Sumber foto: Felitsia Oseana B. Gerin
Untuk siapa saja yang menemukan patahan surat ini. Segeralah membaca dengan cermat. Surat ini aku tulis dengan sebuah kata yang bernama 'harapan' tanpa titik. Jika surat ini salah dibaca, maka akan salah diartikan oleh orang-orang yang kurang peka. Atas harapan surat ini hadir; atas dasar kesadaran, maka aku menulis. Semoga surat ini jatuh pada orang yang tepat'
Dengan harap, Abdu
Surat itu pun, segera dibaca oleh Misel. Ketika Misel melewati lorong-lorong menuju indokosnya. Saat Misel hendak membuang tisu di tangannya. Tepat, tisu itu jatuh mengenai surat yang sedikit kumuh berada di atas papan-papan bekas.
Misel tak ingin membukanya, ia menanamkan niat untuk membaca ketika sampai di indokosnya. Butuh waktu sekitar lima menit tiba di indokosnya. Saat itu, pukul 15:24 bertepatan dengan suara-suara bacaan kitab suci di masjid-masjid sekitar tempat tinggal Misel.
Misel kaget tercampur kesal. Kenapa Abdu senekat itu menuliskan surat tapi tidak sampai di tangannya. Karena Misel tahu, Abdu seperti apa orangnya. Namun Misel tak berkata banyak. Sebab, dia sama Abdu sudah kehilangan kontak sejak lima tahun yang lalu. Waktu itu, mereka cekcok di sebuah tempat pariwisata Kota Makassar.
Memang, Misel dan Abdu tak punya ikatan apa-apa. Tapi kenapa Misel sampai kesal dengan Abdu? Lantaran apa sebenarnya yang Abdu katakan di masa lima tahun silam itu? Misel kembali memutar arah pikiran yang sempat buram-buram itu. Misel coba menganalisis lagi isi surat dengan kecekcokan yang pernah terjadi.
Surat ini aku tulis dengan sebuah kata yang bernama 'harapan' tanpa titik. Jika surat ini salah dibaca, maka akan salah diartikan oleh orang-orang yang kurang peka.
"Apa yang ditulis oleh Abdu, bukan sebuah kesalahan" Misel sadar ketika menemukan maksud dan tujuan Abdu.
Misel pernah berkata pada Abdu sebelum satu hari mereka ketemu di taman pariwisata Kota Makassar itu.
"Abdu, besok aku ingin berdiskusi panjang denganmu?"
"Diskusi tentang apa?" tanya Abdu.
"Banyak hal yang kita diskusikan"
"Oke... Tentukan saja tempatnya."
"Kalau begitu, kita diskusinya di tempat ramai. Sekalian menghilangkan kejenuhan. Besok kita ketemu pukul 16.00 di samping galeri lukis tempat pariwisata" Tegas Misel.
Abdu tahu, maksud galeri lukis tempat parawisata yang Misel sebutkan tadi.
"Oke. Siapa takut"
"Jika besok adalah sebuah pertemuan, maka aku harus menyiapkan diri sebaik-baik mungkin. Karena Misel pasti akan menanyakan banyak hal. Apalagi, Misel tidak suka dengan kata-kata yang berbelit-belit. Walau pun dia menyukai sastra." Ucap Abdu dengan pelan-pelan sambil bercermin.
Waktu yang ditunggu telah tiba, tepat waktu yang ditentukan, Abdu menandakannya dengan alarm di gawainya. Abdu bergegas ke lokasi menggunakan motor bututnya.
Ternyata. Misel sudah lebih dahulu sepuluh menit. Bisa ditebak apa yang terjadi. Sambil berjabat tangan, Misel berkata.
"Jadi lelaki harusnya disiplin"
"Maafkan aku telat Sel...!!!" ucap Abdu memohon
"Kali ini dimaafkan"
"Gitu donk, biar tetap cantik...!!!"
Susana jadi hening. Misel menundukan kepala.
