Sumber foto: Helena Ose Tokan
Saat mana pun; di kondisi apa pun. Aku selalu memejam mata sesaat, lalu meminta restu pada semesta. Tentang sebuah garis jalan mengiringi arah yang sedang memanggil. Tapi, panggilan itu terkadang samar-samar. Kemudian menghilang perlahan sampai terbawa angin. Kemanakah suara-suara itu? Apakah suaramu masih direstui semesta untuk aku mendengar kembali?
Sayangnya, waktu tak bisa diputar kembali. Aku sadar pada kebisuan malam saat menyendiri di tanah nan jauh tempat pengasingan. Tempat yang menawarkan sejuta harapan dan mimpi. Tapi, aku tak lupa pada budaya tanah lahirku. Karena diri ini, dibesarkan oleh ibu yang bernama Adonara; dibesarkan oleh ayah yang bernama kata-kata lembut berbudaya.
Ibu, aku membacamu lewat aksara-aksara indah disulam sejuta makna. Aku terharu kala kurenungi setiap yang kubaca. Seolah-olah, cintamu tertuang pada deretan makna aksara yang ditulis pada dinding-dinding kasih sayang. Namun, dinding-dinding kasih sayang selalu berdiri bersamaku membalut di sekucur tubuh. Hingga nafas yang kuhembus adalah budaya, angin yang kuhirup adalah angin asa. Dan gerak raga ini adalah besar timangan pulau menawanmu.
Kenapa kau warisi aku dengan kelembutan, tapi aku mulai jadi pelupa ibu? Hingga yang kupakai hanya pada saat momentum besar. Yang kukalungi sebatas menambah pesona kecantikan. Biar mata binar terus memandang dengan ketertarikan berujung rasa. Sampai aku digoda untuk menjadi pengagum budaya zaman. Tapi, budaya peninggalanmu sedikit kubiarkan berlarut kaku. Maka, aku pinta sejuta maaf; aku mohon seribu harap. Kembalikanlah kesadaranku dengan terus mengingat. Biar hadirmu dalam mimpi sebagai cahaya penerang setiap arah langkah ini.
Lautan kasih kebaikanmu, masih menerobos ke sela pori-pori sukma. Kemudian membisikan aku dengan bahasa sakral.
"Ingatlah ... !!! wahai anak cucuku. Jika suatu saat zaman terus berubah, maka jangan pernah lupa pada budaya peninggalan leluhur."
Sampai di kejauhan jarak. Di ruang waktu yang berbeda. Aku berjanji dalam hati; aku kembali ke rahim purba timangan semesta.
"Aku jadikan diri sebagai penopang kisah yang masih kurang. Lalu, kuisi dengan puisi menjadi karya bermakna. Biar kelak akan menjadi lembaran sejarah seperti harapan semesta. Maka, tak ada kata menyerah untuk menebar harum bau peninggalan mulia kepada sesama. Bahwa kita dari kata yang sama, maka akan kembali ke ucapan kata."
Itulah janjiku saat kesusahan melanda. Sambil kurasakan susah yang begitu pedih. Namun, bukan hanya pada kesulitan baru aku mengingat tentang semesta alam budaya. Akan tetapi, aku memanjatkanmu dengan doa dan panggilan-panggilan bahasa hati di saat mana pun.
Ketika kursi peninggalanmu menyediankan aku duduk. Maka, aku siapkan diri untuk menjadi pemberani. Lalu, kubaca apa yang kutulis lewat panggung yang disediakan semesta. Itu tak terlepas dari doa dan cahaya penunjuk-Mu. Maka, tak lupa kuciptakan lembar baru untuk menulis kisah selanjutnya. Biar, kelak terus dibaca dan dipelajari.
Makassar
Jumat, 30 November 2018
By: Djik22
Komentar