surat keenam
Turun dari Pos Tujuh
Sang raja siang, sedikit condong ke arah barat. Mulai pergi perlahan-lahan. Sambil kaki kami pun melangkah. Kondisi mulai berbeda, ketika di sekeliling kami mulai sedikit gelap. Hingga seolah terlihat malam mulai dekat lagi. Sempat melihat waktu di jam tangan. Waktu menunjukan pukul 16.30. Kami pun turun dari pos tujuh.
Dengan persedian makanan yang terbatas, kampung tengah pun mengamuk sejadi-jadinya. Kondisi kami semakin melemah, ditambah lagi arah langkah kami perlahan lambat. Namun, kami tetap berjalan dengan sukaria. Biar dengan hati yang riang sambil berjalan sepeti menghitung waktu, maka aku meminta bantuan kepada Heni, Raya, Ian, Tian, dan Jo ke pos lima terlebih dahulu untuk mencari tambahan makanan. Karena tidak bisa dipaksakan, jika keadaan semakin lemas, baru kami memaksa untuk tetap berjalan.
Ian yang memahami gerak tubuhku dan langkah si dia yang semakin lemah. Maka, Ian berkata.
"Biar kami berlima turun duluan ke pos lima" jelas Ian.
"Ok... !!!" jawab Raya.
Dengan suara sedikit keberatan melepaskan kelima temanku turun. Maka, aku tetap berpesan kepada mereka tetap hati-hati. Karena bukan soal ketakutan, tapi soal menjaga lebih baik dari pada terkena musibah lalu mengobati. Kelima anggota tim pun pamit turun.
"Daus ... !!!" panggil Heni.
"Iya, Ni ..."
"Tetap jaga dia, Ya? Awas kalau dia kenapa-kenapa ... !!!"
"Bagaimana kalau aku macam-macam? Jika dia ibarat bidadari yang jatuh dari langit. Biar dalam keadaan apa pun, aku akan tetap menjaganya. Karena sebagai tugas dan tanggung jawab pengelana ketika sedang menikmati perjalanan," Ucapku dalam hati.
Dengan rasa haru, aku dan dia saling menatap kelima teman tim kami. Mereka begitu komitmen dengan prinsip yang disepakati. Demi sebuah kebersamaan, mereka relakan tenaga untuk kami tidak menjadi korban kelelahan karena kekurangan makanan. Seingatku, kami belum makan siang. Kami hanya sarapan pagi ketika mau turun dari puncak pos sepuluh.
Pandangan aku dan dia semakin tajam menatap kelima teman tim kami yang semakin jauh meninggalkan kami. Dengan doa yang kulantun dalam hati, sambil kuhirup udara segar di perjalan pos tujuh ke pos lima. Besar harapanku, doa yang kubisikan dalam hati semoga diterima oleh Yang Kuasa dan didengar oleh semesta yang sedang menyaksi dua pasang anak manusia.
Semesta memberi kode akan adanya jalan terang untuk mendapatkan rasa. Lalu, mengayuh layu rumput-rumput ketika aku dan dia lewat. Seolah, rumput pun memberi hormat kepada sepasang sayap patah yang ingin menyatu. Dengan senyum terbuka, aku berjalan sambil mengandeng tangannya. Dia pun tak keberatan. Sepertinya, ada kenyamanan yang keluar dari lubuk hatinnya. Sampai, tangannya begitu lembut kurasi. Harus kuakui dengam jujur, kalau baru kali ini aku fokus pada genggaman lembutnya.
Tenaga mulai terkuras, namun aku dan dia selalu komitmen sambil bercerita lepas. Jika, puncak tertinggi pun kita daki dengan rintangan yang sili berganti datang. Maka, ketika turun pun, kita harus siapkan segala cara. Biar tak terperosot jauh dan jatuh lagi. Aku tak ingin jatuh lagi; ketika dia yang sedang lemah; aku tak ingin ada bahasa tanpa keajaiban. Maka, aku dan dia selalu menghibur diri. Sehingga kelelahan tak begitu terasa.
Padahal, gelap perlahan mulai mengelilingi kami berdua. Aku selalu perhatikan dia dengan kelembutan. Ternyata, dia adalah perempuan tangguh yang pernah kutemukan di atas lempengan bumi pertiwi, disaksikan oleh tanah Karaeng. Seketika, dia menoleh dan menyapaku.
