surat ketiga
Perjalalanan Pos Delapan-Sembilan
Aku terlalu lama menunggu waktu yang tepat untuk cerita tentang rasa. Biar getaran-getaran rasa di hati segera berhenti. Tapi, alam terbuka berkata lain. Bahwa aku harusnya lebih sabar lagi. Sebab, keterbukaan alam sulit ditebak kapan badai itu datang. Semoga kau pun mengerti tentang sabar ini wahai Dewi pelembut raut.
Aku tak mau cepat tergoda dengan perasaan. Begitu juga dengan dia. Fokus pandangan kami adalah puncak yang sedang memanggil dengan siul-siul goyangan pohon-pohon. Aku tahu; dia tahu. Kami sama-sama tahu, tapi tak ada yang mau lebih dulu mengungkapkan. Maka, aku dan dia tetap memendam rasa. Apalagi, harus kuceritakan kejujuran, jika menyatukan kasih di antara pos delapan-pos sembilan. Aku tak mau berdiri di ‘antara’. Aku hanya ingin berdiri denganmu saja. Tanpa ada yang mengganggu; tanpa ada yang protes.
Merasa kelelahan kaki melangkah dari pos delapan ke pos sembilan. Maka aku mengajak beberapa temanku untuk berhenti. Belum lagi Heni tidak bisai lagi berjalan. Kekhawatiran pun kembali muncul. Apakah kami bisa mengikuti upacara pengibaran bendera di atas puncak atau tidak? Kami lebih mementingkan kebersamaan antara para pendaki. Ketika satu sakit, maka yang lain harus menolong; ketika kaki tak bisa lagi berjalan, maka jalan terakhir harus membuat tenda.
Ketika dua tenda sudah didirikan. Kami membagi tugas. Aku mengambil air sungai di pos delapan. Raya dan Tian memasak, sedangkan dia menjaga Hani. Inilah kehidupan di tengah perjalanan. Apalagi, harus diandalkan kalau bukan kebersmaan. Semua harus peka dengan keadaan. Jika tidak, maka ada satu kecolangan tergilas waktu.
Kami terpaksa membuat camp dengan kekuatan yang tersisa. Menguji adrenalin, mengasah kedisiplinan, dan menanamkan komitmen. Bahwa puncak tertinggi adalah milik kita semua. Walau pun sebagain teman-teman rombongan terlebih dahulu membuat camp di pos sepuluh. Jadi, yang tersisa di camp pertengahan pos delapan-pos sembilan enam orang. Yaitu Aku, Dia, Heni, Raya, Jo, dan Tian.
Dari ke enam orang. Kami membuat dua tenda. Aku, dia, dan Heni satu tenda. Sedangkan Raya, Jo, dan Tian di tenda yang satunya. Sekitar pukul 21:00 masakan ala kadarnya yang sudah disiapkan oleh Raya dan Tian.
Semakin mendekati puncak itu. Getaran hatiku semakin maha dahsyatnya. Rupanya semakim susah untuk dikendalikan. Aku sulit membedakan getaran karena kegugupan atau karena cinta. Bagaimana tidak? Tanpa kusadari, tanganku sambil menyuapi dia makan. Heni meledek kami berdua.
"Cie... setianya...!!!" sambil memandang aku dengan tajam, tapi bahagia.
"Apaan sih Ni?" Tanya dia kepada Heni.
Tanganku semakin gemetaran. Ingin aku berhenti menyuapi. Ketika aku berhenti menyuapi, maka aku lebih salah tingkah lagi. Dengan menarik nafas dalam-dalam aku berkata.
"Ayo... !!! fokus makan. Bebeberapa jam lagi kita akan menguasai puncak dengan bahagia." Tegasku menenangkan keadaan.
"Bagaimana bahagia di puncak tertinggi bila di sini pun kau masih gerogi?"
Tak ada yang menjawab. Keadaan kembali hening. Aku sebenarnya ingin merespon. Tapi kasihan kalau masalah seperti ini diperpanjang. Nanti ujung-ujungnya akan tambah baper. Seketika tanganku ingin menyuapi lagi, dia memegang tanganku dengan lembut. Aku kebingungan, sedangkan raitnya yang tulus itu ingin mengucapkan banyal hal.
"Makasih ya, Daud?”
