Langsung ke konten utama

DALAM BAYANG-BAYANG PERBEDAAN [2]

surat kedua




Mengenang di Pos Enam
Ketika berada di pos lima mulutku terlalu nakal untuk ditegur; rasa terlalu bandel untuk dibendung. Maka, sedikit aku memberi kode tanpa mengharap jawaban. Akan lebih tragis saat sampai di pos enam. Banyak tanda bahaya sampai aku tergeletak tanpa sadarkan diri.

Saat di pos enam. Aku punya tugas berat. Yaitu, menjaga tiga cewe yang mendaki bersama kami. Di antaranya, dia, Heni, dan Fatimah. Sebagai seorang lelaki, maka harus tetap bertahan dengan cara apa pun. Apalagi, dikelilingi oleh perempuan. Bukan aku mau dijuluki sebagai pahlawan yang mengambil setiap kesempatan. Aku ingin membuktikan tentang tak mudah menjadi seorang lelaki; tak gampang menjaga perempuan; tak mudah menggemban tanggung jawab. Maka, tanggung jawab sebagai lelaki, harus menjaga mereka tak tergores duri; tak terserang ketakutan; dan tak terpengaruh halusinasi. Akan tetapi, alam berkehendak lain dengan dasar pijakanku.

Aku tergelatak karena dikasih asupan asap dari pendaki lain yang lewat. Pengaruh efek yang berlebihan, satu jam lebih aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku sadar siapa yang lewat; siapa yang berada di sekelilingku. Tepat pandanganku tertuju pada dia. Ternyata ada kekakuan dan kekhawatiran yang luar biasa dari wajahnya. Dari situlah, aku menemukan kasih-sayang yang tulus dari seorang perempuan. Walau pun kasih belum terungkap; sayang belum disepakati. Dia yang kaku tak berbuat banyak. Aku saksikan dengan mataku yang sayu. Hujan begitu lambat aliri pipinya. Seolah-olah, tak terima kalau aku yang tergeletak. Dia merasa bersalah, karena aku terlalu menjaga mereka. Aku rela terhempas oleh faktor luar. Dari situ juga, aku pertama kali menyaksikan tangisan perempuan yang begitu tulus; tangisan yang bukan dibuat jadi drama. Ini tentang tangisan nyata di hutan belantara pos enam.

Untuk memulihkan lagi staminaku. Muis membuatkan aku susu saset. Dengan keadaan yang masih lemas, aku dipangkuh untuk meminumnya perlahan-lahan. Susu kukeduk sisa sedikit. Akhirnya keadaanku sedikit membaik.

Masih dalam keadaan lemah, aku teringat pada ibu. Kenapa aku tiba-tiba teringat sama ibu? Oh... Tuhan, kenapa ujianmu begitu berat? Bukan aku menolak takdir, tapi aku tahu cara-Mu mencintai hamba lewat cobaan ini. Tapi, rasa kehilangan belum tenggelam dalam ingatanku. Ternyata, 'Hari ini, tepat satu tahun kamu pergi, I Love You Mom' yang telah meninggalkan kami. Ibu yang kucinta, tanpa sadar sudah berusia satu tahun berbeda alam denganku. Aku yang bernyawa di atas tanah; sedangkan ibu hanya terkubur jasad di bawah tanah yang kupijaki.

Pendakian Bawakaraeng pos enam penuh haru dan bahagia. Mengingat tentang kehilangan ibu; menatap dia yang menangis sejadi-jadi di depanku. Aku heran kenapa dia menangis. Apakah dia tak rela aku tergeletak? Ataukah dia takut aku segera menyusul ibu? Semua masih penuh teka-teki. Hanya Tuhan yang tahu segalanya untuk mengisi jawaban dari teta-teki, dan tentang rencana-rencana selanjutnya.

Perlahan keadaanku membaik. Aku dipijit dengan lembut. Seperti tangan-tangan begitu halus dirasai oleh kulitku yang lesuh. Ternyata tangannya memberi kehangatan tersendiri. Seolah energi yang ada pada dia, ditransfer ke seluruh badanku yang lemah. Biar tidak terlihat cengeng dan manja. Aku tambahi dengan menggerakan badanku hingga mengurangi pegal-pegal di bagian persendian.