"Kenapa kau bawa aku begitu jauh Daud? Apakah ini salah satu caramu untuk mengajarkan aku tentang menghargai waktu? Bagaimana tentang waktu Daud? Jika jalan ini, masih panjang untuk ditelusuri. Namun, keburaman antara kau dan aku perlahan tampak jelas. Aku tak ingin keburaman itu menjadi raja Daud. Aku ingin kau jadi dewa, dan aku jadi dewi di istana cinta yang kita bangun," tegas dia penuh harap.
"Jika itu adalah inginmu, maka biarkan kita terus berjalan. Karena komitmenku sudah kokoh tentang kata mengatasnamakan 'cinta' dan 'rasa' dari lubuk hati yang tak bisa diukur. Aku menunggu waktu yang tepat untuk kita memutuskan wahai dewiku. Maka, janganlah risau; janganlah mengeluh; janganlah bimbang. Sebab kau dan aku terlahir untuk menemukan dua kata itu. Memang, kini saatnya mulai terang kalahkan buram. Tapi, aku takut terburu-buru di hutan para pemburu," jelasku pada dia yang semakin bercahaya.
"Daud, rasa ini selalu bergelora menanti ... !!! sudah sejak lama kau dan aku sering bersembunyi dibalik diam, Daud. Terkadang aku berharap kau datang. Namun, rasanya begitu lama. Aku menunggumu untuk bercerita kala keadaan mulai hening. Tapi ... !!! kau begitu lama menghampiriku, Daud."
"Wahai dewiku, dengarlah dengan cinta; rasakanlah dengan jiwa. Aku janji, tak membuatmu berlarut-larut. Sampai kau dan aku memilih jalan masing-masing. Tapi janjiku, kau dan aku akan menjadi KITA, di sebuah purnama atas nama ikrar yang sakral."
"Daud ... !!!" dia memanggil dengan sayu.
"Iya, tetaplah kuat; janganlah lemah dengan kata. Jarimu akan terus kugenggam. Biar kau dan aku menikmati jalan ini. Masih banyak pos yang harus kita lalui. Setidaknya, pos enam sedang menanti. Mari kita bersatu tanpa kaku dengan kata yang sempat terucap. Jadikanlah kata untuk menguatkan hati menuju titik persinggahan."
Sang raja siang, sedikit condong ke arah barat. Mulai pergi perlahan-lahan. Sambil kaki kami pun melangkah. Kondisi mulai berbeda, ketika di sekeliling kami mulai sedikit gelap. Hingga seolah terlihat malam mulai dekat lagi. Sempat melihat waktu di jam tangan. Waktu menunjukan pukul 16.30. Kami pun turun dari pos tujuh.
Dengan persedian makanan yang terbatas, kampung tengah pun mengamuk sejadi-jadinya. Kondisi kami semakin melemah, ditambah lagi arah langkah kami perlahan lambat. Namun, kami tetap berjalan dengan sukaria. Biar dengan hati yang riang sambil berjalan sepeti menghitung waktu, maka aku meminta bantuan kepada Heni, Raya, Ian, Tian, dan Jo ke pos lima terlebih dahulu untuk mencari tambahan makanan. Karena tidak bisa dipaksakan, jika keadaan semakin lemas, baru kami memaksa untuk tetap berjalan.
Ian yang memahami gerak tubuhku dan langkah si dia yang semakin lemah. Maka, Ian berkata.
"Biar kami berlima turun duluan ke pos lima" jelas Ian.
"Ok... !!!" jawab Raya.
Dengan suara sedikit keberatan melepaskan kelima temanku turun. Maka, aku tetap berpesan kepada mereka tetap hati-hati. Karena bukan soal ketakutan, tapi soal menjaga lebih baik dari pada terkena musibah lalu mengobati. Kelima anggota tim pun pamit turun.
"Daus ... !!!" panggil Heni.
"Iya, Ni ..."
"Tetap jaga dia, Ya? Awas kalau dia kenapa-kenapa ... !!!"
"Bagaimana kalau aku macam-macam? Jika dia ibarat bidadari yang jatuh dari langit. Biar dalam keadaan apa pun, aku akan tetap menjaganya. Karena sebagai tugas dan tanggung jawab pengelana ketika sedang menikmati perjalanan," Ucapku dalam hati.
