surat keempat
Sebelum Turun dari Bawakaraeng
Delapan pasang mata bilangan genap. Memberi penghormatan kepada Sang Saka. Kami berdiri dengan penghormatan sepenuh hati. Menyaksikan kibaran Merah Putih. Kapan hatiku berkibar lalu terbang bersanamu? Apakah kau takut menjadi pengelana di atas udara? Jika kau takut, maka mari dekat di sampingku. Biar aku membiarkan bahu kiri dan kananku untuk kau sandar. Tapi, tetap kutunggu di jumlah ke delapan itu. Namun kau belum kunjung bergabung.
Aku yang merasa lama, lantaran serpihan hati yang kuharap terlalu bergembira dengan yang lain. Apakah aku hanya berpikiran tanpa bukti? Atau kau malah memilih menghindar? Masih saja dengan premis sinisku. Semoga saja, kau segera datang bergabung menjadi jumlah ganjil. Yaitu, jumlah ke sembilan yang terus berdiri rapi. Bukan tentang rapi karena diukur; bukan rapi karena bersamaan bahu. Tapi, kau dan aku memiliki kesamaan yang sulit dijabarkan. Bahkan, ketika aku jabarkan, maka tak ada akhir untuk melukis kisah. Sebab, tanganku terus mengukir; pikiranku terus menerawang; dan hatiku mulai tenang dengan perenungan.
Renungkanlah segala yang pernah terjadi. Biar, sebelum menuruni puncak Bawakaraeng, ada kisah baru yang kita bawa. Kalau kisah kita masih semakin menjauh, maka cukup kenanglah aku dalam ingatan. Anggaplah aku adalah angin yang kau hirup; anggap aku adalah tanah yang kau pijaki; dan anggaplah aku adalah yang penuh kepastian. Biar dadamu tak sesak, denyut nadimu teratur seperti biasanya.
Delapan pasang mata bilangan genap. Memberi penghormatan kepada Sang Saka. Kami berdiri dengan penghormatan sepenuh hati. Menyaksikan kibaran Merah Putih. Kapan hatiku berkibar lalu terbang bersanamu? Apakah kau takut menjadi pengelana di atas udara? Jika kau takut, maka mari dekat di sampingku. Biar aku membiarkan bahu kiri dan kananku untuk kau sandar. Tapi, tetap kutunggu di jumlah ke delapan itu. Namun kau belum kunjung bergabung.
Aku yang merasa lama, lantaran serpihan hati yang kuharap terlalu bergembira dengan yang lain. Apakah aku hanya berpikiran tanpa bukti? Atau kau malah memilih menghindar? Masih saja dengan premis sinisku. Semoga saja, kau segera datang bergabung menjadi jumlah ganjil. Yaitu, jumlah ke sembilan yang terus berdiri rapi. Bukan tentang rapi karena diukur; bukan rapi karena bersamaan bahu. Tapi, kau dan aku memiliki kesamaan yang sulit dijabarkan. Bahkan, ketika aku jabarkan, maka tak ada akhir untuk melukis kisah. Sebab, tanganku terus mengukir; pikiranku terus menerawang; dan hatiku mulai tenang dengan perenungan.
Renungkanlah segala yang pernah terjadi. Biar, sebelum menuruni puncak Bawakaraeng, ada kisah baru yang kita bawa. Kalau kisah kita masih semakin menjauh, maka cukup kenanglah aku dalam ingatan. Anggaplah aku adalah angin yang kau hirup; anggap aku adalah tanah yang kau pijaki; dan anggaplah aku adalah yang penuh kepastian. Biar dadamu tak sesak, denyut nadimu teratur seperti biasanya.
Menunggu di Lima Menit
Lima menit kunanti, begitu lama bagiku. Namun aku tetap menunggu menambah lima menit lagi. Sampai sepuluh menit pun kau tak kunjung tiba. Padahal, kutotal jadi sepuluh. Biar ada kejutan dengan angka kesukaanku. Namun, nasib berkata lain. Kalau kau tak berada di sisiku saat aku sedang membutuhkanmu.
Kisah ini, tetap aku gores di hati yang bimbang dan terobang-ambing. Seperti kelelahan mencari cara untuk katakan sebenarnya. Ketika aku mau berbicara jujur. Selalu saja datang orang lain mengajak kita bercerita. Sehingga fokus bicara dari hati ke hati tetap tertahan. Ibarat mengimbangi tubuh, kau dan aku tak ingin jatuh di tebing-tebing dalam yang sementara kita lihat bersama. Atau kau mulai menyerah lantaran terlalu lama kuungkap? Apakah kau tahu diriku juga menunggu kisahmu yang jujur?
Kisah kau dan aku, adalah sepasang kasih yang sulit disatukan. Bayangkan saja, kau dan aku sama-sama merasakan getaran. Tapi, saling menunggu siapa yang mau memulai. Jika, anggapanmu lelaki harus lebih dahulu memulai, maka bagaimana kau yang terlebih dahulu mengatakan sebenaranya?