Berpindah ke Pos Tujuh

Aku keluarkan rokok Surya dari saku celanaku. Kubakar untuk membendung rasa mual; menangkis segala yang bersifat mistis. 

Raja siang dengan gagah memberi pancaran kepada semesta. Saat berjalan, badan kami mulai keringatan. Sehingga semangat kami semakin bertambah. Tak ada rasa gerah mengalahkan semangat. Sementara berjalan, kami saling bergantian bercanda-tawa. Yang dinikmati adalah proses menuju puncak. Karena prinsipnya, siapa yang kuat ia yang bertahan, maka ia sebagai pemenang. Walau pun kami sadar tak mendapatkan piala sebagai bentuk hadiah atas proses yang kami lalui.

Pos tujuh terasa berbeda dengan pos-pos yang kami lewati sebelumnya. Pada pos tujuh, kami istirahat sebentar untuk makan siang bersama.

Dalam perjalanan post tujuh-delapan. Terdengar suara burung-burung berkicau, ranting-ranting yang patah, dan jatuhnya dedaunan. Jatuhnya daun-daun, menyerupai para pahlawan yang telah gugur. Jika pahlawan gugur karena perjuangannya menuju Indonesia merdeka, maka gugurnya daun-daun karena pengabdiannya kepada ranting, akar, dan batang. Sampai kita tahu tentang suburnya alam, hijaunya semesta, dan kehidupan saling kait-mengait antara satu sama lain.

Sampai di Pos Delapan
Bulan Agustus terus berdetak mengiringi detak jantung kami. Jantungku bercampur rasa. Rasa karena gugurnya para pahlawan, perginya ibu dipanggil Yang Kuasa, dan rasa sebagai lelaki normal. Apakah aku harus menangis dan haru? Atau aku hanya mengirimi doa? Lantas bagaimana mengungkap rasa pada dia? Oh... Aku tak mau cepat-cepat mengatakan kepadanya. Aku takut rasa yang mudah terucap, maka akan mudah pun berpisah.

Akhirnya, patok pos delapan sudah di depan mata. Dari raut wajah kami, terlihat penuh kelelahan. Butuh waktu sekitar satu jam untuk beristirahat.

Walau mataku selalu memandang indahnya hutan belantara, tapi fokus bola mataku lebih tertuju pada dia. Baju hitamnya terlihat lusuh karena tergesek oleh carrier. Celana panjang abu-abu terlihat begitu menawan. Seolah-olah, dia adalah seorang pendaki yang ulung.

Mataku mengembara jauh, tiba-tiba aku melirik ke raut indahnya. Ternyata dia sedang menatapku dalam-dalam. Lama kami saling menatap tanpa berkata-kata. Seolah-olah, mulut terkunci untuk bicara; tangan diborgol untuk menggenggam. 

Dia yang berharap kedekatan; aku memilih menjaga jarak. Karena pikiran tentang ibu masih menguasi di isi kepalaku. Tatapan kupindah ke tali sepatuku. Kurenungi dalam-dalam tentang ibu. Setidaknya kaki ini terlahir dari rahim kasihmu, tangan ini terjaga dari timanganmu. Tapi kenapa saat dewasa ibu lebih memilih pergi? 

Apakah ada kesamaan ibu dengan dia yang sedang berada di dekatku? Jika dia adalah petunjuk ibu, maka kertas putih tertulis 'Hari ini, tepat satu tahun kamu pergi, I Love You Mom' tetap bersamaku menuju puncak tertinggi gunung Bawakaraeng. Aku mengambil kertas putih itu, lalu kutatap dengan keluh yang dalam. Sekitar sepuluh menit terbawa rasa kehilangan. Tiba-tiba dia menegur dengan lembut.

"Daud... !!!"

"Iya... Kenapa Wi? jawabku kaget.

"Ayo ... !!! lanjutkan perjalanan. Kasihan kelamaan dalam lamunan. Aku tahu tentang pikiranmu; aku tahu tentang rasamu. Suatu saat kejujuran akan mengungkap bersama restu alam.