Dengan rasa haru, aku dan dia saling menatap kelima teman tim kami. Mereka begitu komitmen dengan prinsip yang disepakati. Demi sebuah kebersamaan, mereka relakan tenaga untuk kami tidak menjadi korban kelelahan karena kekurangan makanan. Seingatku, kami belum makan siang. Kami hanya sarapan pagi ketika mau turun dari puncak pos sepuluh.
Pandangan aku dan dia semakin tajam menatap kelima teman tim kami yang semakin jauh meninggalkan kami. Dengan doa yang kulantun dalam hati, sambil kuhirup udara segar di perjalan pos tujuh ke pos lima. Besar harapanku, doa yang kubisikan dalam hati semoga diterima oleh Yang Kuasa dan didengar oleh semesta yang sedang menyaksi dua pasang anak manusia.
Semesta memberi kode akan adanya jalan terang untuk mendapatkan rasa. Lalu, mengayuh layu rumput-rumput ketika aku dan dia lewat. Seolah, rumput pun memberi hormat kepada sepasang sayap patah yang ingin menyatu. Dengan senyum terbuka, aku berjalan sambil mengandeng tangannya. Dia pun tak keberatan. Sepertinya, ada kenyamanan yang keluar dari lubuk hatinnya. Sampai, tangannya begitu lembut kurasi. Harus kuakui dengam jujur, kalau baru kali ini aku fokus pada genggaman lembutnya.
Tenaga mulai terkuras, namun aku dan dia selalu komitmen sambil bercerita lepas. Jika, puncak tertinggi pun kita daki dengan rintangan yang sili berganti datang. Maka, ketika turun pun, kita harus siapkan segala cara. Biar tak terperosot jauh dan jatuh lagi. Aku tak ingin jatuh lagi; ketika dia yang sedang lemah; aku tak ingin ada bahasa tanpa keajaiban. Maka, aku dan dia selalu menghibur diri. Sehingga kelelahan tak begitu terasa.
Padahal, gelap perlahan mulai mengelilingi kami berdua. Aku selalu perhatikan dia dengan kelembutan. Ternyata, dia adalah perempuan tangguh yang pernah kutemukan di atas lempengan bumi pertiwi, disaksikan oleh tanah Karaeng. Seketika, dia menoleh dan menyapaku.
"Kenapa kau bawa aku begitu jauh Daud? Apakah ini salah satu caramu untuk mengajarkan aku tentang menghargai waktu? Bagaimana tentang waktu Daud? Jika jalan ini, masih panjang untuk ditelusuri. Namun, keburaman antara kau dan aku perlahan tampak jelas. Aku tak ingin keburaman itu menjadi raja Daud. Aku ingin kau jadi dewa, dan aku jadi dewi di istana cinta yang kita bangun," tegas dia penuh harap.
"Jika itu adalah inginmu, maka biarkan kita terus berjalan. Karena komitmenku sudah kokoh tentang kata mengatasnamakan 'cinta' dan 'rasa' dari lubuk hati yang tak bisa diukur. Aku menunggu waktu yang tepat untuk kita memutuskan wahai dewiku. Maka, janganlah risau; janganlah mengeluh; janganlah bimbang. Sebab kau dan aku terlahir untuk menemukan dua kata itu. Memang, kini saatnya mulai terang kalahkan buram. Tapi, aku takut terburu-buru di hutan para pemburu," jelasku pada dia yang semakin bercahaya.
"Daud, rasa ini selalu bergelora menanti ... !!! sudah sejak lama kau dan aku sering bersembunyi dibalik diam, Daud. Terkadang aku berharap kau datang. Namun, rasanya begitu lama. Aku menunggumu untuk bercerita kala keadaan mulai hening. Tapi ... !!! kau begitu lama menghampiriku, Daud."
"Wahai dewiku, dengarlah dengan cinta; rasakanlah dengan jiwa. Aku janji, tak membuatmu berlarut-larut. Sampai kau dan aku memilih jalan masing-masing. Tapi janjiku, kau dan aku akan menjadi KITA, di sebuah purnama atas nama ikrar yang sakral."
"Daud ... !!!" dia memanggil dengan sayu.
"Iya, tetaplah kuat; janganlah lemah dengan kata. Jarimu akan terus kugenggam. Biar kau dan aku menikmati jalan ini. Masih banyak pos yang harus kita lalui. Setidaknya, pos enam sedang menanti. Mari kita bersatu tanpa kaku dengan kata yang sempat terucap. Jadikanlah kata untuk menguatkan hati menuju titik persinggahan."