Lima menit kunanti, begitu lama bagiku. Namun aku tetap menunggu menambah lima menit lagi. Sampai sepuluh menit pun kau tak kunjung tiba. Padahal, kutotal jadi sepuluh. Biar ada kejutan dengan angka kesukaanku. Namun, nasib berkata lain. Kalau kau tak berada di sisiku saat aku sedang membutuhkanmu.
Kisah ini, tetap aku gores di hati yang bimbang dan terobang-ambing. Seperti kelelahan mencari cara untuk katakan sebenarnya. Ketika aku mau berbicara jujur. Selalu saja datang orang lain mengajak kita bercerita. Sehingga fokus bicara dari hati ke hati tetap tertahan. Ibarat mengimbangi tubuh, kau dan aku tak ingin jatuh di tebing-tebing dalam yang sementara kita lihat bersama. Atau kau mulai menyerah lantaran terlalu lama kuungkap? Apakah kau tahu diriku juga menunggu kisahmu yang jujur?
Kisah kau dan aku, adalah sepasang kasih yang sulit disatukan. Bayangkan saja, kau dan aku sama-sama merasakan getaran. Tapi, saling menunggu siapa yang mau memulai. Jika, anggapanmu lelaki harus lebih dahulu memulai, maka bagaimana kau yang terlebih dahulu mengatakan sebenaranya?
Salah Persepsi Kisah Misteri
Jika, anggapan aku ke kau dan Heni adalah sebagai saudari kandung, tapi kau ambil hati dan menyimpan keluh. Maka maafkanlah aku. Kau pun tahu aku seperti apa orangnya. Begitu juga tafsir aku ke kau. Tapi, kau adalah ranting-ranting patah yang coba disambungkan. Daun-daun kekuatan hatimu, mampu memberi aku berdiri lebih kuat lagi. Kalau cinta dan rasa pun butuh kesabaran. Selalu ada saat yang sedang menanti. Apakah kau masih memendam perkataan kita sebatas saudari kandung beda air susu? Atau aku terlalu polos bicara saat kau butuhkan ketenengan saat berada di sampingku?
Misteri ini; misteri itu semakin rumit untuk dipecahkan. Kau dan aku lebih banyak memilih diam. Kau akan bicara ketika Heni mengajak bicara. Cahaya gembiramu yang dulu kuliat berpancar. Kini mulai pudar lesu tergoda ke lubuk-lubuk pemilik yang tak bertuan. Bukankah kau dan aku masih tak diikat oleh siapa-siapa?
Kulukis kisah yang penuh misteri ini dengan asa yang membara. Kubalut kisah dalam tulisan ini dengan pedih tapi bertahan; kuukir kisah teka-teki untuk mendekati jawaban. Maka, aku beranikan diri menulis dengan mata berkaca-kaca. Sambil tanganku bergetar sejadi-jadinya.
Harap kau mengerti tentang diamku; Harap kau pahami tentang niatku yang selalu terpeleh. Sudah cukup waktu aku coba memahami. Tapi, kehendak selalu berpihak pada semesta yang menawarkan kelopak-kelopak indah bunga yang sedang berkembang. Jika, kau adalah bunga, maka aku ingin jadi kumbang yang selalu mendekatimu. Bukan aku lelaki setia, kalau mendekatimu hanya mengambil manisnya. Lalu, dengan bangga tanpa malu aku pergi tinggalkanmu. Lagi-lagi aku tegaskan, bahwa aku tak seperti itu!
Kalau ada niat jahatku, tak mungkin kau, aku, Heni dan lainnya jauh mendaki puncak tertinggi Gunung Bawakaraeng ini. Aku ingin membuktikan, kalau cinta dan rasa butuh pengorbanan yang tak main-main. Di samping kau kuanggap saudari beda air susu. Di samping itu juga, aku adalah lelaki normal. Cuman aku sulit memulai dari mana. Ibarat terbangnya burung dengan sayap yang patah. Maka, aku butuh sayap sebelah untuk terbang lebih kencang.
Terbangku tak kuat lagi, bahkan aku seolah menolak turun dari puncak ini. Aku merasa sebagai lelaki yang tak berani. Di sisi lain, aku tak takut siapa-siapa. Namun, satu sisi yang selalu membuatku gerogi. Yaitu, sisi cintaku yang penuh kaku.
Tiba-tiba aku dengar bisikan yang tak asing lagi bagiku di sepuluh tahun lalu. Kulihat dengan teliti. Muncul cahaya putih semakin mendekat. Aku gemetaran. Apakah ini bayangan para penghuni gunung? Cahaya putih itu semakin dekat. Kuperhatikan lagi, apakah aku salah melihat atau hanya halusinasi. Tapi bukan juga. Ternyata, cahaya itu adalah bayangan ibuku. Kupanggil dengan keluh.
"Ibu... ibu... ibu... Aku rindu."