Dia berkata dengan jujur lewat nada lembutnya. Dia tahu cara tentang membangkitkan semangat seorang lelaki yang sedang kehilangan. 

"Kejujuran seperti apa Wi? Kalau menunggu adalah soal ruang dan waktu yang membosankan?" Tanyaku sambil memasukan kertas putih itu ke dalam carrirku.

"Jika menunggu pun kau tak mampu? Maka bagaimana bisa kau temani aku sampai puncak tertinggi tanah ini?"

Aku hanya diam-diam tanpa memberi jawaban. Karena aku menjawab, maka kejujuran tentang rasa semakin dibuka. Bagiku, ada saat yang tepat untuk cerita tentang rasa; ada ruang yang indah untuk saling terbuka. Kami pun memutuskan berangkat menuju pos berikutnya.


Makassar
Kamis, 22 November 2018
By: Djik22
By: Djik22

Komentar

Populer

FILOSOFI DAUN PISANG

Harapan dan mimpi dari setiap kepala tidak semua terpenuhi dengan usaha dan praktik. Tapi masih membutuhkan untuk saling dekat dan merespon segala polomik. Di masa yang akhir ini, perutmu telah melahirkan bayi yang masih merangkak dipaksa berjalan di kerikil jalan persimpangan. Dari rawat dan buaian, telah membuka mata batin, mengevaluasi adalah jalan yang tepat. Karena kurangnya menilai dari setiap sisi. Sehingga lahir dua persimpangan kiri kanan jalan. Mata telah terang, langkah sudah tepat, bersama sudah terpupuk, kesadaran mulai bangkit. Berdiri dan bergerak. Saatnya cahaya jadi penerang. Titipan amanah 20 21 11 14 jadi bahan belajar bersama. Filosofi "Daun Pisang dan Bidikan Panah yang Tepat" telah ditemui jawaban dan makna yang dalam. Dia bukan sekedar kata, tapi dialah nyawa setiap yang di dalam. Makassar, April 2017 By: Djik22

TOGAKU TAK IBU SAKSIKAN

Perjuanganmu ibu Mengantarkanku meraih mimpi Mataku lembab berhari-hari Setiap saat mengingat ibu Harapan ibu Aku tetap kuat Aku tetap melaju Tapi ibu Saat bahagiaku Takku tatap lagi ibu Wajah bersinar hadir dalam mimpiku Kala itu ibu Ibu Toga dan pakian kebahagiaanku Semua untuk ibu Togaku tak ibu saksikan Karena ibu telah tiada Yakinku ibu senyum melihatnya Tetap tersenyum di sisiku ibu Dua puluh tiga November dua ribu tiga belas Dua kali dengan angka tiga Ibu telah berbaring bergegas Makassar Minggu, 1 Oktober 2017 By: Djik22

PERLUKAH JEMBATAN PALMERAH?

Sedikit menggelitik, ketika wacana pembangunan jembatan Palmerah. Wacana ini, hadir di beberapa tahun terakir. Di tahun 2017, tidak kala seksi pendiskusian jembatan Palmerah. Maka muncullah pro dan kontra. Padahal merefleksikan wacana ini sangat penting. Kenapa Wacananya Jembatan Palmerah? Mari kita menganalisa secara seksama. Pertama, jembatan Palmerah adalah sejarah pertama di Indonesia bila terbangun. Karena menyambungkan dua pulau, yaitu Pulau Adonara dan Pulau Flores (Larantuka). Jarak jembatan Palmerah dengan panjang bentangan 800 meter akan dipasang turbin 400 meter. Kedua, persoalan proses pembangunan jembatan Palmerah dibutuhkan dana tidak sedikit. Diperkirakan dana mencapai Rp. 51 triliun. Hal ini, perlu dipikirkan. Karena Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi NTT pada tahun 2016 hanya mencapai Rp. 3,8 triliun. Sama halnya pemerintah mengajak kita mengutang dengan investor (swasta). Ketiga, jembatan Palmerah bukan proses meninabobokan masyarakat Flores Timur

