Getirnya malam
Yang semakin kelam
Yang semakin kelam
Dalam asap yang
mengepul
Pada ingatan
yang menempel
Tempelan itu
Masih subur
membisu
Sampai tak bisa
terbuka
Untuk bercerita
ke siapa
Karena ada
saatnya
Kita memilih
diam tanpa berkata
Tanpa mengumbar
kata
Dengan murah
terjual
Sedikit mahal
Tak jadi soal
Yang penting
Terus mencari
sulu api juang
Maka...
Kau kalungi aku
Dengan cara
menunggu
Kemudian mencari
arti kata
Kata itu
Membuat rindu
Terganti bisu
lagi
Sembari mengejar
mimpi
Seorang pengkelana terlahir dengan jiwa
besar. Yang selalu percaya pada kekuatan alam; kekuatan semesta yang tak bisa
dilepaspisahkan dalam nafas-nafas para penghuni bumi. Maka para pengkelana
selalu menghargai keharmonisan alam. Karena baginya, menjaga adalah ibarat
mimpi yang terus dikejar. Biar akan menjadi budaya untuk anak cucu. Setidaknya
mereka tahu tentang cara menjaga, bukan sukanya merusak. Inilah satu garis
konsisten yang perlu diviruskan kepada generasi muda yang lain.
Bukan sebagai generasi muda yang sibuk
pada pembahasan berita hoax. Kemudian ikut nimbrung menyebar berita
yang kadar kebenaran jauh bumi dengan langit. Sampai semesta ikut tersenyum
sinis melihat tingkah laku yang demikian.
"Bukankah generasi muda adalah sulu
api juang suatu perubahan bangsa?"
Tanya Maya dalam hati saat duduk
menyendiri di kamar kontakannya sambil merenungi porak-poranda dunia yang
semakin membabi-buta. Ternyata, tak semua orang memikirkan hal-hal kecil tapi
memberi dampak besar dan merugikan banyak orang.
Kondisi seperti ini, banyak kita temukan
di mana saja. Baik di halaman kampus, tempat perbelanjaan, pinggiran jalan, dan
kamar-kamar kontrakan. Akan tetapi, berbeda dengan Maya. Karena ia memilih diam
untuk tetap berpijak pada sulu api juang.
Di samping tempat duduk Maya dikelilingi
orang-orang, tapi saling diam dalam keadaan yang ribut saat asap ngepul para
pengendara yang lewat dengan sombongnya. Mereka lebih memilih menatap layar
gawai miliknya masing-masing. Inilah mental dari pengaruh tekhnologi yang
merasuk pelan-pelan di masing-masing kepala generasi muda. Sepertinya,
kesadaran seperti ini perlahan harus dirubah. Karena kesadaran itu perlu diasa.
Biar kondisi lingkungan mampu membentuk buih nafas baru dan keberanian.
Sadar akan dirinya merasa asing di dunia
arah langkahnya, Maya tetap percaya pada kekuatan jiwa. Karena arah langkahnya
selalu berpijak pada kebenaran. Bukan pada kebenaran semu tapi kebenaran yang
bertahan dan mampu robohkan suatu tatanan sosial yang bobrok. Hal ini, senada
dengan teori-teori revolusioner yang didengungkan oleh para pendobrak sejarah.
Namun, sejarah pun masih banyak yang tersembunyi dibalik naskah manipulasi.
Sampai-sampai muncul kecurigaan objektif dari Maya. Tapi, maya masih tetap
memilih diam sementara waktu untuk mengetahui kondisi di sekitaarnya. Biar
mampu menyusun strategi untuk mendekatkan diri kepada siapa saja. Sebab,
prinsip yang terus dipegang secara turun-temurun, yaitu ada saatnya kita
memilih diam tanpa berkata; tanpa mengumbar kata dengan murah terjual.
- - -¤¤¤- - -
Keinginan itu, selalu mengajak untuk terus bergerak. Maka, Maya pun melangkah perlahan
dari kontrakannya menuju kampus yang sedang memanggil lewat desiran lembut
angin pagi yang segar.
Pagi itu, Rama duduk di pelataran kampus
memainkan game di gawainya sambil marah-marah. Karena bidikan
musuhnya selalu lolos dari kejaran senapan. Sebelum melanjutkan amarahnya, Maya
menyapa dari jarak sekitar setengah meter tanpa disadari Rama.
