Sumber foto: Kartini Lia
Jalan yang aku lalui, begitu terbelit-belit. Seperti puisi yang sedang mencari makna; seperti karya yang menyimpan misteri; seperti buku yang dibaca. Setiap kata dalam puisi aku menggoreskan aksara penuh gabungan rasa. Ditambah jadi karya yang saling kait mengait. Maka, selalu ada misteri di jalan yang kulalui. Namun, aku terpaku pada kekuatan seperti tertera dalam buku-buku.
Jika akulah jabarkan dari puisi, karya, dan buku. Maka, kaulah yang digandeng dengan ketiga hal itu. Saat aku berjalan di pinggir pantai sambil melihat ranting yang menawarkan rindu. Kenapa ranting menawarkan rindu? Bila aksara menyentuh hatimu yang penuh kenangan? Apakah kau susah melupakan kenangan itu?
Semoga, aku selalu dalam jelmaan nyaman. Biar kau tetap tersenyum mengalahkan kenangan luka berdarah, air mata, dan resah. Kemudian aku hadir untuk kau monoleh pada kenangan baik.
Aku menyukai segala yang kurang darimu. Aku syukuri segala yang lebih darimu. Biar, kau jadi aku pembimbing untuk sembuhkan kenangan yang penuh luka. Bisakah kau lupakan luka? Apakah aku masih jauh dari pandanganmu?
Kau ajarkan aku tentang seribu kata yang tak beribu. Kau wariskan aku pandangan bercahaya menghapus luka. Maka, aku segera berdiri kembali menjadi seorang puitis. Bimbinglah aku bersama bahu ikhlasmu. Hingga tangan Tuhan berkata pada semesta, kalau kau dan aku akan tetap bersama.
Kalau suaramu didengar semesta yang sedang menanti. Bisikanlah aku dengan suara-suara lembutmu. Hingga kita padukan perbedaan suara menjadi kekhasan pasang batang yang mulai besar di pinggiran pantai. Lalu, aku injaki setiap sampah yang penuh kenangan pahit. Kau hadir menyulam nafas bernyawa bersama arah langkahmu. Maka, tetaplah menulis tentang aku dalam catatan aksaramu penuh rima dan diksi yang memikati. Sampai kau gantikan ranting dengan pena; kau gantikan daun dengan tinta menyulam makna. Maka aku tetap menoleh ke ranting itu.
Makassar
Minggu, 25 November 2018
By: Djik22
Komentar