Singgah di Pos Enam
Tak butuh waktu lama untuk aku dan dia beristirat di pos enam. Sekitar dua puluh menit melepas kecapean, pada arah jarum jam tangan sudah menujukan pukul enam lewat sepuluh menit. Sembari kutarik rokok dengan perenungan sampai mengeluarkan asap menari di langit Bawakaraeng. Lalu, kukeluarkan air dari samping kerel untuk dia minum.
Muncullah kekhawatiran. Apakah teman-teman mendapatkan mà kanan tambahan di pos lima? Kekhawatiran itu, muncul dari raut mukanya yang begitu menawan. Setelah merasa cukup waktu beristirahat, dia mengajak.
"Ayo, kita teruskan perjalanan, Daud ... !!!"
"Sudah tidak lelah lagi?" aku bertanya.
"Tidak lagi, Daud. Bersamamu aku kuat. Begitu juga dirimu." Rayunya sedikit menggoda.
Cahaya mulai gelap kembali ke pangkuannya. Namun hatiku dan hatinya tidak tergoda oleh kegelapan. Malah kutahan cahaya itu untuk bersandar menemani kami susuri garis jalan ini.
Tak butuh waktu lama untuk aku dan dia beristirat di pos enam. Sekitar dua puluh menit melepas kecapean, pada arah jarum jam tangan sudah menujukan pukul enam lewat sepuluh menit. Sembari kutarik rokok dengan perenungan sampai mengeluarkan asap menari di langit Bawakaraeng. Lalu, kukeluarkan air dari samping kerel untuk dia minum.
Muncullah kekhawatiran. Apakah teman-teman mendapatkan mà kanan tambahan di pos lima? Kekhawatiran itu, muncul dari raut mukanya yang begitu menawan. Setelah merasa cukup waktu beristirahat, dia mengajak.
"Ayo, kita teruskan perjalanan, Daud ... !!!"
"Sudah tidak lelah lagi?" aku bertanya.
"Tidak lagi, Daud. Bersamamu aku kuat. Begitu juga dirimu." Rayunya sedikit menggoda.
Cahaya mulai gelap kembali ke pangkuannya. Namun hatiku dan hatinya tidak tergoda oleh kegelapan. Malah kutahan cahaya itu untuk bersandar menemani kami susuri garis jalan ini.
Cerita antara Pos Enam ke Pos Lima
Cerita kami berdua seperti dua pasang remaja yang sedang dilanda asmara. Cerita tentang asmara tak membuat aku dan dia lelah dan mengeluh. Jika, sedikit lengah, maka kami akan terjebak dengan waktu yang sedang mengeluh. Namun, aku dan dia tahu batas wajar ketika berada di alam bebas tempat para pendaki.
Jarak yang sedang kami telusuri antara pos enam dan pos lima Gunung Bawakaraeng semakin tak terasa dengan kelelahan. Tak takut lagi pada pengaruh-pengaruh cerita. Namun, aku dan dia lebih terpengaruh pada cerita layaknya seorang dewa dan dewi yang lama tak bertemu. Sehingga menghabiskan waktu dalam cerita untuk menunggu waktu perbatasan. Sayangnya, batasan antara jarak pos enam ke pos lima kami tak mengukur. Sebab, aku dan dia tak memiliki alat canggih mendeteksi berapa jarak sebenarnya.
Cerita semakin menarik. Atas cerita kami berdua, aku banyak mengerti tentang posisi dia. Karena selama ini, kami tak begitu mendalami antara satu sama lain. Bagaimana tidak rentang waktu ikatan sahabat pada saat 2013 lalu lebih mengedepankan keakraban. Bukan tentang subjektivitas yang mengarah pada rasa yang menggelembung untuk dungkapkan.
Untuk menjaga kisah yang kami alami menjadi bagian dari jalan hidup. Maka, tak kusia-siakan jarak menguasi diam. Tapi, terus mengajaknya tetap kuat; tetap tersenyum. Biar kami tak mau dijuluki yatim piatu berkisah. Maka, diam tak berlaku dan berkuasa di jarak menuju deteksi pos lima.
