surat kelima
Dalam Perbedaan Aku Merenung
Ketika kau berpijak pada perbedaan. Aku mulai diasingkan dengan sendirinya. Bagaimana tidak? Lantaran berbeda jalan menuju Tuhan, kau semakin menjauh dan namun selalu dekat. Aku keberatan, namum kutemukan nyaman yang tiada tara ketika kita saling dekat. Aku Ingin selalu bersama dia untuk selamnya. Tapi dekatnya aku dan dia hanya dalam hitungan bulan. Aku kira, kita sama-sama memahami dengan perbedaan yang sedikit mencolok. Itu tak begitu penting bagiku, jika perbedaan adalah batas. Maka jalan pembahasan kita selalu terkandas. Aku tak ingin kandas dalam melangkah; tak ingin berhenti karena keburaman pikiran. Tiba-tiba saja pikiranku semakin membias.
"Siapa dia sebenarnya?" Tanyaku dalam renungan.
Yang kutahu adalah sebatas layang-pandang tentang dia. Yang kuingat adalah jalan baiknya tak bisa terbalas. Sampai aku merasa berhutang budi. Seketika Heni datang bertanya.
"Daud...!!!!"
"Iya Ni... Kenapa Ni?
"Aku bingung dengan kalian dua, Daud."
"Bingung kenapa Ni?"
"Soalnya, kalian dua saling suka, tapi sulit mengungkapkan kejujuran antara satu sama lain. Berat Daud, ketika rasa dan cinta terus dipendam. Harusnya kau sebagai laki-laki. Mulailah dahulu mengungkapkan rasa itu."
"Bagaimana aku harus jujur pada rasa dan cinta, Ni? Kalau responku selama ini tak dianggap berarti. Kita memimpikan kebersamaan, tapi kita semakin terpecah-pecah. Kita berharap saling bersatu, namun semakin ke sini kita semakin tak jelas."
"Apanya yang tidak jelas Daud?" Tanya Heni.
"Susah dijelaskan dengan kata-kata yang disusun dengan baik, Ni. Seolah-olah aku jadi takut sendiri untuk memulai. Ketika aku ingin memulai, selalu saja terhalang. Apakah ini ujian atau tanda-tanda buruk, Ni? Aku tak minta bantuan siapa-siapa. Cuman ketika kau bertanya, maka aku jawab dengan hati; aku jawab sesuai dengan kata hati. Tanpa ada sehelai hitam yang terselip dalam lidahku bergerak."
Heni tak menjawab apa-apa. Heni memililih pamit pergi temani dia yang sedang peking. Sebelum meninggalkanku yang lagi termenung. Heni berpesan.
"Jangan terlalu memendam apa yang dirasa Daud. Nanti, akan menyiksa diri sendiri. Cobalah lebih terbuka lagi. Mulailah bicara; mulailah berani dengan bicara. Biar masalah tidak jadi tekanan. Sebagai sahabat, aku tak memihak siapa-siapa. Aku ingin berdiri demi kalian berdua."
Heni pergi. Sisahkan aku sendiri berteman sepi. Dibalut rasa yang kalut. Aku mulai memikirkan lagi tentang dia; tentang ibu. Dan masih banyak lagi. Aku kembali lagi merenung. Semakin dalam merenunng, aku merasa dirundung masalah besar. Aku menganggap diriku sebagai lelaki bersalah.
Salahnya ketika selama ini aku mengganggap ibu masih ada. Ternyata, baru sadar kembali. Seperti ibu selalu hadir dalam setiap lamunanku. Sampai kuhitung dengan teliti, ibu sudah meninggalkan kami satu tahun yang lalu. Dalam renung aku berkata.
"Ibu aku berjanji, aku akan meneruskan segala amanahmu. Aku akan menjaga nama baik keluarga. Dan hal paling penting dari ibu adalah aku harus mencari pasangan sesuai dengan amanah ibu."