"Makasih untuk apa?" tanyaku padanya.
"Sudah menjaga aku dengan Heni seperti saudari kandungmu."
"Aku sudah menganggap kalian dua seperti adik kandungku sendiri."
Mendengar kata-kataku barusan. Heni langsung mencolek lenganku tanpa diketahui dia. Aku alihkan tatapan ke wajah dia yang sedang menunduk. Aku jadi bingung. Apakahah salah aku berkata dia dan Heni kuanggap saudari kandung? Atau Heni lebih memahami kami berdua? Sehingga selalu mendekatkan kami untuk saling jujur. Tetap saja, aku dan dia seperti batu. Biar nasi yang di genggaamanku belum selesai menyuapinya.
Dia kembali menangkat mukanya. Lagi-lagi matanya berkaca-kaca. Aku masih tenang seribu bahasa. Aku menatapnya penuh hati-hati.
"Kamu menangis?"
"Tidak kok, Daud. Saya hanya mengingat kedua orang tuaku."
"Derai air matanya semakin mengalir deras."
Aku beranikan diri untuk menyeka air matanya yang sementara menetes. Heni yang tahu keadaan, ia memberikan aku tisu untuk menyeka wajah sahabatnya. Saat tanganku menyeka kembali dengan tisu yang kedua kali, dia memegang kembali tanganku. Kali ini, lebih keras dari pegangan sebelum-sebelumnya. Entalah... Dia marah atau apa. Tak ada yang berani memberi penjelasan.
Dia yang sulit terbuka lewat kata-kata. Sedangkan aku sulit memahami isi dari setiap kode yang dimainkannya. Sekiranya, aku yang kurang memahami tentang rasa dan cinta. Maka, tunjukanlah aku sedikit lagi cara yang terang. Paling tidak, bagaimana menghapus air mata? Bagaimana cara mencintaimu dengan inginmu. Ketika cara mencintaimu sudah kau katakan, maka aku akan sediakan sebuah desain pengunci hati terhandal. Biar kau dan aku tak bisa lagi ke mana-mana. Tapi, kita akan menjadi dua kesatuan yang berbeda. Kau dan aku adalah patahan sayap yang disambungkan. Kita akan terbang lebih jauh menikmati indah panorama alam semesta. Maukah kau membuka bagaimana cara mencintaimu?
Heni yang memahami keadaan sahabatnya sedang murung. Kembali lagi Heni menghibur.
"Tak usah lagi gelisah tentang orang tua?" Sambil Heni menepuk pundaknya.
"Iya... ni."
"Aku tahu apa yang sedang menimpamu. Sebagai perempuan, kita punya banyak kesamaan. Kita ingin dimengerti; kita ingin dipahami. Tapi, tak semua mudah datang dengan harapan yang diinginkan. Suatu saat, aku akan ikut bahagia. Tentang dia yang sedang kamu nanti."
"Dia hanya menangangguk saja."
Aku kembali menambahkan. "Udah ya... Tidak ada yang lagi cengeng. Dilarang lagi menangis selama pendakian. Kalau ada yang menangis, sulit dapat pasangan"
"Hahha... orang nangis mikirin orang tua kok" dia menjawab.
Untuk membuat dia kembali tersenyum lagi, aku dan Heni terua menghiburnya. Sampai tak sadar, kami pun memjamkan mata. Sempat kupandang dia, ternyata dia masih gelisah. Tangannya diletakan di atas kepala. Tiga kali aku batuk.
"Ehemmmm... Ehemmm... Ehemmm."
Tapi, dia pura-pura menutup matanya lagi. Tidak terasa, arah jarum jam berputar tanda ada permisi. Sekitar jam 06:00, kami langsung bergeser ke ke pos sepuluh. Dalam perjalanan, yang sedih berganti bahagia; yang bahagia kembali terharu. Ternyata, dua orang perempuan tangguh ini, mampu menginjaki kaki dengan usaha juang yang luar biasa. Tanpa ada kata menyerah dan mengeluh, mereka berdua patut mendapatkan penghargaan sebagai dua pasang sabahabat yang sukses menuju titik akhir.