Tanpa sadar, pandangan ke titik pos lima mulai memancarkan tanda-tanda cahaya. Maka, aku pun memberi kode di detik-detik perjalanan akhir dari pos enam. Kalau pos lima tidak lama lagi akan kita pijaki. Aku yakinkan dia, bahwa di sanalah kebersamaan akan terbukti. Namun, hati kecilku berkata. Bahwa Heni, Raya, Ian, Tian, dan Jo sedang mununggu kedatangan kita berdua.
Semakin dekat, suara-suara yang tak asing bagiku dan dia mulai terdengar semakin jelas. Ternyata teman tim kami lima orang sementara bergurau. Akhirnya, aku dan dia mendekati suara itu di jarak kurang lebih lima meter. Ada bahagia yang berbisik dari masing-masing hati kami. Kalau tak ada pengkhianatan atas janji yang dijalankan pada koridor amanah. Inilah pembuktian mana teman yang setia; dan mana teman yang sukanya hanya berjanji. Aku dan dia sampai di pos lima.
Cerita kami berdua seperti dua pasang remaja yang sedang dilanda asmara. Cerita tentang asmara tak membuat aku dan dia lelah dan mengeluh. Jika, sedikit lengah, maka kami akan terjebak dengan waktu yang sedang mengeluh. Namun, aku dan dia tahu batas wajar ketika berada di alam bebas tempat para pendaki.
Jarak yang sedang kami telusuri antara pos enam dan pos lima Gunung Bawakaraeng semakin tak terasa dengan kelelahan. Tak takut lagi pada pengaruh-pengaruh cerita. Namun, aku dan dia lebih terpengaruh pada cerita layaknya seorang dewa dan dewi yang lama tak bertemu. Sehingga menghabiskan waktu dalam cerita untuk menunggu waktu perbatasan. Sayangnya, batasan antara jarak pos enam ke pos lima kami tak mengukur. Sebab, aku dan dia tak memiliki alat canggih mendeteksi berapa jarak sebenarnya.
Cerita semakin menarik. Atas cerita kami berdua, aku banyak mengerti tentang posisi dia. Karena selama ini, kami tak begitu mendalami antara satu sama lain. Bagaimana tidak rentang waktu ikatan sahabat pada saat 2013 lalu lebih mengedepankan keakraban. Bukan tentang subjektivitas yang mengarah pada rasa yang menggelembung untuk dungkapkan.
Untuk menjaga kisah yang kami alami menjadi bagian dari jalan hidup. Maka, tak kusia-siakan jarak menguasi diam. Tapi, terus mengajaknya tetap kuat; tetap tersenyum. Biar kami tak mau dijuluki yatim piatu berkisah. Maka, diam tak berlaku dan berkuasa di jarak menuju deteksi pos lima.
Tanpa sadar, pandangan ke titik pos lima mulai memancarkan tanda-tanda cahaya. Maka, aku pun memberi kode di detik-detik perjalanan akhir dari pos enam. Kalau pos lima tidak lama lagi akan kita pijaki. Aku yakinkan dia, bahwa di sanalah kebersamaan akan terbukti. Namun, hati kecilku berkata. Bahwa Heni, Raya, Ian, Tian, dan Jo sedang mununggu kedatangan kita berdua.
Semakin dekat, suara-suara yang tak asing bagiku dan dia mulai terdengar semakin jelas. Ternyata teman tim kami lima orang sementara bergurau. Akhirnya, aku dan dia mendekati suara itu di jarak kurang lebih lima meter. Ada bahagia yang berbisik dari masing-masing hati kami. Kalau tak ada pengkhianatan atas janji yang dijalankan pada koridor amanah. Inilah pembuktian mana teman yang setia; dan mana teman yang sukanya hanya berjanji. Aku dan dia sampai di pos lima.
Bertemu Kembali di Pos Lima
Ada kegembiraan dari seleksi alam. Tentang teman setia; tentang kebersamaan dari tim. Maka, hati dan rasa seolah sedang menari di dalam sukma kami. Sudah aku duga, di mana ada kegembiraan, pasti ada kelelahan. Begitu juga tentang keterlambatan tiba. Muncullah pertanyaan dari Ian dengan sedikit mengeledek.
"Kenapa lama?"
"Ya namanya orang sakit dibawa. Otomatis lama" jawabku dengan senyum malu-malu.
