Patahan kata
Sementara terkumpul
Dari gubuk-gubuk rumah
Dari petuah-petuah ramah
Keramahan dalam kata
Membuat jiwa
Percaya pada angan
Yakin pada percikan
Ternyata...
Percikan yang berdawai
Berlipat ganda
Dalam nafas kuatkan dada
Oh...
Dada yang teduh
Di bait puisi keempat
Yang semakin mengapit
Teruslah mengapit jiwa
Teruslah merangkul raga
Biar...
Arah langkah terus mendekati
benar
Sampai di suatu ketika
Cerita tentang angan
Cerita tentang gumpalan
Disulap jadi nyata
Kuatkanlah hati
Dalam alam berseri ini
Sembari tangan memanjat
Mengejar mimpi-mimpi
Memasuki babak baru pada bagian kedua di tanah perantauan.
Ternyata gundahnya hati semakin melalang-buana tak karuan. Terus memaksa otak
untuk pecahkan teka-teki di alam semesta ini. Dengarah wahai alam semesta
tentang keluh; tentang hati yang kosong; tentang hati yang butuh obat penenang.
Paling tidak, ada jalan terang antarkan aku meraih mimpi.
Malam semakin sepi bagi Maya, yang hidup jauh dari orang
tua. Kerinduan itu semakin menjadi-jadi mengajak Maya ingin pulang ke pelukan
ibu. Seketika gawai Maya bergetar. Ternyata ibu Maya menelpon.
“Assalamualaikum Nak...”
“Waalaikumsalam Bu...”
“Ibu khawatir, apakah Nak baik-baik
saja”
“Maya baik-baik saja Bu”
“Tetap hati-hati dalam bergaul Nak...!!!”
“Iya Bu... Maya selalu jaga diri Bu”
“Jangan lupa makan Nak, kesehatan
itu mahal”
“Udah dulu Nak, ibu mau siapkan
makan malam dulu”
“Assalamualaikum Nak”
“Waalaikumsalam Bu, titip salam buat papa dan
kakek”
Tiba-tiba, percakapan berakhir. Maya semakin rindu dan
gelisah setelah mendengar suara ibunya. Rupanya, ibunya merasakan apa yang Maya
rasakan.
Untuk hilangkan gelisah, Maya pergi ke dapur menyiapkan
makan malam. Pada saat itu, arah jarum jam menunjukan Pukul 20:00. Maya membuat
nasi goreng dengan telur mata sapi. Soal masak-memasak, Maya jagonya. Sedari
kecil, Maya diajarkan mandiri. Salah satunya adalah memasak.
Usai memasak, Maya tak lupa membuat susu Dancow kesukaannya.
Bagi Maya, kesehatan itu perlu dijaga seperti pesan ibunya “Kesehatan
itu mahal.” Bagaimana kesehatan tidak dijaga? Jika perjuangan masih panjang.
Lantaran perjuangan, Maya berani menginjakan kaki di tanah perantauan dengan
tekad membara.
Maya makan dengan lahap, tak lupa mengucapkan syukur kepada
Sang Kuasa yang masih memberikan kesempatan untuk menghirup udara lembut dan
harum bau kota penuh dengan polusi. Tapi, Maya sadar tugasnya sebagai mahasiswa
serta perannya sebagai perempuan.
Belum selesai gunda itu hilang dari pikirannya, Maya dihantui
ingatan masa lalu tentang perempuan hanya berperan di sumur, dapur, dan kasur.
Terus untuk apa kuliah? Kalau stigma itu masih melekat di zaman modern ini.
“Ahhhh.... Brukkkkk...”
Maya membanting gawainya di atas tempat tidur.
Maya merasa, kaum perempuan selalu diremehkan dengan tiga
stigma itu. Maya punya keyakinan tersendiri demi membawa kaumnya menuju
perubahan besar. Caranya bagaimana? Bagi seorang Maya, gagasan tentang solusi
merangkul kaumnya memang tak mudah. Tapi, Maya tak kehabisan ide menuju tahap kesadaran kaumnya. Ada strategi taktik yang sudah disiapkan dalam catatan
hariannya.
Seketika ingin melanjukan membaca novel Egosentris,
Maya di-chatt oleh Rini.
“Jangan lupa presentasi besok May?”
“Presentasi apa Ri?”
“Aduh May, kok kamu lupa ya!!!”
“Benaran aku lupa Ri, soalnya
banyak yang dipikirkan Ri” Jelas Maya kepada Rini.
“Memamangnya mikir apa, cowok ya?”
“Walah... boro-boro pikirin
cowok. Pacar aja gak punya”
“Haha... Ha...” Rini ketawa lepas.
“Kenapa ketawa Ri?”
