Ada saatnya kita
saling memaafkan
Pada
suatu ketika yang terjadi
Pada
sebuah masalah kesedihan
Di
cahaya buram berkali-kali
Nampak jelas di bola matamu
Dialiri
dengan air mata
Lewat
angin dan udara
Lewat
ruang waktu yang menunggu
Hingga dermaga penunggumu
Menjadi
buram kemudian samar
Dari
yang terang ke gelap pijar
Berkisah
tentang luka dan laku
Maka...
Maafkanlah
laku kaku ini
Dari
hari ini
Untuk
mewakili segala rasa
Karena cinta juga menyatukan kita
Cinta
juga membelah kita
Di
tangga naik menuju puncak
Di
tangga turun menuju gubuk
Sampai kau temukan sebuah sandaran
Dari
bahu pengganti rasa
Dari
segala kecewa
Dari
segala luka mendekam menekan
Cerita tentang dermaga penungguan, mulai sunyi sepi tergores
rasa. Yang dahulu tak terganggu oleh siapa pun. Kemudian membuat percaya tak goyah
pada gaduh yang menyerang. Karena yakin itu, tempat berdiri di Pulau Penunggu.
Masih saja memanggil dengan suara lemah serupa sumpah serapah di tepi dermaga.
Akan tetapi, aku membendungnya dengan pinta meminta maaf, lalu mengharap tak
ada kutukan.
Lantaran kesadaran dari keadaan yang ramai ke sunyi, membuat gunda-gulana di batang-batang kayu terhalang tembok dermaga. Hingga akhirnya warna yang dulu cerah, terganti oleh sebuah keburaman masa lalu yang belum lama terjadi.
Lantaran kesadaran dari keadaan yang ramai ke sunyi, membuat gunda-gulana di batang-batang kayu terhalang tembok dermaga. Hingga akhirnya warna yang dulu cerah, terganti oleh sebuah keburaman masa lalu yang belum lama terjadi.
Ternyata pasang bola matamu, di bibir pantai berteman
gelombang dihiasi arus selat-selat di pinggiran Pulau Kelimutu, tepatnya sketsa
danau tiga warna diringi tangga panjang menaiki puncak. Sampai temuanmu pada
negeri Pancasila sekaligus menuai luka.
Samar-samar, raut bahagia terganti sedih kala kabar buruk
mendekati telinga. Saat tanya sapa mulai berubah, saat tanya kabar mulai
jarang, dan muncul curiga dengan dasar kekuatan alam semesta. Tanyamu
"Kenapa harus mengambil sikap sejauh itu?" Kalau percaya sempat
terpatri tapi tak bertahan dengan kokoh.
Sebagai perempuan, perasaanmu tak akan terlupakan. Karena
cintalah menyatukan kita, cintalah yang memisahkan kita, cintalah membawa
malapetaka romantisme. Biar kata maaf mampu menghapus luka. Akan tetapi, luka
itu butuh penawar mujarab untuk sembuhkan hati. Dengan perlawanan ruang dan
waktu untuk melupakan segalanya. Sampai di suatu waktu, cahaya purnama datang
sebuah sosok baru tempatmu bersandar.
Tepat di hari Selasa awal bulan November tahun 2018.
Keterusterangan curiga itu mulai menemui luka yang dalam. Sampai pinta dari
gemuruh angin menekan tanya tentang luka. "Kenapa sebagai lelaki harus
mengambil tindakan seperti itu?" Dalam keadaan yang penuh was-was,
membalas tanyamu dengan memberi jawaban. Walau konsekuensi luka bertambah parah.
Ternyata, orang ketigalah penyebab
luka. Lantaran akulah biang dari setengah dusta, akulah buih cahaya yang
kemudian redup, akulah puing rapat jadi pemisah dari serpihan yang terhempas
bersama desiran pasir. Maka, kita memilih untuk jadi kawan yang abadi. Karena
luka yang kesekian harus dilupakan. Lantaran garis perjungan kita masih panjang
untuk dikumandangkan dan tetap objektif dalam menilai. Maka, pikiran subjektif
tenggelam bersama luka yang sempat terkubur lalu hilang.
Makassar
Rabu,
14 November 2018
Komentar