Akhirnya, kaki kami menginjaki puncak tertinggi Gunung Bawakaraeng. Kami bergegas untuk ketemu rongbongan yang sudah terlebih dahulu naik. Yaitu Roni bersama bersama beberapa orang lainnya. Puncak gunung Bawakaraeng semakin dipadati dengan para pendaki lain untul mengikuti upara pengibaran Sang Saka Merah Putih.
Tepat tanggal 17 Agustus 2017, sekitar pukul 09:00 upacara dimulai. Semua mata terlihat berkaca-kaca. Saat Merah-Putih dikibarkan. Penghormatan dari para pendaki menunjukan bahw merah adalah darah dan kebenarian. Sedangkan putih adalah kelembutan dan kesucian. Maka tetaplah satukan antara merah dan putih. Tetap jagalah kedua perpauduan itu meingibari puncak tanah sejarah ini. Sekitar 09:30, acara pengibaran bendera Merah Putih telah usai.
Setelah Sang Saka Berkibar
Gemuruh sorak-sorai seantero tangan para pendaki. Ada yang haru, gembira, dan banyak lagi kesan saat berada di pendakian. Masuklah acara bebas, kami pun kembali ke tendanya Roni yang berada di dekat tempat kami berkumpul. Kami pun sarapan untuk menambah stamina yang sempat terkuras.
Gilrannnya adalah berpose bebas. Kali ini, salung bergantian foto dengan gaya yabg berbeda-beda. Terkadang berlima, berenam, bertiga, dan berdua. Seolah tak akan habis jepretam kamera. Karena semua berlomba-lomba memasang gaya pose untuk dijadikan sebuah kisah perjalanan yang maha dasyat.
Gilaran aku foto bersama dia. Tangan kabi berdua memegang lembar kertas yang tertulis.
'Setiap puncak yang kamu datangi akan mengajarkan sesuatu'
Semoga saja, sesuatu yang tertulis di lembar putih itu. Akan terjawab setelah menunuruni puncak Gunung Bawakaraeng. Sebab, aku merindukan segalanya dari proses yang kita nikmati. Kau menanti; aku menanti. Saatnya kedewasaan kita semakin teruji di surat keempat yang saya kirim masih dengan harapan semoga kau dapat membalasnya.
Aku terlalu lama menunggu waktu yang tepat untuk cerita tentang rasa. Biar getaran-getaran rasa di hati segera berhenti. Tapi, alam terbuka berkata lain. Bahwa aku harusnya lebih sabar lagi. Sebab, keterbukaan alam sulit ditebak kapan badai itu datang. Semoga kau pun mengerti tentang sabar ini wahai Dewi pelembut raut.
Aku tak mau cepat tergoda dengan perasaan. Begitu juga dengan dia. Fokus pandangan kami adalah puncak yang sedang memanggil dengan siul-siul goyangan pohon-pohon. Aku tahu; dia tahu. Kami sama-sama tahu, tapi tak ada yang mau lebih dulu mengungkapkan. Maka, aku dan dia tetap memendam rasa. Apalagi, harus kuceritakan kejujuran, jika menyatukan kasih di antara pos delapan-pos sembilan. Aku tak mau berdiri di ‘antara’. Aku hanya ingin berdiri denganmu saja. Tanpa ada yang mengganggu; tanpa ada yang protes.
Merasa kelelahan kaki melangkah dari pos delapan ke pos sembilan. Maka aku mengajak beberapa temanku untuk berhenti. Belum lagi Heni tidak bisai lagi berjalan. Kekhawatiran pun kembali muncul. Apakah kami bisa mengikuti upacara pengibaran bendera di atas puncak atau tidak? Kami lebih mementingkan kebersamaan antara para pendaki. Ketika satu sakit, maka yang lain harus menolong; ketika kaki tak bisa lagi berjalan, maka jalan terakhir harus membuat tenda.
Ketika dua tenda sudah didirikan. Kami membagi tugas. Aku mengambil air sungai di pos delapan. Raya dan Tian memasak, sedangkan dia menjaga Hani. Inilah kehidupan di tengah perjalanan. Apalagi, harus diandalkan kalau bukan kebersmaan. Semua harus peka dengan keadaan. Jika tidak, maka ada satu kecolangan tergilas waktu.