"Pagi amat datangnya, takut dimarahin dosen?"
"Iya ni May, soalnya Pak Darsam
selalu disiplin" Jelas Rama.
Tepat jam 08.00 semua mahasiswa masuk
dalam ruangan untuk mengikuti mata kuliahnya Pak Darsam. Kebetulan Pak Darsam
mengasuh mata kuliah Strategi Belajar-Mengajar. Semua mata tertuju
pada Rama. Karena yang mereka tahu, Rama sering menghabiskan waktu di
kontrakannya untuk main game.
"Ini bukan mimpikan?" Tanya Rini.
"Bukan, ini pemburu peluru"
Ruangan dipenuhi tawa dari teman-temannya Rama yang sering mengganggunya.
“Santai donk tatapannya coy"
Tegur Rama kepada teman-teman kelasnya
yang suka usil.
Namun, Maya tetap mengambil posisi
duduknya di bagian depan. Karena bagi Maya duduk di depan lebih menikmati apa
yang disampaikan oleh dosen dan suara tetap jelas. Sambil menarik nafas pada
udara yang sedikit pengap, Maya mengeluarkan novel Egosentris karya
Syahid Muhammad dari dalam tasnya untuk dibaca. Karena bagi Maya, membaca
adalah melawan; membaca adalah mengeja penuh penghayatan. Kemudian mengaya asa
untuk tetap berjuang, maka teruslah membaca.
Ketekunan Maya membaca sudah terlatih
sejak kecil oleh kedua orang tuanya. Makanya, budaya membaca tak bisa
dilepaspisahkan dengan pribadi Maya. Apalagi, Maya sebagai mahasiswa yang
selalu dikagumi oleh dosen dan teman-temannya. Akan tetapi, Maya tetap rendah
hati dan menganggap segala apresiasi dari teman-temannya dan lingkungan sekitar
adalah bibit unggul yang terus dirawat. Bukan hanya dirinya saja. Namun, setiap
yang bernafas; setiap yang bernyawa harus mengeja asa pada buku, dan
mendekatkan diri pada rasa ikhlas mengabdi. Apalagi sebagai generasi muda.
Sekitar lima lembar novel telah dibaca
oleh Maya. Namun Pak Darsam pun tak kunjung tiba. Sampai suara cetus dari Rini
yang duduk di pojok bagian belakang.
"Giliran dosen terlambat lima menit, pasti diizinkan masuk kelas"
"Tapi kalau mahasiswa?" Tanya Rama.
"Ya jelas...tidak bisa, karena
mahasiswa harus tunduk dan patuh" Jelas Dayat.
Rini memasang wajah jengkelnya. Beberapa
orang yang sepakat dengan apa yang dikatakan Rini, tapi ada yang hanya diam
sambil menunggu perkataan Dayat selanjutnya.
Giliran Rama yang angkat bicara sambil
mebungkuk memainkan game di gawainya.
"Tak usah mengambil keputusan untuk menilai sesuatu hanya dari satu
sisi. Tapi cobalah menilai dari sisi lainnya juga."
"Sok bijak loh..." Protes Rini
dengan nada heran.
Ruang kelas jadi ramai dengan perdebatan
kusir yang tak ada ujung akhirnya. Karena di dalam ruangan kelasnya Maya,
banyak yang selalu menghabiskan waktu untuk menunggu dosen. Atau mencari
aktivitas lain biar tidak bosan.
"Tumben loh sebijak itu Ma?" Tanya Dayat
"Hahaha... semalam saya membaca di media online"
"Wah...wah... sudah mulai berubah ini sob?" Kata Dayat sambil
mengeleng kepalanya.
"Perlahan-lahanlah sob"
Dayat dan Rama adalah teman akrab sejak
pertama kali masuk kuliah. Mereka berdua tetap bertingkah ayaknya saudara
kandung. Karena mereka sama-sama merantau di tanah orang untuk mencari ilmu
pengetahuan.
Tepat jam 08.10, Pak Darsam
melalui chatt online kepada ketua tingkat. "Assalamualaikum
nak... Hari ini, bapak tidak masuk karena ada urusan mendadak."