Namun, cahaya itu hanya senyum tanpa membalas. Sekitar satu menit cahaya putih itu menemaniku lalu pergi dengan keberatan hati.
Dua rasa sedih yang sedang kupikir. Pertama adalah aku harus mengikhlaskan ibu pergi walau aku masih butuhkan kasih sayangnya. Kedua, kau yang kuharap, selalu penuh dengan tanda-tanda yang semakin tak kumengerti. Akhirnya tulisanku yang sedang gemetar, tak dapat lagi kulanjutkan. Janjiku, suatu saat akan aku selesaikan dengan teliti lagi.
Siapakah kau sebenarnya? Apakah kau masih berpijak dalam bayang-bayang perbedaan?
Jika, anggapan aku ke kau dan Heni adalah sebagai saudari kandung, tapi kau ambil hati dan menyimpan keluh. Maka maafkanlah aku. Kau pun tahu aku seperti apa orangnya. Begitu juga tafsir aku ke kau. Tapi, kau adalah ranting-ranting patah yang coba disambungkan. Daun-daun kekuatan hatimu, mampu memberi aku berdiri lebih kuat lagi. Kalau cinta dan rasa pun butuh kesabaran. Selalu ada saat yang sedang menanti. Apakah kau masih memendam perkataan kita sebatas saudari kandung beda air susu? Atau aku terlalu polos bicara saat kau butuhkan ketenengan saat berada di sampingku?
Misteri ini; misteri itu semakin rumit untuk dipecahkan. Kau dan aku lebih banyak memilih diam. Kau akan bicara ketika Heni mengajak bicara. Cahaya gembiramu yang dulu kuliat berpancar. Kini mulai pudar lesu tergoda ke lubuk-lubuk pemilik yang tak bertuan. Bukankah kau dan aku masih tak diikat oleh siapa-siapa?
Kulukis kisah yang penuh misteri ini dengan asa yang membara. Kubalut kisah dalam tulisan ini dengan pedih tapi bertahan; kuukir kisah teka-teki untuk mendekati jawaban. Maka, aku beranikan diri menulis dengan mata berkaca-kaca. Sambil tanganku bergetar sejadi-jadinya.
Harap kau mengerti tentang diamku; Harap kau pahami tentang niatku yang selalu terpeleh. Sudah cukup waktu aku coba memahami. Tapi, kehendak selalu berpihak pada semesta yang menawarkan kelopak-kelopak indah bunga yang sedang berkembang. Jika, kau adalah bunga, maka aku ingin jadi kumbang yang selalu mendekatimu. Bukan aku lelaki setia, kalau mendekatimu hanya mengambil manisnya. Lalu, dengan bangga tanpa malu aku pergi tinggalkanmu. Lagi-lagi aku tegaskan, bahwa aku tak seperti itu!
Kalau ada niat jahatku, tak mungkin kau, aku, Heni dan lainnya jauh mendaki puncak tertinggi Gunung Bawakaraeng ini. Aku ingin membuktikan, kalau cinta dan rasa butuh pengorbanan yang tak main-main. Di samping kau kuanggap saudari beda air susu. Di samping itu juga, aku adalah lelaki normal. Cuman aku sulit memulai dari mana. Ibarat terbangnya burung dengan sayap yang patah. Maka, aku butuh sayap sebelah untuk terbang lebih kencang.
Terbangku tak kuat lagi, bahkan aku seolah menolak turun dari puncak ini. Aku merasa sebagai lelaki yang tak berani. Di sisi lain, aku tak takut siapa-siapa. Namun, satu sisi yang selalu membuatku gerogi. Yaitu, sisi cintaku yang penuh kaku.
Tiba-tiba aku dengar bisikan yang tak asing lagi bagiku di sepuluh tahun lalu. Kulihat dengan teliti. Muncul cahaya putih semakin mendekat. Aku gemetaran. Apakah ini bayangan para penghuni gunung? Cahaya putih itu semakin dekat. Kuperhatikan lagi, apakah aku salah melihat atau hanya halusinasi. Tapi bukan juga. Ternyata, cahaya itu adalah bayangan ibuku. Kupanggil dengan keluh.
"Ibu... ibu... ibu... Aku rindu."
Namun, cahaya itu hanya senyum tanpa membalas. Sekitar satu menit cahaya putih itu menemaniku lalu pergi dengan keberatan hati.
Dua rasa sedih yang sedang kupikir. Pertama adalah aku harus mengikhlaskan ibu pergi walau aku masih butuhkan kasih sayangnya. Kedua, kau yang kuharap, selalu penuh dengan tanda-tanda yang semakin tak kumengerti. Akhirnya tulisanku yang sedang gemetar, tak dapat lagi kulanjutkan. Janjiku, suatu saat akan aku selesaikan dengan teliti lagi.
Siapakah kau sebenarnya? Apakah kau masih berpijak dalam bayang-bayang perbedaan?
Makassar
Kamis, 22 November 2018
By: Djik22
By: Djik22
Komentar