Seolah aku adalah tempat pelampiasan dari teman-teman tim kami. Namun, aku tak ambil hati. Karena mereka sudah keseringan mengganggu aku dengan dia. Sampai, ada yang bertanya kenapa aku sama dia sebegitu dekat. Aku hanya menjawab, kalau aku dan dia sebatas sahabat, tak lebih dari itu. Biar berulang kali aku jelaskan. Teman-teman tetap mengganggu. Kali ini giliran Raya yang mengganggu.
"Cie ... cie... ada yang senyum malu-malu ni. Kalau sudah jadian kasih tahu donk. Asik loh, kalau cinta mampu menyatukan rasa di atas Gunung Bawakaraeng.
Kondisi kembali ramai dengan canda tawa dari teman-teman. Setidaknya dengan cara ini, kami tak merasa kelelahan. Heni mulai keluarkan jurusnya. Karena Heni akan gebira bila aku dan dia membawa sebuah hibungan lebih dari sahabat.
"Cieeee ... jangan sampai semesta merestui inginku ...!!!" tangan Heni sambil mencubit lengan sahabatnya itu.
Keadaan kembali ramai. Namun hening lagi setelah tawa mulai pergi. Yang kami rasakan adalah suara-suara angin menghempas daun. Hingga menggoda kami untuk terbuai. Semakin terbuai, Raya sudah menyiapkan makanan yang didapat waktu mereka duluan turun di pos lima. Namun, ada permohonan maaf dari mereka berlima kepada aku dan dia. Kini giliran Tian yang mewakili.
"Maaf ya, Daud ...!!! Kalau tadi kami duluan makan singkong rebusnya. Soalnya, kampung tengah tak bisa lagi diajak kompromi."
"Gak apa-apa kok ... !!!" jawabku.
Kegelapan sedang berkuasa dengan lembut. Sambil gerimis melanda, maka kami bentangkan flyshit untuk membuat tenda. Biar tak diguyur hujan saat menikmati makan malam bersama.
Ada kegembiraan dari seleksi alam. Tentang teman setia; tentang kebersamaan dari tim. Maka, hati dan rasa seolah sedang menari di dalam sukma kami. Sudah aku duga, di mana ada kegembiraan, pasti ada kelelahan. Begitu juga tentang keterlambatan tiba. Muncullah pertanyaan dari Ian dengan sedikit mengeledek.
"Kenapa lama?"
"Ya namanya orang sakit dibawa. Otomatis lama" jawabku dengan senyum malu-malu.
Seolah aku adalah tempat pelampiasan dari teman-teman tim kami. Namun, aku tak ambil hati. Karena mereka sudah keseringan mengganggu aku dengan dia. Sampai, ada yang bertanya kenapa aku sama dia sebegitu dekat. Aku hanya menjawab, kalau aku dan dia sebatas sahabat, tak lebih dari itu. Biar berulang kali aku jelaskan. Teman-teman tetap mengganggu. Kali ini giliran Raya yang mengganggu.
"Cie ... cie... ada yang senyum malu-malu ni. Kalau sudah jadian kasih tahu donk. Asik loh, kalau cinta mampu menyatukan rasa di atas Gunung Bawakaraeng.
Kondisi kembali ramai dengan canda tawa dari teman-teman. Setidaknya dengan cara ini, kami tak merasa kelelahan. Heni mulai keluarkan jurusnya. Karena Heni akan gebira bila aku dan dia membawa sebuah hibungan lebih dari sahabat.
"Cieeee ... jangan sampai semesta merestui inginku ...!!!" tangan Heni sambil mencubit lengan sahabatnya itu.
Keadaan kembali ramai. Namun hening lagi setelah tawa mulai pergi. Yang kami rasakan adalah suara-suara angin menghempas daun. Hingga menggoda kami untuk terbuai. Semakin terbuai, Raya sudah menyiapkan makanan yang didapat waktu mereka duluan turun di pos lima. Namun, ada permohonan maaf dari mereka berlima kepada aku dan dia. Kini giliran Tian yang mewakili.
"Maaf ya, Daud ...!!! Kalau tadi kami duluan makan singkong rebusnya. Soalnya, kampung tengah tak bisa lagi diajak kompromi."
"Gak apa-apa kok ... !!!" jawabku.
Kegelapan sedang berkuasa dengan lembut. Sambil gerimis melanda, maka kami bentangkan flyshit untuk membuat tenda. Biar tak diguyur hujan saat menikmati makan malam bersama.
Makassar
Sabtu, 24 November 2018
By: Djik22
By: Djik22
Komentar