaran; melalui kedalaman hening. Rupanya belum tepat tuangkan keadaan sudah mulai terganggu. Karena pertemuan satu kali tak bisa menjamin kepercayaan yang tinggi. Hanya bisa dituang dalam kalimah penggugah dalam waktu pukul satu lewat dua puluh empat menit.
Semakin larut, mata tak bisa diajak segera pergi; segera menutup untuk tetap tegar di esok hari. Tapi pesanmu untukku cukup mendewasakan mengalihkan kata.
"Silakan tuangkan rasamu di atas tulisan."
Itulah pesanmu yang kupegang sebagai jembatan penghubung. Walau perlahan kubangun dengan sendiri.
Sekiranya rasa bukan hanya dari satu orang. Apalagi ini antara aku dan calon profesor. Ia adalah alasan catatan terus berlanjut. Ini bukan hanya tentang hati; tentang rasa; tentang pengakuan. Tapi semuanya adalah cara berbagi sebagai manusia. Sebab aku dan dia sama-sama memegang prinsip 'sama-sama berbagi dan saling memberi tentang ilmu pengetahuan'. Itulah alasan tanpa henti hingga terus mengganggu.
Ketika memori pijakan dasarmu tertarik pada sebuah kesukaan materi. Maka tak heran bila dengan cepat kugolongkan, kesukanmu tak mampu dibuktikan dalam dunia realitas. Tapi inilah kehendak manusia; inilah kesukaan manusia. Sebagai manusia harus bebas dan merdeka dari dalam pikiran. Jangan sampai kebebasan di dalam wilayah berpikir pun dibatasi.
"Apa materi yang paling disukai dalam organisasi?"
Dengan cepat kau balas, "Kerangka Berpikir Ilmiah."
"Asik..." Kudorong dengan memotivasi. Sambil kulayangkan. "Apa pijakannya berpikir?"
Bila diputar lagi kembali arah jarum penenang sukma, maka ingatan tetap melekat dengan dua gigi taring yang ditutupi hijab. Sebuah penjagaan dilakukan lewat cara berpakian. Karena penampilan sopan, sederhana, dan menutup aurat. Maka akan menghindari niat buruk dari mata; dari pandangan seseorang yang berniat jahat. Belum lagi pendekatan agama sebagai keyakinan kuatku sebagai sang perantau. Sebagai seorang mahasiswi yang kelak akan jadi tenaga pendidik.
Prinsip paten yang selalu dibahasakan ' Setiap orang adalah guru, setiap rumah adalah sekolah' merupakan kunci dan pegangan. Inilah nilai yang tak bisa ditawar-tawar. Menjadi keharusan ketika siapa saja harus dijalin tali silahturahmi. Apalagi yang dibahas adalah hal berguna. Maka gumamku pada suatu ketika atas lelaki yang dinamai Fajar.
"Tidak ada kata bosan ketika yang dibahas adalah hal bermanfaat."
Menunggu jawaban pijakan berpikir tak kunjung dicurahan. Rupanya ada rasa segan atau malu-malu bila mencoba menebak.
"Bagaimana pantai sebagai tempat curahan mampu memberi jawaban?"
Ternyata tak mampu yang mati bersuara. Hanya suara gemuruh ombak yang didengar untuk tenangkan pikiran. Tapi janjiku akan kukabari setelah sudah siap.
Malam begitu lama kumengusir untuk pergi. Hingga kubalas kalau rasa kantukku belum datang. Ia belum mengajakku untuk meraih mimpi. Malah mimpi menahanku agar memberi kabar dan mendengar sebanyak-banyaknya atas lemparan pertanyaan dengan hitungan sembilan angka. Yang dimulai dengan kata tanya 'bagaimana' dan diakhiri dengan kata tanya 'berapa'.
Kalau disusun dari pertanyaan pertama, maka akan berbentuk seperti garis-garis gelombang yang langsung hilang. Tapi gelombang tak mampu menghilangkan pantai. Apalagi menghabiskan pasir yang jumlahnya tak dapat dihitung dengan tangan manusia.
"Bagaimana dengan pantai sebagai tempat kesuakaan?" tanyaku padamu.
"Aku suka pantai, walau pantai identik dengan tidak adanya lagi cahaya untuk dunia. Hanya saja saya suka dengar deruan ombaknya."
Dari jawaban yang kau poles dengan nadi bernada, maka segera hari kesukaanmu telah lewat. Sebab hari ini adalah hari Minggu. Berarti sudah melewatkan dua hari. Belum kuketahui secara pasti. Kenapa kau memilih hari Jumat sebagai hari kesukaanmu? Apakah tak ada lagi hari lain yang lebih indah? Kalau pun ada, maka aku pun ingin ketahui kesukaanmu yang kedua, tapi bukan kuberharap banyak untuk membongkar. Setidaknya, dirimu kujadikan sebatang harapan seperti cahaya. Lalu terangkan kulit dan keringatku yang sudah banyak menetes karena bermain dengan terangnya hari.
Minggu, 6 Mei 2018
By: Djik22
Komentar