#Part 01
Lamunan membara terhempas pandangan menerobos batas-batas samar. Di kejauhan pandangan terganggu mata buram terpeleh rumah kaca. Rumah yang menyimpan segala luka; segala misteri; segala berkas tak tersentuh siapa pun. Kecuali membiarkan debu menempel kotoran kemudian jadi rusak. Begitu kurangnya pemerhati merawat tumpukan yang menyimpan sejarah tersebut.
Mestinya tabir gelap harus dibuka demi mengungkap penerangan sebagai pijakan bersandar. Baik itu sebagai bahan bacaan; bahan referensi; maupun menjelajahi dunia lewat tafsir isi yang tersusun dari ribuan paragraf. Tapi waktu yang mencekik langkah, memepetkan ruang gerak. Sehingga tak bisa kusingggah bersihkan kenangan telah lewat. Sebab belum mampu mencapai kepastian dari setiap yang hidup. Apalagi yang datang adalah kepalsuan; yang singgah adalah kebohongan.
Setidaknya tubuh ini, belum terkoyak-koyak lemah membatasiku bergerak. Itulah kesyukuran atas kesehatan masa muda. Tetapi perlahan hitungan maju memanggil menjerit menghampiri.
"Tenang saja...! Aku akan menghampiri panggilanmu walau kesiapanku belum matang."
Ucapku suatu ketika saat berada di jalan berdebu.
Jalanan berdebu mengotori kakiku ketika melangkah. Belum lagi ditambah serpihan kendaraan yang lewat dengan lajunya tanpa menganggap diriku. Andaikan aku berontak, maka kemarahan berlaku kepada para pengguna jalan dengan kendaraan. Tapi itulah kebebasan mereka, hingga aku rela menjadi sasaran empuk dikotori dengan sesuka hati.
Belum sampai di rumah. Aku berpapasan dengan sosok lelaki yang tak asing lagi. Dari kejauhan mudah kutebak, kalau dia adalah lelaki yang selalu memberi perhatian penuh kepadaku. Langkahku dan langkahnya semakin dekat. Kalau dihitung, maka sekitar sepuluh meter jarak antara kami berdua. Tapi aku ingin menghindar, biar tak ada tegur sapa darinya. Sebab aku benci akan kelembutan tangannya yang dibuat-buat. Belum lagi ditambah dengan genggamannya lama kala berjabat tangan.
Langkah semakin dekat sekitar satu meter. Saat itu, aku berjalan di bagian kiri bahu jalan dan dia mengambil sebelah kanan Lalu ia menyapa.
"Ega dari mana? Tumben jalannya sendirian. Biasanya ditemani oleh para sahabat".
Saat itu, aku hanya memandangnya dengan lesu. Kemudian aku menjawab.
"Aku memilih untuk sendiri. Maaf ya Fir...!!!
"Aku harus buru-buru pulang".
Tanpa menunggu balasan kata-katanya. Dengan laju kuayunkan kaki segera tinggalkan tempat kami berdiri.
Dalam hatiku merasa bersalah atas perlakuan yang kupilih. Setidaknya aku harus mendengar balasan kata-katanya. Seolah-olah hanya aku yang terus membutuhkan pengertian, tetapi tak menghargai orang lain. Walau hanya mendengar kata-kata. Pikiran itu, hanya menambah beban bila terus-terus kuingat. Untuk apa juga memikirkan sebuah pristiwa kalau hanya menambah masalah?
Sempat aku menoleh memandang Firman. Ternyata ia masih berdiri di tempat yang tadi. Tapi aku tak ambil pusing. Kuhentikan langkahku, rupanya tangannya melambai-lambai ke arahku. Berat tangan ini membalas lambaiannya. Kurapikan tali tasku, Kemudin aku menuju arah selatan lorong masuk kompleks rumahku yang terletak di Blok B No. 51.
Debu yang menempel di raut wajahku terasa mengganggu. Lalu mataku berkedip-kedip kesakitan. Ternyata ada gumpalan-gumpalan kecil masih melekat di bola mata. Kuangkat tanganlu menggosok secara perlahan. Mataku masih tetap belum membaik. Ingin kuberteriak, tapi aku tetap berusaha secara perlahan-lahan mengeluarkannya.