“Gak... lucu aja May,
orang kaya kamu ko jomblo”
“Salah ya...!!! Kalau aku jomblo
Ri?”
“Udah deh, jangan bahas lagi” Cegah
Rini melerai percakapan tersebut. Tadi saya mau bilang.
“Kalau besok presentasi kelompok II
tentang Apresiasi Sastra”
“Aduh Ri... Baru keingat, ternyata
itu kelompokku. Berarti besok aku sama Rama yang presentasi. Makasih ya Ri,
sudah ingatkan...!!!”
“Iya... Sama-sama May”
“Udah dulu... Siapkan mental May, Sempat besok banyak yang
bertanya”
-
- -¤¤¤- - -
Presentasi kelompok II segera dimulai. Maya berperan sebagai
moderator, sedangkan Rama menjelaskan materi. Sesi pertanyaan pun dibuka. Kali
ini hanya satu sesi dengan tiga penanya. Setiap pertanyaan dijawab dengan
singkat, padat, dan jelas oleh Rama dan Maya. Sehingga Ibu Nana sebagai dosen
mata kuliah Pengantar Sastra memberikan apresiasi kepada kelompok II.
“Mari kita berikan tepuk tangan kepada kelompok II...!!!”
Semua mahasiswa dalam ruangan memberi tepuk tangan dengan
sorak-sorai yang dibuat-buat. Walaupun kebiasaan Ibu Nana selalu mengajak
mahasiswa mengapresiasi setiap kelompok yang presentasi. Kali ini, raut Ibu Nana
lebih bersinar. Raut ibu Nana terpengaruh oleh penjelasan dari Maya dan Rama
yang begitu apik.
Tegas ibu Nana kepada mahasiswanya.
“Sttt... Stttt... Harusnya, setiap kelompok tampil seperti
ini. Kalau boleh, melebihi dari kelompok II. Sebagai tim penyaji, harus punya
persiapan matang. Apalagi bicara tentang Apresiasi Sastra. Gampang-gampang
susah masuk dalam dunia sastra. Karena sastra punya ruang tersendiri. Mengkaji
sastra, harus menggunakan barometer sastra. Baik itu metode, pendekatan, dan
teori.”
Tiba-tiba, ruang kelas kembali
hening.
“Ada lagi yang mau bertanya?” Maya bertanya.
“Tidak ada” Jawab Rini.
“Kalau tidak ada yang bertanya, kami akhiri presentasi ini”
Maya dan Rama kembali ke tempat duduk semula. Pelajaran Pengantar Sastra pun diperdalam lagi dengan tambahan penjelasan dari Ibu Nana. Itulah karakter Ibu Nana. Punya sifat keibuan yang luar biasa.
Sehingga banyak mahasiswa yang menganggap beliau sebagai orang tua di dalam
kelas. Selain memiliki sifat keibuan, Ibu Nana pun memiliki sifat yang lemah-lembut.
Selama mengajar, beliau tidak pernah memarahi mahasiswanya. Beliau menganggap
mahasiswa sebagai sahabat karibnya.
-
- -¤¤¤- - -
Maya, membuka pintu kelas menuju perpustakaan setelah
selesai kuliah jam pertama. Kali ini, Maya tak mau mengajak siapa-siapa. Maya
butuh ketenangan, banyak yang heran dengan sikap Maya hari itu. Namun, langkah
Maya terhenti ketika Dayat bertanya.
“Kamu kenapa May?” Tanya Dayat
“Kenapa Yat?”
“Soalnya... Kamu berubah...!!!”
“Memamangnya berubah jadi Power
Ranger?”
“Bukan, tapi berubah jadi Batman...!!!”
“HAHAHA... HAHA” Maya dan Dayat ketawa.
“Bukan berubah jadi Power Ranger atau Batman May,
tapi tidak biasanya kamu seperti ini. Kalau ada masalah curhat donk May.
Sempat ada solusi diselesaikan bersama. Tidak enak, kalau kita sebagai sahabat,
baru saling merahasiakan satu sama lain. Bukankah kita saling terbuka antara satu sama
lain? Kalau kamu keberatan untuk cerita, gak apa-apa kok.”
Jelas Dayat menenangkan Maya.
“Benaran Yat, tak ada yang aku sembunyikan. Cuman...?” Maya berhenti melanjutkan penjelasannya. Takut kalau Dayat tahu hatinya sedang
gelisah. Makanya, Maya pun tunduk sambil memeluk buku yang di genggamnya itu. Maya merasa bersalah,
lantaran menyembunyikan sesuatu dari Dayat.
“Cuman apa May?” Tanya Rama.
“Udah deh... bisa tidak
jangan memaksa!!!”
“Kok kamu jadi marah May?” Tanya Rama dan Dayat
secara bersamaan.
