Langsung ke konten utama

DALAM BAYANG-BAYANG PERBEDAAN [4]

surat keempat


Sebelum Turun dari Bawakaraeng

Delapan pasang mata bilangan genap. Memberi penghormatan kepada Sang Saka. Kami berdiri dengan penghormatan sepenuh hati. Menyaksikan kibaran Merah Putih. Kapan hatiku berkibar lalu terbang bersanamu? Apakah kau takut menjadi pengelana di atas udara? Jika kau takut, maka mari dekat di sampingku. Biar aku membiarkan bahu kiri dan kananku untuk kau sandar. Tapi, tetap kutunggu di jumlah ke delapan itu. Namun kau belum kunjung bergabung.

Aku yang merasa lama, lantaran serpihan hati yang kuharap terlalu bergembira dengan yang lain. Apakah aku hanya berpikiran tanpa bukti? Atau kau malah memilih menghindar? Masih saja dengan premis sinisku. Semoga saja, kau segera datang bergabung menjadi jumlah ganjil. Yaitu, jumlah ke sembilan yang terus berdiri rapi. Bukan tentang rapi karena diukur; bukan rapi karena bersamaan bahu. Tapi, kau dan aku memiliki kesamaan yang sulit dijabarkan. Bahkan, ketika aku jabarkan, maka tak ada akhir untuk melukis kisah. Sebab, tanganku terus mengukir; pikiranku terus menerawang; dan hatiku mulai tenang dengan perenungan.

Renungkanlah segala yang pernah terjadi. Biar, sebelum menuruni puncak Bawakaraeng, ada kisah baru yang kita bawa. Kalau kisah kita masih semakin menjauh, maka cukup kenanglah aku dalam ingatan. Anggaplah aku adalah angin yang kau hirup; anggap aku adalah tanah yang kau pijaki; dan anggaplah aku adalah yang penuh kepastian. Biar dadamu tak sesak, denyut nadimu teratur seperti biasanya.

Menunggu di Lima Menit
Lima menit kunanti, begitu lama bagiku. Namun aku tetap menunggu menambah lima menit lagi. Sampai sepuluh menit pun kau tak kunjung tiba. Padahal, kutotal jadi sepuluh. Biar ada kejutan dengan angka kesukaanku. Namun, nasib berkata lain. Kalau kau tak berada di sisiku saat aku sedang membutuhkanmu.

Kisah ini, tetap aku gores di hati yang bimbang dan terobang-ambing. Seperti kelelahan mencari cara untuk katakan sebenarnya. Ketika aku mau berbicara jujur. Selalu saja datang orang lain mengajak kita bercerita. Sehingga fokus bicara dari hati ke hati tetap tertahan. Ibarat mengimbangi tubuh, kau dan aku tak ingin jatuh di tebing-tebing dalam yang sementara kita lihat bersama. Atau kau mulai menyerah lantaran terlalu lama kuungkap? Apakah kau tahu diriku juga menunggu kisahmu yang jujur?

Kisah kau dan aku, adalah sepasang kasih yang sulit disatukan. Bayangkan saja, kau dan aku sama-sama merasakan getaran. Tapi, saling menunggu siapa yang mau memulai. Jika, anggapanmu lelaki harus lebih dahulu memulai, maka bagaimana kau yang terlebih dahulu mengatakan sebenaranya?

Salah Persepsi Kisah Misteri
Jika, anggapan aku ke kau dan Heni adalah sebagai saudari kandung, tapi kau ambil hati dan menyimpan keluh. Maka maafkanlah aku. Kau pun tahu aku seperti apa orangnya. Begitu juga tafsir aku ke kau. Tapi, kau adalah ranting-ranting patah yang coba disambungkan. Daun-daun kekuatan hatimu, mampu memberi aku berdiri lebih kuat lagi. Kalau cinta dan rasa pun butuh kesabaran. Selalu ada saat yang sedang menanti. Apakah kau masih memendam perkataan kita sebatas saudari kandung beda air susu? Atau aku terlalu polos bicara saat kau butuhkan ketenengan saat berada di sampingku?

Misteri ini; misteri itu semakin rumit untuk dipecahkan. Kau dan aku lebih banyak memilih diam. Kau akan bicara ketika Heni mengajak bicara. Cahaya gembiramu yang dulu kuliat berpancar. Kini mulai pudar lesu tergoda ke lubuk-lubuk pemilik yang tak bertuan. Bukankah kau dan aku masih tak diikat oleh siapa-siapa?

Kulukis kisah yang penuh misteri ini dengan asa yang membara. Kubalut kisah dalam tulisan ini dengan pedih tapi bertahan; kuukir kisah teka-teki untuk mendekati jawaban. Maka, aku beranikan diri menulis dengan mata berkaca-kaca. Sambil tanganku bergetar sejadi-jadinya.

