Sumber foto: Kartini Lia
"Sudah saatnya kita saling melupakan. Aku tak ingin terus terjebak dengan drama yang kau sutradarai. Seolah peranku terus menjadi melankolis. Lalu, air mata dan lara begitu dekat denganku. Aku ingin menyandar di bahu yang berbeda, tapi tak menyepakati dengan segala macam ikatan."
Maka, aku bertemu lagi dengan sosok lelaki kelahiran bulan November. Dia sering disapa dengan Edo. Ternyata Edo mampu menghipnotis aku dengan mantra kata-katanya yang memikat. Aku dibuatnya terus nyambung dalam bercerita. Ibaratnya, akulah kekurangan, maka dia adalah kelebihan yang siap mengisi; jika aku adalah kekuatan kata, maka dia menyulam dengan semangat makna yang bersembunyi di setiap tulisannya.
Tepat akhir bulan November. Edo mengatakan dengan terus-terang padaku. Saat itu, Edo melayangkan aku dengan pertanyaan-pertanyaan pancingan. Sebelum melanjutkan tanya yang kesekian, Edo berkata.
"Simpan saja rasamu menuju arah itu, aku tak ingin membawamu terbang jauh dengan ikatan. Sebab, hal seperti ini menjadi ketakutanku. Maka, tetaplah jadikan dirimu bebas. Kemudian kita sama-sama terbang jauh tanpa ada yang melarang."
Kata-kata Edo, coba menguji alam bawa sadarku. Sampai di titik ini, ada sosok yang ikhlas menjaga diri dan tak mau dibodohi dengan rasa. Ternyata, Edo begitu kharismatik. Hingga kami sama-sama merindu.
Merindunya antara aku dengan Edo bukan masalah tentang perasaan saja. Aku dan Edo merindukan cerita-cerita. Setidaknya, dia menjadi teman cerita yang selalu nyambung. Walau pun terkadang kata-katanya tak mampu kuselami dengan kesadaran yang masih minim di dunia sastra. Iya, Edo adalah seorang penulis dan pegiat sastra. Edo dibesarkan dengan didikan sastra; ditimang dengan api dan kelembutan aksara. Sedangkan aku; dibesarkan dengan pijakan sosiologi dan berdiri pada politik.
Rasanya, aku dan Edo sama-sama saling menguji. Ketika batas patok dia memberi batas pada setiap pertemuan kami. Maka, dengan jujur aku berkata.
"Di pertemuan yang kesekian; di perkenalan dengan lelaki yang tak dapat kuhitung secara pasti. Aku menemukan dirimu menyimpan segala obat penawar. Terus ditambah dengan kegilaan kita yang saling mengganggu antara satu sama lain. Kau seolah serpihan cahaya yang terus membimbingku; kau adalah butiran mutiara yang berkaca-kaca."
Perempuan mana yang tak suka dimengerti, perempuan mana yang tak suka diberi perhatian. Namun, bukan aku mudah menerima segala yang Edo tanya; bukan aku menjadikannya tempat mengisi kekosongan hati. Tapi, aku menggunakan kesempatan ini untuk mengikutinya menyulam ribuan kata yang disusun lewat aksara. Biar aku kembali puitis lagi. Inilah Edo, lelaki sederhana yang terus mendamba menawan hati. Menggodaku dengan lembut. Kumudiam mengajakku menjadi perempuan pengkelana kata-kata.
Edo, andaikan kau pun mengerti. Maka, banyak hal yang kupendam dapat kau pahami lewat teka-teki yang sedang kita mainkan. Karena, aku tahu kalau kau masih terus bersembunyi. Bagaimana tidak kalau yang kita sembunyikan adalah perasaan? Kenapa di awal perkenalan kita harus membatasi diri untuk tak diikat ke arah itu? Bolehkah kata-kata itu ditarik kembali? Sampai aku termenung layu ketika selesai bertemu dengannya di kamar kontrakan seniorku. Aku tuliskan kejujuranku lewat pesan yang kukirim.
"Aku sayang sama kamu; aku rindu sama kamu. Tapi, hanya sebatas sebagai saudara yang dipertemukan di tanah perantauan. Aku pun tak berani melanggar kesepakatan kita. Maka, teruslah membimbing aku."
Berharap Edo segera membantah kata-kataku lewat pesan yang aku kirim. Namun, yang kuharap tak kunjung tiba; yang kutunggu tak kunjung muncul. Sampai aku terlelap dalam tidur malamku berteman mimpi.
Terbangun dari tidur lelapku. Aku membaca setiap tulisan yang Edo kirim Aku coba memaknai setiap kata-kata yang menjerumus ke kisah-kisahku. Seolah Edo menceritakan segala kisahku. Kenapa Edo membawaku dengan kelembutan? Kenapa aku tanpa sadar membuka ruang dan celah untuk dia masuk?
Aku yang terluntang-lanting di beberapa bulan. Aku yang tak percaya kepada sosok yang bernama 'lelaki.' Ternyata, aku termakan dengan prinsipku sendiri. Dalam hati aku berkata.
"Seolah perasaan hati tak bisa dilogikan. Membuat diri masuk dalam ranah rasa melahirkan rindu. Apakah ini sebuah petanda ada getaran yang sama-sama rasakan?"
Edo tidak kecolongan dengan jebakanku. Malah dia yang terus memancing. Agar keadaan yang kaku berubah jadi cair; keadaan yang menguras tenaga, disulap jadi pembicaraan dari hati ke hati. Edo, andaikan kau mengerti, maka kita berdua akan menjadi pengkianat janji. Bagaimana tidak kalau kau menjadi lelaki pemberani? Keberanianmu itu, aku tahu lewat sapamu.
"Aku rindu, entah apa yang harus dijelaskan. Namun, aku harus berkata jujur setiap bahasa. Ikhlas setiap tanya yang kupilih. Jika kau mengganggap ini ada gombal yang sering dimainkan? maka segera kutolak. Kalau, saat ini aku sedang dirasuki dengan segala yang bernama 'rindu.' Apakah kau merasakan getaran rindu yang sama, Lia?"
Sontak aku kaget dengan pengakuan Edo. Semakin ke sini, aku dan dia terserang sebuah penyakit yang harus ditemukan obatnya. Aku tak menolak kejujuran kata; aku tak mengorbankan perasaan. Karena bagiku, buat apa bermain dengan perasaan kalau toh aku pun merasakannya? Maka, aku menyambung dengan kalimat yang lebih sederhana lagi atas pengakuan Edo tentang rindu. Sebab, Edo berkata.
"Aku mulai rindu ketika tidak bertemu dengan kamu, ini bukan gombal atau alai"
Namun, aku juga harus mengakui pengakuan dari Edo. Maka, kususun lagi kata-kataku.
"Bukan dua-duanya, Do. Tapi itu namanya pengakuan yang harus dipenuhi untuk keinginan perasaan. Kalau dipendam, nanti akan sesak."
Lalu, Edo menanyakan aku dengan tiga pertanyaan sebagai pelengkap tulisannya tentanh Kita Saling Rindu. Karena tangannya Edo gemetaran. Seolah membendung perasaan untuk diungkap dalam kata rindu.
Jika kau dan aku tetap berdiri pada patokan yang pernah dibangun, maka siapa yang akan bertanggung jawab tentang rindu. Setidaknya, rindu menjadi kisah bernyawa untuk terus kita bercerita. Maka, jadikanlah kisah kita dalam balutan sastra. Biar kau dan aku terbanh dengan bebas memenuhi rindu.
Makassar
Kamis, 29 November 2018
By: Djik22
Komentar