Pesan dari Pak Darsam tersebut langsung
diumumkan oleh Rani selaku ketua tingkat. Karena Rani adalah sosok
berkharismatik dan tahu betul tugas dan fungsinya. Menurut isu yang berkembang,
Rani disiapkan menjadi calon ketua BEM.
"Bilang kek... dari tadi kalau tidak masuk...!!!"
Omel Rini sambil mengangkat tas keluar dari ruangan bersama dengan
teman-temannya. Tapi, bukan hanya Rini yang cerewet dalam ruangan, namun
teman-teman lain pun membuat kegaduhan lewat perang celoteh. Mereka Merasa di
PHP oleh dosen.
- - -¤¤¤- - -
"Mimpi terus memanggil dengan lembut bagi siapa saja yang
tak putus asa. Maka, bermimpilah setinggi-tingginya dengan angan yang bebas
tapi, jangan lupa berusaha untuk meraihnya. Karena mimpi tak bisa datang dengan
sendirinya, melainkan butuh pergulatan ruang dan waktu bagi mereka yang terus
berjuang. Maka tak ada kata terlambat dalam jiwa generasi untuk mulai bersaing
dengan cara-cara sehat. Biar harmonisasi gagasan terus berjalan di atas
tirai-tirai perbedaan sebagai ciri khas bangsa dan negara." Ungkap Maya
saat menuruni tangga bersama Rama.
"Bagaimana kalau yang suka
main game?"
Jujur, terkadang dunia hura-hura lebih
menghantui saya. Sampai saya lebih nyaman ketika gawaiku selalu dibawa
kemana-mana saat bepergian. Karena di saat ada waktu luang, gawai ini kugunakan
untuk melanjutkan bermain game yang sempat tertunda.
"Gawai ini...seolah-olah jadi
sahabat; jadi makanan pokok yang tak bisa ditinggalkan." Jelas Rama sambil
menunjukan gawai miliknya kepada Maya. Namun Maya tetap santai mendengar respon
Rama yang semakin memancing suasana.
Maya lebih nyaman dengan Rama, karena
bagi Maya, Rama adalah sosok yang terbuka dan selalu membuat suasana jadi cair.
Rama mampu menempatkan diri dalam gejolak suasana apa pun. Walau Maya pun tahu,
apa yang menjadi kegemarannya Rama.
"Kita tak bisa menolak kemajuan tekhnologi, tapi...?" Sambil
memikirkan lanjutan kata-kata Rama terpleset dari tehel.
"Hahhahaaa...." Ketawa Maya
sambil menarik tangannya Rama dari tehel.
"Makasih ya May..." sudah
merubah perlahan budaya saya seorang penggemar game Freefire.
Namun, butuh ruang dan waktu untuk mengantarkan saya sebagai seorang pemuda
yang bisa meraih mimpi.
"Santai Ma..." Sebagai
sahabat, kita harus saling mengingatkan. Tugas kita sebagai generasi muda,
menanggung amanah di pundak kita masing-masing. Inilah amanat yang diteruskan
turun-temurun dari para pendiri bangsa.
- - -¤¤¤- - -
Ketika Maya nongkrong di kantin kampus yang penuh
dengan kepala mahasiswa; beragam pemikiran, dan perbincangan seolah hangat
ketika diperhatikan. Maya tak menyimak satu per satu dari apa yang bicarakan
mahasiwa di sekitarnya. Karena bagi Maya, mendengar pembicaraan orang tanpa
sengaja adalah tidak jadi soal. Tapi bagaimana sengaja menyimak apa yang
disampaikan tapi bersifat rahasia oleh orang yang belum kita kenal?
Setelah memesan minuman di pemilik
kantin. Maya menoleh ke samping, ternyata ada Rini bersama rombongannya yang
mau nongkrong di kantin. Maya melihat di tangan Rini menggenggam beberapa
kertas HVS.
"Bolehkah aku meminjam kertas itu?"
"Boleh May?"
"Emangnya mau nulis apa, puisi atau
cerpen?"
Maya hanya menggelengkan kepala sambil
menerima 10 kertas HVS yang disodorkan oleh Rini. Akhirnya Maya mulai menulis.
Inilah karyanya Maya, entah tergolong cerpen atau pun novel. Tergantung pembaca
yang berhak menilai. Sebab, Maya hanyalah pencipta karya atau pun sang kreator.