Maya berlari tinggalkan kedua sahabatnya. Rama dan Dayat
jadi bingung. Mereka berdua pun tahu, kalau Maya tak bisa dipaksa, atau ditanya
dengan nada tinggi. Karena Maya dididik dengan kelembutan seperti kapas dan
dibesarkan dengan kasih sayang seperti air yang mengalir. Ketika ada yang
bertanya dengan nada tinggi dan terkesan memaksa, maka Maya akan gemetaran serta ketakutan.
“Yat... tadi kamu kasari May?”
Serang Rama.
“Tidak sob, saya hanya bertanya
pada May. Itu pun dengan nada lembut kok”
“Tapi, kenapa Maya sampai lari
tinggalkan kita?”
“Mana saya tahu” Tangkis Dayat
merasa disalahkan.
“Ya udah Yat... Maya butuh ketenangan. Jadi biarkan dulu dia
menyendiri. Setelah membaik, baru kita dekati pelan-pelan”
Ada saatnya seseorang butuh menyendiri. Karena menyendiri
mampu tenangkan gejolak; mampu menghilangkan amarah; dan mampu menghilangkan
rasa dari setiap tekanan. Memang tak semua orang menyendiri dengan mudah masalah
dapat diselesaikan. Akan tetapi, sedikit tidaknya ruang baru yang sedang
menanti segera memberi asupan udara lembut. Memberi tambahan zona nyaman bagi
mereka yang sedang marah.
Setiap orang butuh kebebasan berbicara, tapi jangan sampai
kebebasan berbicara tak punya batas. Hingga membuat orang ain tersinggung.
Banyak orang bicara dengan bahasa candaan, tapi lawan bicara merasa
tersinggung. Hal seperti ini perlu dijaga dalam berbicara. Maka, pembicara harus melihat
konteks. Yang paling penting, kita tau, karakter lawan bicara. Atau
orang yang menyimak apa yang kita katakan.
-
- -¤¤¤- - -
Patahan kata-kata, terus dikumpulkan Maya untuk naskah yang
segera diterbitkan dalam waktu dekat. Patahan kata-kata itu, Maya mengumpulnya
dari gubuk-gubuk tua; petuah-petuah; serta dari ragam bacaan. Maka, Maya terus
mengumpulkan karyanya. Ketika karyanya kurang lengkap, maka Maya tambahkan lagi
bahannya. Ketika merasa sudah cukup, Maya koreksi ulang editannya. Jangan sampai masih ada kesalahan naskahnya sebelum diserahkan ke penerbit.
Dari luar, Dayat dan Rama melihat
Maya sedang membaca di dalam perpustakaan kampus.
“Ayo masuk...!!!” Dayat mengajak
Rama.
“Jangan Yat, kamu tahu Maya sedang
apa?”
“Tu... Sedang nulis”
“Iya... Saya pun tahu kalau Maya
sedang menulis”
“Terus kenapa kamu tanya?”
“Ini orang” Lama-lama saya botakin rambutnya.
Biar tidak tumpul cara berpikirnya. Maksudku bukan butuh jawabanmu Maya sedang
menulis. Tapi kamu tahukan, Maya tak ingin diganggu kalau ada masalahnya.
Karakter Maya berbeda dengan kita berdua. Setiap ada masalah, Maya selalu menulis.
“Kok kamu tahu begitu
dalam tentang Maya?” Tegur Dayat.
“Makanya, jangan kaku donk kalau
jadi orang. Sahabat sendiri aja gak tau”
“Cie... Cie... Saya jadi
curiga ni” Dayat mencibir.
“Bukann karena ada sesuatu yang
saya sembunyikan Yat, tapi kita harus tau mana kekurangan dan
kelebihan sahabat kita. Biar ada masaah, kita tahu solusinya.”
“Mmmm... Bagaimana kita ajak
Maya nongkrong di warkop?”
“Tumben kamu punya solusi kreatif?”
“Biar begini-begini... Tapi soal
tenangkan perempuan, caraku tidak habis dimakan waktu”
“Awas ya...!!! Kalau otakmu ngeres” Rama
ingatkan Dayat.
Memang harus diakui, kalau perempuan lebih suka dipahami.
Perempuan butuh kelembutan dan kenyamanan. Itulah sedikit karakter perempuan
yang tidak asing bagi laki-laki. Tapi perlu dicatat, tidak semua perempuan
memiliki karakter yang sama. Jadi, tetap hati-hati dengan perempuan. Kalau
perempuan adalah lempengan yang patah, maka segera sambungan lempengan tersebut
agar segera utuh. Jadi, perempuan dan lelaki adalah sepasang juang yang selalu
bergandeng tangan untuk bergerak bersama dan bicara lantang tentang perubahan.
Baik itu perubahan bersama, mau pun perubahan secara pribadi untuk meraih
mimpi.