Seingatku dua tahun lalu ibu memesanku. "Anakku, teruslah mengejar apa yang jadi mimpimu. Tapi jangan terlalu merenungi segala yang kau kejar, baru sampai menyudutkanmu terperosot jauh ke lubang berbahaya. Jadi lelaki, kau harus kuat. Selalu hati-hatilah dengan cinta Nak. Biar cinta yang menyatukan kita. Tapi, cinta jugalah yang memisahkan kita."
Ketika berlandaskan pada pesan ibu, maka piihan aku sudah tepat. Tapi masih dalam renungan. Apakah aku jadikan dia sebagai sahabat? Atau segera mengungkapnya? Biar disaksikan oleh gunung; dilihat oleh ranting-ranting; dibalut oleh kabut. Aku pun tambah bingung.
Pristiwa dan ujian
Aku menunggu kawan-kawan yang lain untuk peking. Kami berdiri tidak jauh dari camp-nya Roni. Tapi Roni mereka ingin duluan turun.
"Daus...!!!"
"Iya, Ron. Sampai ketemu di pos berikutnya," jelasku pada Roni.
Setelah selesai peking, aku, dia Heni, Raya, Tian, dan Jo. Sekitar jam 10:30 kami siap-siap turun dari puncak tertinggi gunung Bawakaraeng. Maka, kami putuskan bersama untuk turun. Tak lupa kami berdoa kepada Sang Pemilik Semesta. Semoga dalam perjalanan turun, kami selalu dilindungi dalam bimbingan-Nya. Sekitar Jam 11:00 kami turun dari Pos Sepuluh gunung Bawakaraeng.
Sedangkan Roni dan beberapa rombongan yang lain. Sudah lebih dahulu turun. Dengan pesan dari Roni, kalau meraka tunggu kami di sungai pos delapan gunung Bawakaraeng. Aku dan teman-teman pun memegang pada apa yang kami sepakati dengan Roni dan rombongan lain itu.
Seketika sampai di pos delapan. Aku segera mengambil air. Dengan harapan, ada Roni dan beberapa teman-teman lain masih di sana. Namun, tak ada siapa-siapa di pos delapan. Tak ingin ambil pusing dan menyimpan kecewa. Aku bawakan air dari sunagai pos delapan untuk kebutuhan kami enam orang yang sedang kelelahan itu. Kami beristirahat sekitar 30 menit. Kemudian melanjutkan perjalanan kembali.
Pristiwa Antara Pos Delapan-Tujuh
Ketika 30 menit kami beristirahat di pos delapan. Dengan tambahan stamina baru, maka kami kembali turun perlahan-lahan. Kami tetap mengawal antara satu sama lain; kami saling mengingatkan agar tetap hati-hati. Aku pun tak lupa memerhatikan dia. Rupanya, dia mulai lemas dan keringat dingin.
Tiba-tiba saja, kaki dia keram, kami pun kaget. Sambil memapah dia untuk tetap kuat. Semua jadi bingung. Apakah harus istirahat? Atau terus melanjutkan perjalanan. Biar tidak menurunkan semangatnya teman-teman. Maka aku katakan kepada teman-teman.
"Kita tetap berjalan terus teman-teman."
"Bagimana dengan dia, Daud?" Tanya Heni.
Melihat semua bingung dengan pertanyaan Heni. Aku menghampiri dia yang sedang terserang keram pada kakinya. Aku memapah dia sampai di pos tujuh. Kebetulan saat itu, dia tak membawa carrier. Kondisi sedang memapah dia, perlahan dia berkata.
"Daud...!!!
"Iya...!!!
"Maaf, sudah merepotkan ni"
"Begitu memang," jawabku singkat.
Ada rasa yang berbeda kembali muncul. Jantung berdetak semakin tak beratur. Aku sempat merasakan detak jantungnya. Karena belakangan, kami jarang bicara antara satu sama lain. Seolah-olah, ada kehangatan yang mengawal perjalanan turun. Aku masih tetap ingat, ketika tergeletak saat naik ke puncak. Dia menangis sejadi-jadinya, sampai sebagian energiku diberikan olehnya.