Kami terpaksa membuat camp dengan kekuatan yang tersisa. Menguji adrenalin, mengasah kedisiplinan, dan menanamkan komitmen. Bahwa puncak tertinggi adalah milik kita semua. Walau pun sebagain teman-teman rombongan terlebih dahulu membuat camp di pos sepuluh. Jadi, yang tersisa di camp pertengahan pos delapan-pos sembilan enam orang. Yaitu Aku, Dia, Heni, Raya, Jo, dan Tian.
Dari ke enam orang. Kami membuat dua tenda. Aku, dia, dan Heni satu tenda. Sedangkan Raya, Jo, dan Tian di tenda yang satunya. Sekitar pukul 21:00 masakan ala kadarnya yang sudah disiapkan oleh Raya dan Tian.
Semakin mendekati puncak itu. Getaran hatiku semakin maha dahsyatnya. Rupanya semakim susah untuk dikendalikan. Aku sulit membedakan getaran karena kegugupan atau karena cinta. Bagaimana tidak? Tanpa kusadari, tanganku sambil menyuapi dia makan. Heni meledek kami berdua.
"Cie... setianya...!!!" sambil memandang aku dengan tajam, tapi bahagia.
"Apaan sih Ni?" Tanya dia kepada Heni.
Tanganku semakin gemetaran. Ingin aku berhenti menyuapi. Ketika aku berhenti menyuapi, maka aku lebih salah tingkah lagi. Dengan menarik nafas dalam-dalam aku berkata.
"Ayo... !!! fokus makan. Bebeberapa jam lagi kita akan menguasai puncak dengan bahagia." Tegasku menenangkan keadaan.
"Bagaimana bahagia di puncak tertinggi bila di sini pun kau masih gerogi?"
Tak ada yang menjawab. Keadaan kembali hening. Aku sebenarnya ingin merespon. Tapi kasihan kalau masalah seperti ini diperpanjang. Nanti ujung-ujungnya akan tambah baper. Seketika tanganku ingin menyuapi lagi, dia memegang tanganku dengan lembut. Aku kebingungan, sedangkan raitnya yang tulus itu ingin mengucapkan banyal hal.
"Makasih ya, Daud?”
"Makasih untuk apa?" tanyaku padanya.
"Sudah menjaga aku dengan Heni seperti saudari kandungmu."
"Aku sudah menganggap kalian dua seperti adik kandungku sendiri."
Mendengar kata-kataku barusan. Heni langsung mencolek lenganku tanpa diketahui dia. Aku alihkan tatapan ke wajah dia yang sedang menunduk. Aku jadi bingung. Apakahah salah aku berkata dia dan Heni kuanggap saudari kandung? Atau Heni lebih memahami kami berdua? Sehingga selalu mendekatkan kami untuk saling jujur. Tetap saja, aku dan dia seperti batu. Biar nasi yang di genggaamanku belum selesai menyuapinya.
Dia kembali menangkat mukanya. Lagi-lagi matanya berkaca-kaca. Aku masih tenang seribu bahasa. Aku menatapnya penuh hati-hati.
"Kamu menangis?"
"Tidak kok, Daud. Saya hanya mengingat kedua orang tuaku."
"Derai air matanya semakin mengalir deras."
Aku beranikan diri untuk menyeka air matanya yang sementara menetes. Heni yang tahu keadaan, ia memberikan aku tisu untuk menyeka wajah sahabatnya. Saat tanganku menyeka kembali dengan tisu yang kedua kali, dia memegang kembali tanganku. Kali ini, lebih keras dari pegangan sebelum-sebelumnya. Entalah... Dia marah atau apa. Tak ada yang berani memberi penjelasan.
Dia yang sulit terbuka lewat kata-kata. Sedangkan aku sulit memahami isi dari setiap kode yang dimainkannya. Sekiranya, aku yang kurang memahami tentang rasa dan cinta. Maka, tunjukanlah aku sedikit lagi cara yang terang. Paling tidak, bagaimana menghapus air mata? Bagaimana cara mencintaimu dengan inginmu. Ketika cara mencintaimu sudah kau katakan, maka aku akan sediakan sebuah desain pengunci hati terhandal. Biar kau dan aku tak bisa lagi ke mana-mana. Tapi, kita akan menjadi dua kesatuan yang berbeda. Kau dan aku adalah patahan sayap yang disambungkan. Kita akan terbang lebih jauh menikmati indah panorama alam semesta. Maukah kau membuka bagaimana cara mencintaimu?