"Terkadang, kata maaf tak berlaku lagi bagi siapa yang pernah mengklaim dirinya sebagai pengikut. Karena sebagai manusia, seseorang pasti ada titik kebosanan yang menghantui" Ucap Abdu ketika Misel mengambil buku 11:11 yang ditulis oleh Fiersa Besari dari dalam tasnya.
Namun, tak ada jawaban dari Misel atas perkataan Abdu. Seolah, kata-kata adalah tempat pelampiasan yang paling bebas. Sehingga orang dengan muda mencederai harapan yang pernah dijanjikan. Bagaimana tidak? Misel pernah berjanji pada Abdu, mereka tidak akan diikat oleh sebuah hubungan. Namun, mereka akan seperti ini untuk selamanya. Tapi perasaan mereka berdua, layaknya orang pacaran. Misel juga tahu, kalau Abdu sudah memiliki pacar.
Misel memang seorang gadis yang disiplin. Tapi, semenjak ketemu sama Abdu, banyak perubahan yang dia lakukan untuk Abdu. Yaitu, membangkitkan lagi semangatnya Abdu untuk menulis. Misel sering diskusi sama Abdu di mana pun tempat. Baik di kampus, kamar kost, dan tempat-tempat terbuka.
Rencananya diskusi, malah berujung aduh ego. Abdu menggap Misel membohongi Abdu untuk datang diskusi. Tapi Misel menggap Abdu orangnya tidak konsisten. Keduanya saling diam dalam posisi masing-masing. Tiba-tiba Misel berkata.
"Du, seorang perempuan butuh dipahami; perempuan butuh pengertian. Tapi kapan perasaan ini bisa dimengerti? Lantas apakah lelaki adalah pemegang cinta sejati? Atau kami perempuan adalah pelampiasan semata? Karena sesak begitu menghantui dengan kata-kataku untuk 'kita tidak saling terikat'. Namun kau begitu perhatian dan penuh kasih sayang padaku. Terkadang aku ingin menarik kata-kata yang pernah kuucap waktu itu"
"Kamu tahu; aku tahu. Kita tak akan bisa bersatu. Kita bisa bersatu karena menggunakan pisau sastra. Kita satu soko perguruan. Walau pun aku adalah senior di dalam kampus. Tapi, kau adalah teman diskusi terbaik. Kau mampu melampaui zaman dari pola pikir temanmu. Itulah membuat aku bangga dan harus mewariskan sebagain pengetahuanku kepadamu. Karena itulah tugas sebagai pelanjut sastra". Tegas Abdu.
"Hanya sebatas itu?"
"Iya, Sel"
Abdu memang selalu menatap pada satu titik. Dia tidak akan berpindah. Abdu akan berpindah, ketika dia mengobservasi orang-orang untuk dijadikan sebuah karya. Namun, Abdu tak butuh banyak pengikut dan pujian untuk menilai setiap apa yang dia tulis.
"Begini saja Du, setiap tulisanmu saya tetap membaca. Dan saya akan mengiyakan setiap kau meminta bantuanku untuk mengedit karyamu secara bersama" Misel berkata sambil menatap matanya Abdu dalam-dalam.
"Sudah cukup karyaku tentang 'Perbedaan' kau baca dari bagian satu sampai lima. Selebihnya tidak akan lagi" Jelas Abdu kepada Misel yang semakin emosi.
"Kamu pelit Du, hati kamu itu kecil; hati kamu itu ketus. Kamu orangnya sombong"
"Oke. Terima kasih atas penilaianmu. Saatnya kita tidak lagi saling membantu; saatnya kita saling berjalan masing-masing. Aku benci dengan kata 'Sombong' yang keluar dari suara seorang perempuan. Pernahkah kata-kata aneh aku bahasakan untukmu? Maka, aku ucapkan selamat tinggal bagimu yang mengklaim kata itu"
Abdu meninggalkan Misel yang sedang kebingungan. Dari situlah, mereka tidak saling berkomunikasi antara satu sama lain. Mereka ibarat air yang membenci api; tanah yang membenci udara; dan kata yang mengingat harapan.
Makassar
Jumat, 23 November 2018
By: Djik22
Komentar