Dengan semangat dan motivasi. Maka, kini giliran aku yang harus menguatkan dia. Tentu saja, tak bisa dilepas dengan memahami rasa dan jantung yang sedang berdetak. Perlu dibatasi, bukan aku mengambil kesempatan.
Pos tujuh terasa begitu jauh; seperti menanti malam ke pagi. Tiba-tiba, kami bertemu Ian. Salah satu pendaki dari Sudiang. Ternyata Ian menunggu kami. Sebagai pendaki, Ian paham betul dengan psikologi dan kesiapan anggota kami. Anggota tim kami saat turun ada enam orang. Kini mulai bertambah satu. Jadi jumlah anggota tim menjadi tujuh orang.
Saat itu, Ian menunggu kami di lembah Adelweis. Ian menggunakan baju hitam abu-abu dan kerel berwarna biru. Berbeda dengan aku, kerel yang kupakai berwarna merah ditambah celana warna hitam.
"Kenapa lama sekali?" Tanya Ian.
Aku menjawab. "Dewi lagi terkena musibah."
"Musibah apa?"
"Biasa pendaki pemula. Belum lagi sedang kedatangan tamu" Aku menjelaskan.
"Mana yang lain?" Aku bertanya.
"Ada di pos tujuh."
Kebersamaan kami harap, mulai jadi teka-teki yang sedang menemukan jawaban. Bagaimana tidak, ketika naik kami berjumlah 24 orang. Tapi ketika pindah dari pos satu ke pos lainnya. Kebersmaan kami semakin mahal. Sampai yang tersisa 6 orang. Sedangkan saat turun dari pos tujuh kami berjumlah tujuh orang. Ian pendaki dari Sudiang jadi tambahan tim kami.
Ketika kau berpijak pada perbedaan. Aku mulai diasingkan dengan sendirinya. Bagaimana tidak? Lantaran berbeda jalan menuju Tuhan, kau semakin menjauh dan namun selalu dekat. Aku keberatan, namum kutemukan nyaman yang tiada tara ketika kita saling dekat. Aku Ingin selalu bersama dia untuk selamnya. Tapi dekatnya aku dan dia hanya dalam hitungan bulan. Aku kira, kita sama-sama memahami dengan perbedaan yang sedikit mencolok. Itu tak begitu penting bagiku, jika perbedaan adalah batas. Maka jalan pembahasan kita selalu terkandas. Aku tak ingin kandas dalam melangkah; tak ingin berhenti karena keburaman pikiran. Tiba-tiba saja pikiranku semakin membias.
"Siapa dia sebenarnya?" Tanyaku dalam renungan.
Yang kutahu adalah sebatas layang-pandang tentang dia. Yang kuingat adalah jalan baiknya tak bisa terbalas. Sampai aku merasa berhutang budi. Seketika Heni datang bertanya.
"Daud...!!!!"
"Iya Ni... Kenapa Ni?
"Aku bingung dengan kalian dua, Daud."
"Bingung kenapa Ni?"
"Soalnya, kalian dua saling suka, tapi sulit mengungkapkan kejujuran antara satu sama lain. Berat Daud, ketika rasa dan cinta terus dipendam. Harusnya kau sebagai laki-laki. Mulailah dahulu mengungkapkan rasa itu."
"Bagaimana aku harus jujur pada rasa dan cinta, Ni? Kalau responku selama ini tak dianggap berarti. Kita memimpikan kebersamaan, tapi kita semakin terpecah-pecah. Kita berharap saling bersatu, namun semakin ke sini kita semakin tak jelas."
"Apanya yang tidak jelas Daud?" Tanya Heni.
"Susah dijelaskan dengan kata-kata yang disusun dengan baik, Ni. Seolah-olah aku jadi takut sendiri untuk memulai. Ketika aku ingin memulai, selalu saja terhalang. Apakah ini ujian atau tanda-tanda buruk, Ni? Aku tak minta bantuan siapa-siapa. Cuman ketika kau bertanya, maka aku jawab dengan hati; aku jawab sesuai dengan kata hati. Tanpa ada sehelai hitam yang terselip dalam lidahku bergerak."