-
- -¤¤¤- - -
Maya semakin disadarkan dengan realitas yang terjadi
disekitarnya. Maya mulai menyusun strategi baru dalam catatan hariannya.
Lantaran, Maya semakin memandang dengan tajam pada keseharian yang dialami.
Baik apa yang dialami bersama sahabatnya, dunia kampus, dan lingkungan sekitar
tempat tinggalnya. Benturan-benturan itu, membuat Maya semakin dewasa dengan
cara berpikir. Maya mulai menggiring perlahan-lahan agar sahabatnya kembali ke
kesadaran tugas sebagai generasi muda. Antara Rama, Dayat, Rini, Rani, dan
teman kelas lainnya lebih mengakrabkan diri lagi dengan Maya. Mereka sudah
sedikit tahu tentang diamnya Maya selama ini.
Tepat pukul lima sore, ada sebuah pesan masuk. "Apa
kabar?" Rama bertanya pada Maya. Belakangan Rama jarang ke kampus. Karena
ada urusan yang harus diselesaukan
Pasan Rama tak dijawab Maya. Karena bagi Maya "Rama
menghilang tanpa ada kabar. Saat Maya membutuhkan, Rama selalu tak ada di
sisinya." Ada bagian yang hilang dari kehidupan Maya. Walau Maya sudah
lebih akrab bersama teman-temannya.
Tiba-tiba, langit yang di pandang Maya lewat kamar
kontrakan berubah dengan turunnya hujan. Maya mengingat masa indah bersama
teman-temannya. Terkhusus ingatan Maya tentang sosok lelaki. Maya menatap
dalam-dalam rintik-rintik hujan. Hujan yang indah bagi yang berharap. Namun,
yang ditnggunggu tak kunjung tiba. Kemanakah dirimu yang kurindu? Bukankah dirimu
sudah mampu menenangkanku? Membuatku nyaman di sandaran bahumu.
Gawai Maya berdering kagetkan lamunan gadis itu. Maya
melirik pada gawainya, muncul nama Rama. Maya tetap bersikeras untuk tidak
mengangkatnya. Suasana jadi hening lagi bersama matinya deringan telepon. Hujan
mulai redah; keadaan kembali semula. Maya masih tetap gelisah dalam kerinduan.
Dan malam telah tiba mengusir Maya masuk dalam rutinitas catatan harian.
-
- -¤¤¤- - -
Rama semakin heran dengan sikapnya
Maya. Tak tahan dengan kepastian yang semu atas kesalahan apa. Rama beranikan
diri untuk menelpon lagi Maya. Tapi tidak diangkat, kemabali lagi menelpon,
tapi masih tetap sama. Tidak diangkat oleh Maya.
Pintu kamar kost Maya terketuk. Maya masih asyik dalam
tidur panjangnya. Pintu itu, semakin keras diketuk. Kaget Maya. "Siapa
sih?" Tiba-tiba pintu dibuka Maya. Kaget Maya bukan main. Maya persilahkan
sosok lelaki berdiri di depan pintu untuk masuk.
"Silahkan duduk"
"Iya May... Makasih...!!!
"Kenapa tidak kasih kabar
kalau mau datang?" tanya Maya.
"Kebetulan lewat, habis ketemu
teman yang kontrakannya tidak jauh dengan May. Jadi aku singgah melihat
May" Ucap Rama dengan nada kaku.
"Oh... begitu, atau rindu yang
mengajak kemari?" Goda Maya.
"Rindu? Tidaklah... Saya hanya minta kepastian. Kenapa
pesanku tak dibalas? Telponku tak diangkat. Memangnya apa salahku May?"
"Tak ada yang salah. Mungkin aku terlalu besar menaruh
harap. Sampai saat butuh, sosok yang kunanti tak kunjung tiba. Susah memang
kalau hanya mengerti. Butuh kepekaaan untuk memahami." Rama semakin heran
dengan penjelasannya Maya. Karena bagi Rama. Maya adalah sahabat dan perempuan
yang tekun. Tak lebih dari itu.
-
- -¤¤¤- - -
Mimpi telah aku tempuh dengan
semakin terangnya jalan menuju ke titik tujuan. Ketika semakin dekat, aku
terobang-ambing dengan rasa. Di awal aku terlalu diam, sampai sepelehkan hati
yang sedang gelisah. Semakin ke sini aku sadar. Tak cukup berdiam diri
berlarut-larut. Butuh kepastian dari setiap teka-teki yang sedang dimainkan
lewat sandiwara. Rama yang kunanti dengan keramahan, terlalu lama mengungkap.
Padahal hatiku sudah terbuka lebar untuknya.
Makassar
Senin, 12 November 2018
By: Djik22
Komentar