Harap kau mengerti tentang diamku; Harap kau pahami tentang niatku yang selalu terpeleh. Sudah cukup waktu aku coba memahami. Tapi, kehendak selalu berpihak pada semesta yang menawarkan kelopak-kelopak indah bunga yang sedang berkembang. Jika, kau adalah bunga, maka aku ingin jadi kumbang yang selalu mendekatimu. Bukan aku lelaki setia, kalau mendekatimu hanya mengambil manisnya. Lalu, dengan bangga tanpa malu aku pergi tinggalkanmu. Lagi-lagi aku tegaskan, bahwa aku tak seperti itu!

Kalau ada niat jahatku, tak mungkin kau, aku, Heni dan lainnya jauh mendaki puncak tertinggi Gunung Bawakaraeng ini. Aku ingin membuktikan, kalau cinta dan rasa butuh pengorbanan yang tak main-main. Di samping kau kuanggap saudari beda air susu. Di samping itu juga, aku adalah lelaki normal. Cuman aku sulit memulai dari mana. Ibarat terbangnya burung dengan sayap yang patah. Maka, aku butuh sayap sebelah untuk terbang lebih kencang.

Terbangku tak kuat lagi, bahkan aku seolah menolak turun dari puncak ini. Aku merasa sebagai lelaki yang tak berani. Di sisi lain, aku tak takut siapa-siapa. Namun, satu sisi yang selalu membuatku gerogi. Yaitu, sisi cintaku yang penuh kaku.

Tiba-tiba aku dengar bisikan yang tak asing lagi bagiku di sepuluh tahun lalu. Kulihat dengan teliti. Muncul cahaya putih semakin mendekat. Aku gemetaran. Apakah ini bayangan para penghuni gunung? Cahaya putih itu semakin dekat. Kuperhatikan lagi, apakah aku salah melihat atau hanya halusinasi. Tapi bukan juga. Ternyata, cahaya itu adalah bayangan ibuku. Kupanggil dengan keluh.

"Ibu... ibu... ibu... Aku rindu."

Namun, cahaya itu hanya senyum tanpa membalas. Sekitar satu menit cahaya putih itu menemaniku lalu pergi dengan keberatan hati.

Dua rasa sedih yang sedang kupikir. Pertama adalah aku harus mengikhlaskan ibu pergi walau aku masih butuhkan kasih sayangnya. Kedua, kau yang kuharap, selalu penuh dengan tanda-tanda yang semakin tak kumengerti. Akhirnya tulisanku yang sedang gemetar, tak dapat lagi kulanjutkan. Janjiku, suatu saat akan aku selesaikan dengan teliti lagi.

Siapakah kau sebenarnya? Apakah kau masih berpijak dalam bayang-bayang perbedaan?

Makassar
Kamis, 22 November 2018
By: Djik22

Komentar

Populer

FILOSOFI DAUN PISANG

Harapan dan mimpi dari setiap kepala tidak semua terpenuhi dengan usaha dan praktik. Tapi masih membutuhkan untuk saling dekat dan merespon segala polomik. Di masa yang akhir ini, perutmu telah melahirkan bayi yang masih merangkak dipaksa berjalan di kerikil jalan persimpangan. Dari rawat dan buaian, telah membuka mata batin, mengevaluasi adalah jalan yang tepat. Karena kurangnya menilai dari setiap sisi. Sehingga lahir dua persimpangan kiri kanan jalan. Mata telah terang, langkah sudah tepat, bersama sudah terpupuk, kesadaran mulai bangkit. Berdiri dan bergerak. Saatnya cahaya jadi penerang. Titipan amanah 20 21 11 14 jadi bahan belajar bersama. Filosofi "Daun Pisang dan Bidikan Panah yang Tepat" telah ditemui jawaban dan makna yang dalam. Dia bukan sekedar kata, tapi dialah nyawa setiap yang di dalam. Makassar, April 2017 By: Djik22

TOGAKU TAK IBU SAKSIKAN

Perjuanganmu ibu Mengantarkanku meraih mimpi Mataku lembab berhari-hari Setiap saat mengingat ibu Harapan ibu Aku tetap kuat Aku tetap melaju Tapi ibu Saat bahagiaku Takku tatap lagi ibu Wajah bersinar hadir dalam mimpiku Kala itu ibu Ibu Toga dan pakian kebahagiaanku Semua untuk ibu Togaku tak ibu saksikan Karena ibu telah tiada Yakinku ibu senyum melihatnya Tetap tersenyum di sisiku ibu Dua puluh tiga November dua ribu tiga belas Dua kali dengan angka tiga Ibu telah berbaring bergegas Makassar Minggu, 1 Oktober 2017 By: Djik22

PERLUKAH JEMBATAN PALMERAH?