Heni tak menjawab apa-apa. Heni memililih pamit pergi temani dia yang sedang peking. Sebelum meninggalkanku yang lagi termenung. Heni berpesan.
"Jangan terlalu memendam apa yang dirasa Daud. Nanti, akan menyiksa diri sendiri. Cobalah lebih terbuka lagi. Mulailah bicara; mulailah berani dengan bicara. Biar masalah tidak jadi tekanan. Sebagai sahabat, aku tak memihak siapa-siapa. Aku ingin berdiri demi kalian berdua."
Heni pergi. Sisahkan aku sendiri berteman sepi. Dibalut rasa yang kalut. Aku mulai memikirkan lagi tentang dia; tentang ibu. Dan masih banyak lagi. Aku kembali lagi merenung. Semakin dalam merenunng, aku merasa dirundung masalah besar. Aku menganggap diriku sebagai lelaki bersalah.
Salahnya ketika selama ini aku mengganggap ibu masih ada. Ternyata, baru sadar kembali. Seperti ibu selalu hadir dalam setiap lamunanku. Sampai kuhitung dengan teliti, ibu sudah meninggalkan kami satu tahun yang lalu. Dalam renung aku berkata.
"Ibu aku berjanji, aku akan meneruskan segala amanahmu. Aku akan menjaga nama baik keluarga. Dan hal paling penting dari ibu adalah aku harus mencari pasangan sesuai dengan amanah ibu."
Seingatku dua tahun lalu ibu memesanku. "Anakku, teruslah mengejar apa yang jadi mimpimu. Tapi jangan terlalu merenungi segala yang kau kejar, baru sampai menyudutkanmu terperosot jauh ke lubang berbahaya. Jadi lelaki, kau harus kuat. Selalu hati-hatilah dengan cinta Nak. Biar cinta yang menyatukan kita. Tapi, cinta jugalah yang memisahkan kita."
Ketika berlandaskan pada pesan ibu, maka piihan aku sudah tepat. Tapi masih dalam renungan. Apakah aku jadikan dia sebagai sahabat? Atau segera mengungkapnya? Biar disaksikan oleh gunung; dilihat oleh ranting-ranting; dibalut oleh kabut. Aku pun tambah bingung.
Pristiwa dan ujian
Aku menunggu kawan-kawan yang lain untuk peking. Kami berdiri tidak jauh dari camp-nya Roni. Tapi Roni mereka ingin duluan turun.
"Daus...!!!"
"Iya, Ron. Sampai ketemu di pos berikutnya," jelasku pada Roni.
Setelah selesai peking, aku, dia Heni, Raya, Tian, dan Jo. Sekitar jam 10:30 kami siap-siap turun dari puncak tertinggi gunung Bawakaraeng. Maka, kami putuskan bersama untuk turun. Tak lupa kami berdoa kepada Sang Pemilik Semesta. Semoga dalam perjalanan turun, kami selalu dilindungi dalam bimbingan-Nya. Sekitar Jam 11:00 kami turun dari Pos Sepuluh gunung Bawakaraeng.
Sedangkan Roni dan beberapa rombongan yang lain. Sudah lebih dahulu turun. Dengan pesan dari Roni, kalau meraka tunggu kami di sungai pos delapan gunung Bawakaraeng. Aku dan teman-teman pun memegang pada apa yang kami sepakati dengan Roni dan rombongan lain itu.
Seketika sampai di pos delapan. Aku segera mengambil air. Dengan harapan, ada Roni dan beberapa teman-teman lain masih di sana. Namun, tak ada siapa-siapa di pos delapan. Tak ingin ambil pusing dan menyimpan kecewa. Aku bawakan air dari sunagai pos delapan untuk kebutuhan kami enam orang yang sedang kelelahan itu. Kami beristirahat sekitar 30 menit. Kemudian melanjutkan perjalanan kembali.
