Sumber foto: Kartini Lia
Dulu, kau dan aku adalah adalah tinta dan kertas yang terus mencari makna setiap puisi yang kita tulis. Dalam persembunyian makna setiap kata-kata yang diukir dengan hati. Sampai di titik tertentu, kau dan aku mampu menemukan makna itu. Tapi, itu adalah kisah masa lalu. Apakah masih pantas untuk dikisahkan? Atau mengulang kembali jika sudah berpisah?
Aku memaknai segala keputusan yang telah lewat. Walau pun bagimu.
"Keputusanku adalah sebelah pihak. Hingga dirimu terprosot jauh sampai aku tak menjelaskan secara detail. Kenapa kita harus berpisah? Dan untuk apa ada pertemuan kalau berakhir luka yang mengedepankan ego?"
Namun, pertanyaanmu tak kujawab dengan penjelasan yang meyakinkan. Karena aku tahu, jika aku menjelaskan dengan cermat, maka dengan mudah kau tenangkan aku lewat sikapmu yang lemah-lembut. Sampai aku kembali merasakan nyaman. Biar aku kembali, tapi, tidak lagi menggunakan perasaan. Maka, aku hanya memberimu ujian dengan menyudahi hubungan ini.
"Kita sudahi saja hubungan ini, Ki"
Jawabku pada Riki, saat kami duduk di pelataran pertemuan yang sedang ramai dilewati orang-orang. Saat itu, aku dan Riki berada di sebuah warkop yang bernama Coffe Lovers, terletak di jalan Urip. Untuk menghindari genggaman jemarinya, maka kuseruput kopi susu yang sudah lima menit tiba di atas meja kita berdua. Kuperhatikan raut wajahmu yang kebingungan. Aku tahu, pasti kau akan menanyakan kenapa semudah itu, aku mengeluarkan kata-kata.
"Kenapa harus berakhir? Bukankah tak ada salah diriku padamu."
Di sinilah aku sedikit tahu tentang dirimu. Ternyata bagi seorang Riki masih mempertahankan ego ketika ujian datang. Bukankah kau pun tahu, tanpa sebab yang pasti kata-kata itu keluar? Atau kau mau memojokan aku. Ingatlah, aku adalah perempuan yang suka menguji. Bagaimana kalau aku tak menguji? Apakah kau beranai membawa hubungan ini lebih serius ke jenjang yang kuinginkan?
Aku lebih memilih diam. Riki coba menenangkanku dengan segala cara. Sampai Riki berkata.
"Jika ini adalah keputusanmu, maka aku terima. Tapi, anggaplah kita tak pernah kenal. Karena aku tak memilih jadi pengemis hanya meminta penjelasan."
Ternyata, Riki memojokan diriku. Tapi, sebenarmya aku sedang tertawa dalam hati. Sebeginikah keberaniamu Riki? Apakah selama kita menjalin hubungan kau serius atau main-main? Atau kau menganggapku sebagai tempat untuk menyembuhkan lukamu?
Aku tak ingin, jika kau menemaniku hanya karena masa lalumu. Aku adalah aku; aku tak mau jadi bagian masa lalumu. Karena sejauh ini pun, kau dan aku jarang terbuka. Maka, sudah bulat tekadku walau pertama hanya sebatas menguji. Aku pamit terlebih dahulu meninggalkanmu yang sedang menyeruput kopi susu kesukaanmu.
"Terima kasih atas traktirannya malam ini. Maafkan aku, jika ada salah selama ini."
Berharap Riki menahan langkahku, namun Riki masih tetap diam pada posisinya. Inikah mental seorang lelaki yang selama ini kusanjung; yang selama ini suka memberiku kenyamananan; yang selama ini menemaniku. Ternyata, di saat kubutuh lewat ujian, Riki kehabisan akal. Dan terlihat tak ada masalah apa-apa di antara kami.
Terakhir kali bertemu di Caffe Lovers. Semua menjadi jelas. Tanpa perlu aku mencari tahu siapa Riki sebenarnya. Memang, ada rasa sakit dan luka yang masih membara di dalam sukmaku. Tapi, aku tak mau lagi membuka hati kepada Riki. Aku menganggam ini adalah sebuah keputusan yang tepat. Biar aku dan Riki sama-sama tersakiti. Suatu saat, luka ini akan sembuh dengan pergulatan ruang waktu.
Beriring perjalanan waktu, aku mulai merubah pola hidupku. Hati yang dulu lemah lembut pada siapa yang menyapa. Sekarang mulai perlahan aku mengunci dengan penjagaan yang ketat. Hati yang dulu sudah terbiasa dengan benturan luka dan rasa. Sekarang mulai tak peka dan muda tergiur hanya sebatas kata. Maka, aku menyibukan diri untuk melupakan masa lalu yang penuh luka dan air mata. Aku perbanyak teman dan pergaulan. Biar, luka dan sakit hati segera hilang dari ingatan dan memoriku.
Sampai aku bertemu sosok lelaki kelahiran bulan November. Dari dialah aku mampu berkata banyak. Sambil cerita lepas tentang dunia tulis-menulis. Hingga dia mengerti tentang apa yang menimpah diriku. Akhirnya dia mengajakku.
"Kembalilah menjadi puitis, Lia. Dari setiap kisahmu, bagusnya kalau terus ditulis. Biar tak hilang termakan ruang dan waktu."
Maka, aku meminta kepada dia untuk membimbingku kembali ke dunia puitis yang sempat kugemari dulu. Setidaknya, aku kembali menulis lagi. Harus aku akui, kalau dia mampu membuatku kembali tersenyum. Namun, aku harus penuh kehati-hatian. Aku tak curiga pada dia. Tapi, lebih bagus menjaga dari pada hal-hal yang tidak inginkan datang menggoda tanpa dibendung.
Kini aku menjadi bebas. Tanpa ada ikatan dengan siapa-siapa. Maka, kuhabiskan waktu untuk berkelana. Sampai kuajak dia, untuk mendaki salah satu gunung di Sulawesi Selatan.
Kalau memang ajakanku adalah bukan pengujian kepada dia, sekiranya dia mampu menunjukan keberanian. Aku tahu dia seperti apa; aku tahu dia dari dua sisi. Dia itu, kini menjadi misteri dalam diriku. Sampai terkadang aku sulit menebak. Apakah ada kepentingan yang berselubung? Atau dia hanya mengakrabkan dirinya padaku?
Apapun yang menjadi pertanyaan, tak semua butuh jawaban. Namun, aku ingin mendekatkan diri lagi kepada tinta dan kertas. Biar perjalanan dari masa lalu mampu kutulis. Dan kisah di masa kini dan masa akan datang, segera kupadukan dengan hati yang lapang. Maka, kuucapkan.
"Selamat tinggal masa lalu, selamat datang kisah baru. Aku menunggumu di sepertiga malam. Sampai kau ajak aku untuk menyulam kata-kata. Sambil kita tertawa bersama-sama."
Makassar
Selasa, 27 November 2018
By: Djik22
Komentar