Namun yang berhak menilai baik dan buruk; layak dan tidaknya suatu karya adalah
kebebasan dari pada para pembaca atau penikmat yang bercengkrama dengan lautan
kata-kata Maya.
Seorang pengelana harus bertahan pada benturan yang tak ada ujung akhirnya. Seperti
terus mencari tentang kebenaran selama nafas masih berhembus, selama raga masih bergerak, dan selama
pikiran masih jernih. Karena sebagai generasi muda, aku masih percaya
pada kata motivasi “Sejarah dunia adalah sejarah anak
muda” yang punya peran serta dalam pergulatan zaman. Hingga
berdiriku di tanah sejarah tempat Pancasila lahir. Inilah prinsip terkuat yang
semakin mendarah daging di setiap arah langkahku. Prinsip hidup, harus
disinergiskan dengan cita yang diimpikan. Maka, tak ada kata menyerah dalam
merubah perlahan keadaan.
Lantaran aku dibesarkan lewat keringat
petani, lewat kucuran darah air mata ibu yang terus menimang, dan restu alam
semesta yang melindungi anak darahnya seperti aku ini. Karena ayah pernah
berpesan kepadaku “Teruslah mencari segala anganmu, tapi ingatlah pengabdianmu
dari setiap apa yang pernah kau ungkapkan” kepada orang lain. Akan sia-sia bila
banyak bicara tapi tak mampu berbuat. Berarti, kepintaran bicara hanya memikat
perhatian orang yang bersifat sesaat. Namun, sebagai generasi muda, jangan
hanya memaniskan bibir dengan diksi-diksi yang menjulang langit. Seolah-olah
mengajak khalayak hanya jago berkhayal seperti peran yang dimainkan lewat dunia
layar kaca.
Ingatalah anakku “Apa yang ditampilkan
di layar kaca, kebanyakan didesain rapi dan terstruktur.” Pesan sang ibu suatu
ketika. Akan tetapi, ibu selalu punya cara tersendiri untuk menghibur hati dan
membesarkan buah hatinya yang mulai dewasa.
Akulah anak petani yang dididik dengan
cara budaya dan kekuatan agama. Saat aku lahir, semua bisa dirubah lewat
tekhnologi. Hingga peran manusia mulai digantikan dengan tenaga mesin. Tak jadi
soal segala dipermudah lewat kemajuan tekhnologi. Jangan sampai majunya
tekhnologi, ruang gerak kita semakin sempit; semakin di depan layar gawai
masing-masing. Dan menjauhkan diri dari realistas yang membelenggu. Jangan
sampai juga, dalam kemajuan tekhnologi, stigma yang lahir adalah "Dunia
selebar layar android dan sealus data GB" coba disandingkan
dengan pribahasa "Dunia tak selebar daun Kelor."
Kendala-kendala dalam nadi generasi
muda, mulai treduksi dengan semangat zaman yang mulai cengeng; semangat zaman
yang mulai manja. Apakah kita terus diamkan diri? dalam batas wajar sebagai
manusia yang berprikemanusiaan. Aku kira, dunia tak memanjakan kita dengan
tawaran tekhnologi, namun yang perlu kita lakukan adalah menciptakan
ruang-ruang yang penuh dengan edukasi. Sehingga ada tugas di pundak kita, mampu
dibagikan kepada orang lain untuk pengabdian. Makanya, perlu adanya edukasi
yang merata. Apakah edukasi hanya dijalankan oleh partai politik? Atau para
pemilik modal? Ternyata tidak, edukasi politik adalah hak tiap warga
negara. Baik melalui organisasi, komunitas, bahkan secara individu memberikan
edukasi politik terhadap rakyat yang masih minim pemahamannya.
Jangan terlalu memberi harapan penuh
kepada partai politik. Bagiku, hitung-hitungannya adalah kepentingan suara saat
adanya pemilihan. Terus bagaimana dengan para pemilik modal? Pemilik modal pun
punya hitungan tersendiri, yaitu hitungan untung-rugi. Jadi, cukuplah kita yang
tidak punya kepentingan apa-apa yang terus menggodok. Siapakah itu? Iya... kita
adalah mahasiswa. Karena mahasiswa adalah kaum pelopor/ pendobrak untuk menuju
sebuah tatanan sosial masyarakat adil makmur. Atau 'menghapus penindasan
manusia atas manusia dan penindasan bangsa atas bangsa.'