Pristiwa Antara Pos Delapan-Tujuh
Ketika 30 menit kami beristirahat di pos delapan. Dengan tambahan stamina baru, maka kami kembali turun perlahan-lahan. Kami tetap mengawal antara satu sama lain; kami saling mengingatkan agar tetap hati-hati. Aku pun tak lupa memerhatikan dia. Rupanya, dia mulai lemas dan keringat dingin.
Tiba-tiba saja, kaki dia keram, kami pun kaget. Sambil memapah dia untuk tetap kuat. Semua jadi bingung. Apakah harus istirahat? Atau terus melanjutkan perjalanan. Biar tidak menurunkan semangatnya teman-teman. Maka aku katakan kepada teman-teman.
"Kita tetap berjalan terus teman-teman."
"Bagimana dengan dia, Daud?" Tanya Heni.
Melihat semua bingung dengan pertanyaan Heni. Aku menghampiri dia yang sedang terserang keram pada kakinya. Aku memapah dia sampai di pos tujuh. Kebetulan saat itu, dia tak membawa carrier. Kondisi sedang memapah dia, perlahan dia berkata.
"Daud...!!!
"Iya...!!!
"Maaf, sudah merepotkan ni"
"Begitu memang," jawabku singkat.
Ada rasa yang berbeda kembali muncul. Jantung berdetak semakin tak beratur. Aku sempat merasakan detak jantungnya. Karena belakangan, kami jarang bicara antara satu sama lain. Seolah-olah, ada kehangatan yang mengawal perjalanan turun. Aku masih tetap ingat, ketika tergeletak saat naik ke puncak. Dia menangis sejadi-jadinya, sampai sebagian energiku diberikan olehnya.
Dengan semangat dan motivasi. Maka, kini giliran aku yang harus menguatkan dia. Tentu saja, tak bisa dilepas dengan memahami rasa dan jantung yang sedang berdetak. Perlu dibatasi, bukan aku mengambil kesempatan.
Pos tujuh terasa begitu jauh; seperti menanti malam ke pagi. Tiba-tiba, kami bertemu Ian. Salah satu pendaki dari Sudiang. Ternyata Ian menunggu kami. Sebagai pendaki, Ian paham betul dengan psikologi dan kesiapan anggota kami. Anggota tim kami saat turun ada enam orang. Kini mulai bertambah satu. Jadi jumlah anggota tim menjadi tujuh orang.
Saat itu, Ian menunggu kami di lembah Adelweis. Ian menggunakan baju hitam abu-abu dan kerel berwarna biru. Berbeda dengan aku, kerel yang kupakai berwarna merah ditambah celana warna hitam.
"Kenapa lama sekali?" Tanya Ian.
Aku menjawab. "Dewi lagi terkena musibah."
"Musibah apa?"
"Biasa pendaki pemula. Belum lagi sedang kedatangan tamu" Aku menjelaskan.
"Mana yang lain?" Aku bertanya.
"Ada di pos tujuh."
Kebersamaan kami harap, mulai jadi teka-teki yang sedang menemukan jawaban. Bagaimana tidak, ketika naik kami berjumlah 24 orang. Tapi ketika pindah dari pos satu ke pos lainnya. Kebersmaan kami semakin mahal. Sampai yang tersisa 6 orang. Sedangkan saat turun dari pos tujuh kami berjumlah tujuh orang. Ian pendaki dari Sudiang jadi tambahan tim kami.
Begitu berat pristiwa dan ujian yang kami dapat. Namun, ini bukan mengeluh, hanya kekhawatiran bagi para pendaki pemula. Seperti dia dan Heni. Harus diakui, biar mereka berdua adalah pendaki pemula. Tapi, sulu api juang sebagai pendaki terus membara. Maka kami pun bangga dengan kedua perempuan ini yang rela mengambil resiko.
Jika, resiko sebagai petualang sudah kau lalui. Maka, sudah saatnya resiko lain sedang menggebu dan menagi. Bagaimana dengan resiko hatimu yang semakin tertutup? Apakah aku masih tetap jadi mimpi untuk kau sandar? Atau kita segera memilih jalan masing-masing?
Komentar