Heni yang memahami keadaan sahabatnya sedang murung. Kembali lagi Heni menghibur.
"Tak usah lagi gelisah tentang orang tua?" Sambil Heni menepuk pundaknya.
"Iya... ni."
"Aku tahu apa yang sedang menimpamu. Sebagai perempuan, kita punya banyak kesamaan. Kita ingin dimengerti; kita ingin dipahami. Tapi, tak semua mudah datang dengan harapan yang diinginkan. Suatu saat, aku akan ikut bahagia. Tentang dia yang sedang kamu nanti."
"Dia hanya menangangguk saja."
Aku kembali menambahkan. "Udah ya... Tidak ada yang lagi cengeng. Dilarang lagi menangis selama pendakian. Kalau ada yang menangis, sulit dapat pasangan"
"Hahha... orang nangis mikirin orang tua kok" dia menjawab.
Untuk membuat dia kembali tersenyum lagi, aku dan Heni terua menghiburnya. Sampai tak sadar, kami pun memjamkan mata. Sempat kupandang dia, ternyata dia masih gelisah. Tangannya diletakan di atas kepala. Tiga kali aku batuk.
"Ehemmmm... Ehemmm... Ehemmm."
Tapi, dia pura-pura menutup matanya lagi. Tidak terasa, arah jarum jam berputar tanda ada permisi. Sekitar jam 06:00, kami langsung bergeser ke ke pos sepuluh. Dalam perjalanan, yang sedih berganti bahagia; yang bahagia kembali terharu. Ternyata, dua orang perempuan tangguh ini, mampu menginjaki kaki dengan usaha juang yang luar biasa. Tanpa ada kata menyerah dan mengeluh, mereka berdua patut mendapatkan penghargaan sebagai dua pasang sabahabat yang sukses menuju titik akhir.
Akhirnya, kaki kami menginjaki puncak tertinggi Gunung Bawakaraeng. Kami bergegas untuk ketemu rongbongan yang sudah terlebih dahulu naik. Yaitu Roni bersama bersama beberapa orang lainnya. Puncak gunung Bawakaraeng semakin dipadati dengan para pendaki lain untul mengikuti upara pengibaran Sang Saka Merah Putih.
Tepat tanggal 17 Agustus 2017, sekitar pukul 09:00 upacara dimulai. Semua mata terlihat berkaca-kaca. Saat Merah-Putih dikibarkan. Penghormatan dari para pendaki menunjukan bahw merah adalah darah dan kebenarian. Sedangkan putih adalah kelembutan dan kesucian. Maka tetaplah satukan antara merah dan putih. Tetap jagalah kedua perpauduan itu meingibari puncak tanah sejarah ini. Sekitar 09:30, acara pengibaran bendera Merah Putih telah usai.
Setelah Sang Saka Berkibar
Gemuruh sorak-sorai seantero tangan para pendaki. Ada yang haru, gembira, dan banyak lagi kesan saat berada di pendakian. Masuklah acara bebas, kami pun kembali ke tendanya Roni yang berada di dekat tempat kami berkumpul. Kami pun sarapan untuk menambah stamina yang sempat terkuras.
Gilrannnya adalah berpose bebas. Kali ini, salung bergantian foto dengan gaya yabg berbeda-beda. Terkadang berlima, berenam, bertiga, dan berdua. Seolah tak akan habis jepretam kamera. Karena semua berlomba-lomba memasang gaya pose untuk dijadikan sebuah kisah perjalanan yang maha dasyat.
Gilaran aku foto bersama dia. Tangan kabi berdua memegang lembar kertas yang tertulis.
'Setiap puncak yang kamu datangi akan mengajarkan sesuatu'
Semoga saja, sesuatu yang tertulis di lembar putih itu. Akan terjawab setelah menunuruni puncak Gunung Bawakaraeng. Sebab, aku merindukan segalanya dari proses yang kita nikmati. Kau menanti; aku menanti. Saatnya kedewasaan kita semakin teruji di surat keempat yang saya kirim masih dengan harapan semoga kau dapat membalasnya.
Makassar
Kamis, 22 November 2018
By: Djik22
By: Djik22
By: Djik22
Komentar