Sedikit menggelitik, ketika wacana pembangunan jembatan Palmerah. Wacana ini, hadir di beberapa tahun terakir. Di tahun 2017, tidak kala seksi pendiskusian jembatan Palmerah. Maka muncullah pro dan kontra. Padahal merefleksikan wacana ini sangat penting. Kenapa Wacananya Jembatan Palmerah? Mari kita menganalisa secara seksama. Pertama, jembatan Palmerah adalah sejarah pertama di Indonesia bila terbangun. Karena menyambungkan dua pulau, yaitu Pulau Adonara dan Pulau Flores (Larantuka). Jarak jembatan Palmerah dengan panjang bentangan 800 meter akan dipasang turbin 400 meter. Kedua, persoalan proses pembangunan jembatan Palmerah dibutuhkan dana tidak sedikit. Diperkirakan dana mencapai Rp. 51 triliun. Hal ini, perlu dipikirkan. Karena Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi NTT pada tahun 2016 hanya mencapai Rp. 3,8 triliun. Sama halnya pemerintah mengajak kita mengutang dengan investor (swasta). Ketiga, jembatan Palmerah bukan proses meninabobokan masyarakat Flores Timur

ADONARA DALAM PUISI

Petuah kata sejarah Masih temani kaki untuk melangkah Dalam bayang-bayang ibu kuatkan hari Dalam jelmaan ayah pancarkan cahaya hati Hingga tebal awan kota Ingatkan suasan desa Dihimpit berdiri megahnya Ile Boleng Didekatkan Bukit Seburi tanah kampung Karena kitalah gunung yang berdiri Karena kitalah bukit yang menyapa Membawa bisikan bahari Ketika menghadap ke arah pantai Sampai kata dan petuah terus mengikut Wariskan api dari generasi ke generasi Tentang pentingnya menjaga kata Tentang indahnya memakai tenun ikat Maka... Tak kulupakan petuah indah dan keramat Tak kuingkari segala kata-kata bernyawa Di atas alam ditaburi darah dan air mata Karena air mata Bukan hanya tentang tangisan Bukan hanya tentang derita tanpa rasa Namun air mata darah tanda perjuangan Maka... Untuk mengingatmu yang di gunung Untuk mengenangmu yang di pantai Aku mengisi kata-kata lewat puisi Karena darah dan bisikan kata terus diasa Biar perang telah terganti buka dan pena

ANTARA (576)

Sering ada perbandingan pada kata 'antara' ketika diapit oleh kalimat. Antara kau dan aku ternyata banyak perbedaan, antara kau dan dia memiliki banyak kesamaan. Antara pacar dan mantan adalah orang yang pernah berlabu dan sementara bertahan. Baik terkandas di tengah jalan, mau pun mampu melewati batas getir yang melampau kesabaran. Namun, pada kata 'antara' seolah jadi misteri yang tersembunyi. Serupa kolom kosong yang disembunyikan dengan untain doa. Lalu, dipercaya menjadi sebuah legenda atau mitos. Bagaimana sesuatu yang dipercaya tapi tak pernah diinderai? Apakah setan yang berpenampilan putih pada malam Jumat hanya menakut-nakuti? Kemudian muncul pertanyaan, siapa yang menjahit pakian putih yang dipakai setan? Ulasan ini, aku dapati saat duduk di bangku SD. Sang guru selalu menakut-nakuti pada setiap siswa. Bahwa malam Jumat selalu ada tanda ketika melewati tempat-tempat gelap. Saat itu, aku dan kawan-kawan sebayaku selalu percaya. Namun, batang hidung p

KARYAMU TETAP MEMIKAT

Foto: Abdul Rahim (Khalifah05) Ketika doa-doa Telah kau panjat Dengan lemah-lembut Pada Tuhan Yang Esa Tak lupa pula Pintamu Pada para pendahulu Dengan merinding bulu-bulu Begitu dalam penghayatan Bersama angin Bersama waktu Bercampur masa lalu Maka... Yakin pun mendalam Tak secuil akan buram Tampak pada kaca belaka Namun ia selalu melekat Selalu mempererat Antara roh dan jasat Hingga karyamu tetap memikat Makassar Jumat, 21 September 2018 By: Djik22

PEMUDA SAHABAT PERUBAHAN (397)

Indonesia adalah negara yang terdiri dari ragam perbedaan. Baik suku, ras agama, budaya, dan corak berpikir. Inilah bagian kekhasan dari bangsa ini. Dengan kekhasan tersebut, maka tak heran bangsa Indonesia dikenal dengan kemajemukan dan menjujung tinggi perbedaan. Sebab perbedaan adalah varian dari semangat menuju persatuan. Belum lagi menerobos batas wilayah yang terdiri dari beberapa provinsi. Perlu kita menelisik lebih jauh lagi tentang bagaimana membangun tatanan bangsa. Supaya mampu keluar dari zona ketertinggalan. Ternyata, ketertinggalan adalah salah satu masalah dari apa yang dirasakan setelah revolusi Indonesia didengungkan. Walau merdeka secara pengakuan sudah memhudata sampai ke telinga anak cucu. Tapi pertanyaan besar yang harus dijawab, Kenapa merdeka secara praktik/ penerapan jauh panggang dari api? Ketika secara penerapan dalam kehidupan berbangsa mulai melenceng dengan dasar negara, maka harus kembali mengamalkan nilai-nilai kebaikan yang telah diletakan oleh