Taman kota dipenuhi
aturan yang ketat. Dengan adanya larangan yang semakin tidak jelas di atas alam
semesta tempat bernaung. Dunia menggila dari taman sampai pengaruhi pribadi
generasi muda. Membuat corak pikir semakin sempit. Dari batas pandang yang
penuh ketakutan; dari ranah keberanian menuju mental lembek buangan
plastik-plastik di tempat sampah.
Sampah berserak di mana-mana. Terkadang bosan menatap
porak-porandanya alam yang mulai tak terawat. Maka kejenuhan semakin memuncak
kalahkan tingginya gunung tempat para pengkelana mendaki. Rupanya, gunung punya
tawaran tersendiri untuk hilangkan kejenuhan.
Maka, aku pun tertarik untuk mendaki. Rasa ketertarikanku
muncul, lantaran aku suka pada alam bebas. Setidaknya, kebebasan alam yang
kunikmati sementara, tak terpengaruhi oleh polusi yang terdapat di kota-kota.
Maka bisikan mendaki selalu memanggil perlahan untuk kutuju puncak tertinggi.
Aku tak diikat oleh apa-apa, aku tak ditekan oleh ajaran
yang meminta balas. Tapi, aku bergabung dengan siapa saja yang mengajak. Yang
terpenting, sama-sama tau tentang batas wajar, dan tidak saling mengganggu
antara satu sama lain. Prinsip yang kami bawa adalah komitmen dan kekompakan.
Karena ketika mendaki. Harta, kekuasaan, jabatan, materi,
tak berlaku bagi para pendaki. Kami lebih memilih melewati jurang-jurang
terjal, lembah berbahaya, dan kerikil tajam yang harus ditangkis. Tapi, ini
menguji keberanian untuk tetap bertahan.
Langkah kaki kuayun semakin lemas. Tenagaku mulai susah
diajak kompromi. Tapi demi sebuah tekad, maka tak ada kata menyerah untuk terus
melangkah. Bukan puncak menjadi tujuan belaka. Setidaknya, aku tau tentang
kebersamaan; tentang keindahan alam; tentang nekat gila dan konyol yang
ditempuh.
Bagi pandangan umum, mungkin kami membuang tenaga
cuma-cuma. Akan tetapi, tegas kukatakan jika mendaki punya keasyikan
tersendiri. Terkadang di atas gunung masalah dengan mudah hilang; pikiran mulai
terbuka lebar; dan tatapan semakin tajam menikmati keindahan dari patahan surga
negeri khatulistiwa.
Saat air mataku jatuh di atas tanah subur hutan belantara.
Bukan karena sedih yang berlipat ganda. Bukan juga trauma masa lalu yang terus
menghantui. Tapi, rasa syukur kepada Sang Kuasa dan bisikan alam yang memangggil
aku memeluknya lebih dekat. Pantas air mataku jatuh. Sekiranya, tak
sia-sia perjalanan waktu sejarah singkat. Biar lebih menarik, aku berkisah
dalam patahan kata tersusun dari huruf-huruf tak begitu sempurna.
Tetap hargai segala yang disediakan semesta; tetap
menjaganya sampai akhir hayat. Aku dan kamu pasti tak ingin membuat air mata
anak cucu mengalir lebih deras. Maka kau dan aku harus menyelesaikan tugas
untuk membuka ruang baru. Agar generasi pelanjut tak bersandar pada tangisan
dan duka lara sebelumnya. Biarkan mereka tersenyum bersandar di keindahan;
tidur di atas megah alam permai; dan berbaring di atas hijaunya rerumputan
tanah lapang yang tersisa.
Ajaklah yang lain jadi sahabat.
Libatkan yang berikut jadi kawan. Biar kita saling merangkul perbanyak kekuatan
amunisi. Sebagai generasi muda, kita tajamkan lagi asa kita. Biar segala
perbedaan tak jadi perdebatan kusir. Namun, dari perbedaan kaki kita terus
berjalan; mata kita terus menatap; dan nafas kita berhembus lebih kencang.
Makassar
Minggu,
18 November 2018
By:
Djik22
Komentar