Makassar
Jumat, 27 April 2018
By: Djik22
Lamunan membara terhempas pandangan menerobos batas-batas samar. Di kejauhan pandangan terganggu mata buram terpeleh rumah kaca. Rumah yang menyimpan segala luka; segala misteri; segala berkas tak tersentuh siapa pun. Kecuali membiarkan debu menempel kotoran kemudian jadi rusak. Begitu kurangnya pemerhati merawat tumpukan yang menyimpan sejarah tersebut.
Mestinya tabir gelap harus dibuka demi mengungkap penerangan sebagai pijakan bersandar. Baik itu sebagai bahan bacaan; bahan referensi; maupun menjelajahi dunia lewat tafsir isi yang tersusun dari ribuan paragraf. Tapi waktu yang mencekik langkah, memepetkan ruang gerak. Sehingga tak bisa kusingggah bersihkan kenangan telah lewat. Sebab belum mampu mencapai kepastian dari setiap yang hidup. Apalagi yang datang adalah kepalsuan; yang singgah adalah kebohongan.
Setidaknya tubuh ini, belum terkoyak-koyak lemah membatasiku bergerak. Itulah kesyukuran atas kesehatan masa muda. Tetapi perlahan hitungan maju memanggil menjerit menghampiri.
"Tenang saja...! Aku akan menghampiri panggilanmu walau kesiapanku belum matang."
Ucapku suatu ketika saat berada di jalan berdebu.
Jalanan berdebu mengotori kakiku ketika melangkah. Belum lagi ditambah serpihan kendaraan yang lewat dengan lajunya tanpa menganggap diriku. Andaikan aku berontak, maka kemarahan berlaku kepada para pengguna jalan dengan kendaraan. Tapi itulah kebebasan mereka, hingga aku rela menjadi sasaran empuk dikotori dengan sesuka hati.
Belum sampai di rumah. Aku berpapasan dengan sosok lelaki yang tak asing lagi. Dari kejauhan mudah kutebak, kalau dia adalah lelaki yang selalu memberi perhatian penuh kepadaku. Langkahku dan langkahnya semakin dekat. Kalau dihitung, maka sekitar sepuluh meter jarak antara kami berdua. Tapi aku ingin menghindar, biar tak ada tegur sapa darinya. Sebab aku benci akan kelembutan tangannya yang dibuat-buat. Belum lagi ditambah dengan genggamannya lama kala berjabat tangan.
Langkah semakin dekat sekitar satu meter. Saat itu, aku berjalan di bagian kiri bahu jalan dan dia mengambil sebelah kanan Lalu ia menyapa.
"Ega dari mana? Tumben jalannya sendirian. Biasanya ditemani oleh para sahabat".
Saat itu, aku hanya memandangnya dengan lesu. Kemudian aku menjawab.
"Aku memilih untuk sendiri. Maaf ya Fir...!!!
"Aku harus buru-buru pulang".
Tanpa menunggu balasan kata-katanya. Dengan laju kuayunkan kaki segera tinggalkan tempat kami berdiri.
Dalam hatiku merasa bersalah atas perlakuan yang kupilih. Setidaknya aku harus mendengar balasan kata-katanya. Seolah-olah hanya aku yang terus membutuhkan pengertian, tetapi tak menghargai orang lain. Walau hanya mendengar kata-kata. Pikiran itu, hanya menambah beban bila terus-terus kuingat. Untuk apa juga memikirkan sebuah pristiwa kalau hanya menambah masalah?
Sempat aku menoleh memandang Firman. Ternyata ia masih berdiri di tempat yang tadi. Tapi aku tak ambil pusing. Kuhentikan langkahku, rupanya tangannya melambai-lambai ke arahku. Berat tangan ini membalas lambaiannya. Kurapikan tali tasku, Kemudin aku menuju arah selatan lorong masuk kompleks rumahku yang terletak di Blok B No. 51.
Debu yang menempel di raut wajahku terasa mengganggu. Lalu mataku berkedip-kedip kesakitan. Ternyata ada gumpalan-gumpalan kecil masih melekat di bola mata. Kuangkat tanganlu menggosok secara perlahan. Mataku masih tetap belum membaik. Ingin kuberteriak, tapi aku tetap berusaha secara perlahan-lahan mengeluarkannya.
Makassar
Jumat, 27 April 2018
By: Djik22
Komentar