Sumber foto: Kartini Lia
Kepada yang bernama Lia. Dengarlah dengan hati; resapilah dengan jiwa. Ada pesan yang ingin aku tulis; ada kisah yang ingin aku bagi. Maka, janganlah mengunci hatimu dengan teka-teki. Biar segera bertemu dalam jawaban sebagai tamu di rumah persinggahan. Aku ingin, kau dan aku menyinggahi sebuah tempat yang dinamai 'nyaman.' Lalu, kita sama-sama sepakat untuk melepas segala yang gelap.
Kisah gelapmu tak terhitung bila hanya sebatas diingat. Jika dihitung mengandalkan ingatan, maka banyak penggalan kisahmu yang pernah membuat haru dan air mata. Karena yang kau lalui adalah kepedihan; yang kau alami adalah sebuah perpisahan. Entalah, siapa yang memilih perpisahan. Aku tak punya hak mendakwa tentang perpisahan yang kau alami. Kemudian memutuskan siapa yang salah dan siapa yang benar. Sebab, masa lalumu adalah sebuah rahasia. Yang kutahu secuil darimu adalah sebatas cerita terungkap dari bibir manismu berwarnakan merah.
Dan, yang bisa kumaknai setiap ceritamu adalah tentang perjalanan dibalut asmara. Karena bagimu.
"Cintalah yang mengawali segalanya. Hingga membuat getaran dan debaran. Namun, cinta juga membuat lara itu ada. Sampai dulu banyak hal yang kita sanjung, kini menjadi sebuah kebenciaan."
Benarkah cinta yang mengawali segala sesuatu? Atau cinta juga membuat lara dan air mata bagi yang ditinggalkan? Dengarlah Lia, jika siapa pun yang kau cintai dengan kasih sayang; dengan penuh harapan dan kenyamanan. Maka, setidaknya jangan kau ciptakan lara yang berujung perpisahan. Karena kau berlaku sepihak untuk mengakhiri sebuah hubungan yang terjalin. Namun, sebenarnya kau hanya menguji, sejauh mana ia mencintaimu. Tapi, harapanmu tidak dia pahami dengan sepenuhnya. Akhirnya, memilih jalan masing-masing sebagai sebuah resiko yang terkesan penyesalan.
Aku tak mau banyak mengulas masa lalumu. Apalagi, aku harus menambah luka-luka. Aku tahu; kau juga tahu tentang perihnya masa lalu. Sudah saatnya Lia, kau dan aku harus menjadi mandiri. Kau dan aku harus memegang komitmen, bahwa apa yang kita alami di beberapa tahun lalu. Ternyata masih banyak orang memiliki kisah yang lebih tragis. Setidaknya, kau dan aku harus bersyukur. Kita dipertemukan dengan segala luka, tapi tak meneyerah pada keadaan. Karena sampai sekarang, semesta masih berpihak kepada kau dan aku.
Apakah matamu masih gelap memandang? Sampai hatimu terkunci bagi siapa saja yang datang. Aku hanya ingin mengatakan kepadamu, Lia.
"Jangan terlalu tergoda oleh masa lalu yang gelap. Karena akan membuat pandangan dan ingatan semakin berkaca-kaca. Sampai memberi sebuah kalimat 'kalau yang datang akan sama' dengan memiliki kepentingan yang berselubung. Tapi, ingatkah kau, jika pernyataan itu, masih bertahan sebagai prinsip. Maka akan mengunci hatimu lebih keras lagi. Sudah saatnya hatimu dibuka Lia. Tapi, tetaplah memilih dan memilah setiap yang datang. Biar gelap tak terulang membuat trauma berkepanjangan."
Aku tahu tatatapanmu masih menoleh ke ranting itu. Tangamu kanan masih menggenggam batang yang tegak berdiri. Lalu, di bagian latar tempatmu berdiri penuh warna-warni. Namun aku percaya pada keberpihakan semesta. Kalau suatu saat, kau memilih duduk. Sambil tangan kirimu menggengam ranting mengibarkan bendera Merah Putih. Tangan kananmu memegang ranting yang lebih kuat lagi.
Maka, nikmatilah kehidupan ini Lia. Karena di puncak tertinggi kau duduki adalah sebuah usaha untuk melupakan. Sambil membuat komitmen tentang hari yang baru; tentang jalan yang baru; tentang sebuah kisah yang baru. Maka, senyum dan bahagia akan berpihak padamu. Sembari awan putih ditemani cahaya menambah ketertarikanmu pada semesta dan keterbukaan bagi siapa pun.
"Apakah kau menunggu ada yang datang, Lia?"
Aku tak ingin cepat kau jawab tanpa pertimbangan. Cukup kukuatkan dirimu dengan cara sebisaku. Namun, kau dan aku tetap membuat cerita. Sehingga aku ajak kau berdiri, sambil menikmati jalan lain yang kita akan melangkah bersama. Maka, sekali lagi Lia aku berpesan untukmu.
"Sudahi saja segala yang gelap, Lia ... !!!"
Makassar
Senin, 26 November 2018
By: Djik22
Komentar