Saat duduk di bangku SMP, aku adalah seorang puitis. Aku sering tenggelam pada kata-kata indah. Yang membahas tentang rasa. Yang menyinggung tentang rindu. Karena saat itu, aku masih cukup labil dalam memandang dunia. Tapi, itulah caraku menghargai waktu.
Berlanjut ke SMA, aku dan teman-teman sebayaku. Sepakat pada bahasa yang pernah ramai dibicarakan. Adalah dinamai cinta. Saat masa SMA, cinta yang kami pahami tak seperti cinta yang ditulis dalam buku-buku kaku yang penuh teori. Atau buku-buku fiksi yang membahas tentang Romeo dan Juliet.
Bedanya kami memahami cinta dengan dua kata. Yaitu, kami namai Cinta-Monyet. Ternyata Cinta-Monyet pun mengganggu pikiran aku dan teman-temanku. Bagaimana tidak, kalau dunia pacaran mulai tak asing bagi kehidupan kami. Namun ada keasyikan tersendiri. Karena aku pun terjebak pada wilayah cinta-cinta dihendaki zaman.
Akan tetapi, aku tahu batasan menjalin sebuah hubungan. Aku tahu tentang menjaga diri. Maka, aku tetap menjadi diri yang jauh dari kata godaan. Apalagi, gombalan maut ala anak SMA. Pasti mudah ditebak, ada apa dibalik kata gombal.
Mendekati ujian akhir SMA. Kenangan demi kenangan sulit terlupakan. Hingga suatu ketika, sayang yang sebenarnya kusandar; kasih yang pernah kusinggah malah menjadi sengsara. Kasih yang kuangungkan, menjadi luka-luka tertanam dalam dada. Sampai aku bersumpah kepada semesta. Kalau aku tak mau menjadi puitis lagi. Lantaran trauma adalah alasan.
Jika memang ada yang datang lagi, maka aku akan timbang matang-matang. Karena keputusanku memilih jalan sendiri. Bahwa aku harus mandiri; aku harus bebas tanpa tekanan; aku harus jadi orang yang berguna. Setidaknya, berguna untuk diri sendiri, dan orang-orang di sekitarku.
Memasuki dunia perguruan tinggi. Aku terseret-seret oleh dunia yang begitu canggih. Sampai keputusan yabg pernah aku namai SUMPAH, kulanggar sendiri. Karena ini tentang rasa; ini tentang rindu; ini tentang kemauan. Maka, kuterima sebuah tanya dari sosok itu. Ialah sepayang sayap. Walau aku sering dihantui dengan orang yang sulit kulupakan pada saat itu.
Apa hendak dikata, bila nasib berkata lain. Kalau rasa yang ke sekian pun dikhianati lagi. Padahal aku menguji untuk memilih berpisah. Tapi pasang sayapku malah tak menahan tawaranku.
Sejak saat itu juga, aku memperbanyak teman. Sambil merangkul dengan iklas. Bahwa kehidupan adalah roda jalan. Terkadang bahagia datang tanpa diundang. Namun terkadang luka tiba tanpa ada sangka. Inilah hidup yang penuh liku. Maka dengan matang kukonsepkan; dengan kuat aku mulai lagi.
Tapi aku belum siap jadi puitis lagi. Ternyata, belum kutemukan cara seperti apalagi kembali jadi puitis. Semoga ada yang mampu meluluhkan.
Makassar
Rabu, 21 November 2018
By: Djik22
Berlanjut ke SMA, aku dan teman-teman sebayaku. Sepakat pada bahasa yang pernah ramai dibicarakan. Adalah dinamai cinta. Saat masa SMA, cinta yang kami pahami tak seperti cinta yang ditulis dalam buku-buku kaku yang penuh teori. Atau buku-buku fiksi yang membahas tentang Romeo dan Juliet.
Bedanya kami memahami cinta dengan dua kata. Yaitu, kami namai Cinta-Monyet. Ternyata Cinta-Monyet pun mengganggu pikiran aku dan teman-temanku. Bagaimana tidak, kalau dunia pacaran mulai tak asing bagi kehidupan kami. Namun ada keasyikan tersendiri. Karena aku pun terjebak pada wilayah cinta-cinta dihendaki zaman.
Akan tetapi, aku tahu batasan menjalin sebuah hubungan. Aku tahu tentang menjaga diri. Maka, aku tetap menjadi diri yang jauh dari kata godaan. Apalagi, gombalan maut ala anak SMA. Pasti mudah ditebak, ada apa dibalik kata gombal.
Mendekati ujian akhir SMA. Kenangan demi kenangan sulit terlupakan. Hingga suatu ketika, sayang yang sebenarnya kusandar; kasih yang pernah kusinggah malah menjadi sengsara. Kasih yang kuangungkan, menjadi luka-luka tertanam dalam dada. Sampai aku bersumpah kepada semesta. Kalau aku tak mau menjadi puitis lagi. Lantaran trauma adalah alasan.
Jika memang ada yang datang lagi, maka aku akan timbang matang-matang. Karena keputusanku memilih jalan sendiri. Bahwa aku harus mandiri; aku harus bebas tanpa tekanan; aku harus jadi orang yang berguna. Setidaknya, berguna untuk diri sendiri, dan orang-orang di sekitarku.
Memasuki dunia perguruan tinggi. Aku terseret-seret oleh dunia yang begitu canggih. Sampai keputusan yabg pernah aku namai SUMPAH, kulanggar sendiri. Karena ini tentang rasa; ini tentang rindu; ini tentang kemauan. Maka, kuterima sebuah tanya dari sosok itu. Ialah sepayang sayap. Walau aku sering dihantui dengan orang yang sulit kulupakan pada saat itu.
Apa hendak dikata, bila nasib berkata lain. Kalau rasa yang ke sekian pun dikhianati lagi. Padahal aku menguji untuk memilih berpisah. Tapi pasang sayapku malah tak menahan tawaranku.
Sejak saat itu juga, aku memperbanyak teman. Sambil merangkul dengan iklas. Bahwa kehidupan adalah roda jalan. Terkadang bahagia datang tanpa diundang. Namun terkadang luka tiba tanpa ada sangka. Inilah hidup yang penuh liku. Maka dengan matang kukonsepkan; dengan kuat aku mulai lagi.
Tapi aku belum siap jadi puitis lagi. Ternyata, belum kutemukan cara seperti apalagi kembali jadi puitis. Semoga ada yang mampu meluluhkan.
Makassar
Rabu, 21 November 2018
By: Djik22
Komentar