ADONARA DALAM PUISI

Petuah kata sejarah Masih temani kaki untuk melangkah Dalam bayang-bayang ibu kuatkan hari Dalam jelmaan ayah pancarkan cahaya hati Hingga tebal awan kota Ingatkan suasan desa Dihimpit berdiri megahnya Ile Boleng Didekatkan Bukit Seburi tanah kampung Karena kitalah gunung yang berdiri Karena kitalah bukit yang menyapa Membawa bisikan bahari Ketika menghadap ke arah pantai Sampai kata dan petuah terus mengikut Wariskan api dari generasi ke generasi Tentang pentingnya menjaga kata Tentang indahnya memakai tenun ikat Maka... Tak kulupakan petuah indah dan keramat Tak kuingkari segala kata-kata bernyawa Di atas alam ditaburi darah dan air mata Karena air mata Bukan hanya tentang tangisan Bukan hanya tentang derita tanpa rasa Namun air mata darah tanda perjuangan Maka... Untuk mengingatmu yang di gunung Untuk mengenangmu yang di pantai Aku mengisi kata-kata lewat puisi Karena darah dan bisikan kata terus diasa Biar perang telah terganti buka dan pena

ANTARA (576)

Sering ada perbandingan pada kata 'antara' ketika diapit oleh kalimat. Antara kau dan aku ternyata banyak perbedaan, antara kau dan dia memiliki banyak kesamaan. Antara pacar dan mantan adalah orang yang pernah berlabu dan sementara bertahan. Baik terkandas di tengah jalan, mau pun mampu melewati batas getir yang melampau kesabaran. Namun, pada kata 'antara' seolah jadi misteri yang tersembunyi. Serupa kolom kosong yang disembunyikan dengan untain doa. Lalu, dipercaya menjadi sebuah legenda atau mitos. Bagaimana sesuatu yang dipercaya tapi tak pernah diinderai? Apakah setan yang berpenampilan putih pada malam Jumat hanya menakut-nakuti? Kemudian muncul pertanyaan, siapa yang menjahit pakian putih yang dipakai setan? Ulasan ini, aku dapati saat duduk di bangku SD. Sang guru selalu menakut-nakuti pada setiap siswa. Bahwa malam Jumat selalu ada tanda ketika melewati tempat-tempat gelap. Saat itu, aku dan kawan-kawan sebayaku selalu percaya. Namun, batang hidung p

KARYAMU TETAP MEMIKAT

Foto: Abdul Rahim (Khalifah05) Ketika doa-doa Telah kau panjat Dengan lemah-lembut Pada Tuhan Yang Esa Tak lupa pula Pintamu Pada para pendahulu Dengan merinding bulu-bulu Begitu dalam penghayatan Bersama angin Bersama waktu Bercampur masa lalu Maka... Yakin pun mendalam Tak secuil akan buram Tampak pada kaca belaka Namun ia selalu melekat Selalu mempererat Antara roh dan jasat Hingga karyamu tetap memikat Makassar Jumat, 21 September 2018 By: Djik22

PEMUDA SAHABAT PERUBAHAN (397)

Indonesia adalah negara yang terdiri dari ragam perbedaan. Baik suku, ras agama, budaya, dan corak berpikir. Inilah bagian kekhasan dari bangsa ini. Dengan kekhasan tersebut, maka tak heran bangsa Indonesia dikenal dengan kemajemukan dan menjujung tinggi perbedaan. Sebab perbedaan adalah varian dari semangat menuju persatuan. Belum lagi menerobos batas wilayah yang terdiri dari beberapa provinsi. Perlu kita menelisik lebih jauh lagi tentang bagaimana membangun tatanan bangsa. Supaya mampu keluar dari zona ketertinggalan. Ternyata, ketertinggalan adalah salah satu masalah dari apa yang dirasakan setelah revolusi Indonesia didengungkan. Walau merdeka secara pengakuan sudah memhudata sampai ke telinga anak cucu. Tapi pertanyaan besar yang harus dijawab, Kenapa merdeka secara praktik/ penerapan jauh panggang dari api? Ketika secara penerapan dalam kehidupan berbangsa mulai melenceng dengan dasar negara, maka harus kembali mengamalkan nilai-nilai kebaikan yang telah diletakan oleh