Inilah ajaran yang pernah kakek berikan
padaku melalui cerita dongeng. Saat itu, aku masih duduk di bangku SMP. Kakekku
adalah seorang pengagum Bung Karno. Beliau sering menghabiskan waktunya membaca
buku-buku tentang Bung Karno. Setiap selesai membaca, ia selalu memanggilku
untuk menyimak dongengnya. Kakekku lebih dekat denganku, dibanding cucu-cucunya
yang lain.
Karena bagi pandangan kakek, aku adalah
cucu pendiam dan suka menurut. Lantaran ada kemiripan yang khas antara aku
dengan kakek. Misanya model hidung, alis, dan lesung pipi. Hidungku mancung
seperti busur; alisku tipis seperti alis buatan; serta pipiku lesung menyerupai
setengah lubang bakaran rokok pada benda plastik. Ada lagi satu kesamaan yang
hampir lupa aku jelaskan dalam tulisan ini, yaitu mentalnya kakek adalah
seorang petarung. Sebab, kakek salah satu pejuang kemerdekaan 45, tapi tak mau
dijuluki sebagai seorang pahlawan. Karena kakek berjuang dengan semangat dan
keihlasan sebagai bentuk pengabdian terhadap nusa dan bangsa. Sehingga namanya
tidak masuk dalam daftar pahlawan nasional. Padahal, darah dan keringatnya
pernah tumpah mengusir para penjajah. Maka, darah petarung itu mengalir di
darah cucu kesayangannya. Kakek sering memanggilku dengan nama 'Mayang'. Karena
semakin tua umur manusia, ucapan seseorang akan semakin kurang jelas. Apalagi
kakekku yang sudah berumur 100 tahun. Kakekku masih kuat berjalan seperti
seorang pemuda. Tak ada bantuan tongkat menopang ia berjalan.
Adapun perbedaan antar aku dengan kakek.
Kekek suka berbicara, sedangkan aku seorang pendiam. Sifat pendiam itu, aku
dapatkan dari kebiasaan ayah. Karena ayah adalah sosok yang sedikit berbicara,
tapi tekun bekerja.
Baik ayah, ibu, dan kakek punya cara
tersendiri untuk mendidik generasinya. Yang menjadi ajaran penting dari ketiga
sosok itu adalah mengajarkanku tetap membaca, menulis, tekun, dan selalu
bertanya. Makanya sebelum masuk Sekolah Dasar, aku sudah bisa baca tulis.
Sampai guru-guruku heran. Bagaimana aku bisa membaca dan menulis? Karena kakek
punya perpustakaan pribadi di rumah. Ketika waktu luang, aku diajarkan secara
bergantian. Ayah mengajariku menghitung, ibu mengajarkanku membaca, dan kakek
mengajarkan aku mendongeng. Di dalam perpustakaan, banyak menyimpan koleksi
buku. Jumlah buku pada Perpustakaan Mayang milik kakek sebanyak 2.222 buku.
Maka aku punya semangat besar untuk
bermimpi. Ada pun mimpi yang terus kukejar ialah merawat koleksi buku di
perpustakaan Mayang, memberikan edukasi politik terhadap rakyat yang
membutuhkan, dan menjadi perempuan mandiri dan pemberani.
Sebenarnya, masih banyak mimpi yang belum sempat kutuliskan. Namun ada cara tersendiri untuk mengetahui mimpi seorang anak petani. Ada pun bocoran untuk mengatehui tentang siapa aku sebenarnya, maka tetapah mengeja aku lewat kata-kata. Sebab, yang kutulis ini adalah permulaan. Cerita ini, akan lebih menarik bila bagian kedua tentang mimpi terus dieja dengan penghayatan mendalam.
Sebenarnya, masih banyak mimpi yang belum sempat kutuliskan. Namun ada cara tersendiri untuk mengetahui mimpi seorang anak petani. Ada pun bocoran untuk mengatehui tentang siapa aku sebenarnya, maka tetapah mengeja aku lewat kata-kata. Sebab, yang kutulis ini adalah permulaan. Cerita ini, akan lebih menarik bila bagian kedua tentang mimpi terus dieja dengan penghayatan mendalam.
Makassar
Senin, 12 November 2018
By: Djik22
Komentar