Air menetes dari gedung lantai dua,
Hempaskan percikan mendingin,
Menggigil paksakan keadaan,
Hingga tampak mulai basah.
Tangan gemetar menahan,
Demi abadikan potret buram,
Sementara tanganku gemetar,
Saat hujan telah berhenti sapa.
Bergantilah angin ribut mengamuk,
Jatuhnya daun-daun segar,
Tampat kotori keadaan,
Jadi sampah berserak.
Kumenoleh ke arah suara,
Sedikit senyum di raut linang,
Tak besar panggilan menjerit lagi,
Pintamu paksakan diri menuju teduh.
Tapi aku merasa bersalah biarkanmu,
Terlantar sendiri dibalik tembok,
Sebagai pembatas kaum licik,
Dengan angkuh berlaku.
Padahal tanah tempat berpijak,
Para petualang menagi janji,
Dengan semangat tak takut,
Pada siapa pun menegur.
Karena lonceng kematian,
Masih lama menjemput raga,
Sisihkan pengelaman berbagi iba,
Sebagai loncatan memupuk semangat.
Kini hujan sudah redah menangis,
Kurun waktu begitu melelahkan,
Datang pada musim depan,
Hinga lama menunggu.
Biarkan tanah kembali gersang,
Perebutan jatah berpendapat,
Sebagai manusia yang bebas,
Tanpa belenggu sengaja,
Mainkan peran licik,
Berganti rupa,
Lalui badai,
Sengsara.
Seharusnya,
Kesetaraan berlaku,
Bagi siapa pun bernapas,
Berdiri di rahim ibu pertiwi,
Baik muda mau pun sudah tua,
Yang penting bersemangat tak kaku,
Hingga antri menuju ke liang berlinang.
Tangis telah berganti hujan badai,
Kesakitan dibayar kemenangan,
Kemunafikan dilawan jujur,
Lahirkan pekerti berjiwa.
Makassar
Sabtu, 28 April 2018
By: Djik22
Komentar