Langsung ke konten utama

TAK KUTEMUKAN DIRIMU DALAM DIRIKU (288)

#Part 01

Lamunan membara terhempas pandangan menerobos batas-batas samar. Di kejauhan pandangan terganggu mata buram terpeleh rumah kaca. Rumah yang menyimpan segala luka; segala misteri; segala berkas tak tersentuh siapa pun. Kecuali membiarkan debu menempel kotoran  kemudian jadi rusak. Begitu kurangnya pemerhati merawat tumpukan yang menyimpan sejarah tersebut.

Mestinya tabir gelap harus dibuka demi mengungkap penerangan sebagai pijakan bersandar. Baik itu sebagai bahan bacaan; bahan referensi; maupun menjelajahi dunia lewat tafsir isi yang tersusun dari ribuan paragraf. Tapi waktu yang mencekik langkah, memepetkan ruang gerak. Sehingga tak bisa kusingggah bersihkan kenangan telah lewat. Sebab belum mampu mencapai kepastian dari setiap yang hidup. Apalagi yang datang adalah kepalsuan; yang singgah adalah kebohongan.

Setidaknya tubuh ini, belum terkoyak-koyak lemah membatasiku bergerak. Itulah kesyukuran atas kesehatan masa muda. Tetapi perlahan hitungan maju memanggil menjerit menghampiri.

"Tenang saja...! Aku akan menghampiri panggilanmu walau kesiapanku belum matang."
Ucapku suatu ketika saat berada di jalan berdebu.

Jalanan berdebu mengotori kakiku ketika melangkah. Belum lagi ditambah serpihan kendaraan yang lewat dengan lajunya tanpa menganggap diriku. Andaikan aku berontak, maka kemarahan berlaku kepada para pengguna jalan dengan kendaraan. Tapi itulah kebebasan mereka, hingga aku rela menjadi sasaran empuk dikotori dengan sesuka hati.

Belum sampai di rumah. Aku berpapasan dengan sosok lelaki yang tak asing lagi. Dari kejauhan mudah kutebak, kalau dia adalah lelaki yang selalu memberi perhatian penuh kepadaku. Langkahku dan langkahnya semakin dekat. Kalau dihitung, maka sekitar sepuluh meter jarak antara kami berdua. Tapi aku ingin menghindar, biar tak ada tegur sapa darinya. Sebab aku benci akan kelembutan tangannya yang dibuat-buat. Belum lagi ditambah dengan genggamannya lama kala berjabat tangan.

Langkah semakin dekat sekitar satu meter. Saat itu, aku berjalan di bagian kiri bahu jalan dan dia mengambil sebelah kanan  Lalu ia menyapa.

"Ega dari mana? Tumben jalannya sendirian. Biasanya ditemani oleh para sahabat".

Saat itu, aku hanya memandangnya dengan lesu. Kemudian aku menjawab.
"Aku memilih untuk sendiri. Maaf ya Fir...!!!

"Aku harus buru-buru pulang".

Tanpa menunggu balasan kata-katanya. Dengan laju kuayunkan kaki segera tinggalkan tempat kami berdiri.

Dalam hatiku merasa bersalah atas perlakuan yang kupilih. Setidaknya aku harus mendengar balasan kata-katanya. Seolah-olah hanya aku yang terus membutuhkan pengertian, tetapi tak menghargai orang lain. Walau hanya mendengar kata-kata.  Pikiran itu, hanya menambah beban bila terus-terus kuingat. Untuk apa juga memikirkan sebuah pristiwa kalau hanya menambah masalah?

Sempat aku menoleh memandang Firman. Ternyata ia masih berdiri di tempat yang tadi. Tapi aku tak ambil pusing. Kuhentikan langkahku, rupanya tangannya melambai-lambai ke arahku. Berat tangan ini membalas lambaiannya. Kurapikan tali tasku, Kemudin aku menuju arah selatan lorong masuk kompleks rumahku yang terletak di Blok B No. 51.

Debu yang menempel di raut wajahku terasa mengganggu. Lalu mataku berkedip-kedip kesakitan. Ternyata ada gumpalan-gumpalan kecil masih melekat di bola mata. Kuangkat tanganlu menggosok secara perlahan. Mataku masih tetap belum membaik. Ingin kuberteriak, tapi aku tetap berusaha secara perlahan-lahan mengeluarkannya.


Makassar
Jumat, 27 April 2018
By: Djik22

Komentar

Populer

FILOSOFI DAUN PISANG

Harapan dan mimpi dari setiap kepala tidak semua terpenuhi dengan usaha dan praktik. Tapi masih membutuhkan untuk saling dekat dan merespon segala polomik. Di masa yang akhir ini, perutmu telah melahirkan bayi yang masih merangkak dipaksa berjalan di kerikil jalan persimpangan. Dari rawat dan buaian, telah membuka mata batin, mengevaluasi adalah jalan yang tepat. Karena kurangnya menilai dari setiap sisi. Sehingga lahir dua persimpangan kiri kanan jalan. Mata telah terang, langkah sudah tepat, bersama sudah terpupuk, kesadaran mulai bangkit. Berdiri dan bergerak. Saatnya cahaya jadi penerang. Titipan amanah 20 21 11 14 jadi bahan belajar bersama. Filosofi "Daun Pisang dan Bidikan Panah yang Tepat" telah ditemui jawaban dan makna yang dalam. Dia bukan sekedar kata, tapi dialah nyawa setiap yang di dalam. Makassar, April 2017 By: Djik22

TOGAKU TAK IBU SAKSIKAN

Perjuanganmu ibu Mengantarkanku meraih mimpi Mataku lembab berhari-hari Setiap saat mengingat ibu Harapan ibu Aku tetap kuat Aku tetap melaju Tapi ibu Saat bahagiaku Takku tatap lagi ibu Wajah bersinar hadir dalam mimpiku Kala itu ibu Ibu Toga dan pakian kebahagiaanku Semua untuk ibu Togaku tak ibu saksikan Karena ibu telah tiada Yakinku ibu senyum melihatnya Tetap tersenyum di sisiku ibu Dua puluh tiga November dua ribu tiga belas Dua kali dengan angka tiga Ibu telah berbaring bergegas Makassar Minggu, 1 Oktober 2017 By: Djik22

PERLUKAH JEMBATAN PALMERAH?

Sedikit menggelitik, ketika wacana pembangunan jembatan Palmerah. Wacana ini, hadir di beberapa tahun terakir. Di tahun 2017, tidak kala seksi pendiskusian jembatan Palmerah. Maka muncullah pro dan kontra. Padahal merefleksikan wacana ini sangat penting. Kenapa Wacananya Jembatan Palmerah? Mari kita menganalisa secara seksama. Pertama, jembatan Palmerah adalah sejarah pertama di Indonesia bila terbangun. Karena menyambungkan dua pulau, yaitu Pulau Adonara dan Pulau Flores (Larantuka). Jarak jembatan Palmerah dengan panjang bentangan 800 meter akan dipasang turbin 400 meter. Kedua, persoalan proses pembangunan jembatan Palmerah dibutuhkan dana tidak sedikit. Diperkirakan dana mencapai Rp. 51 triliun. Hal ini, perlu dipikirkan. Karena Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi NTT pada tahun 2016 hanya mencapai Rp. 3,8 triliun. Sama halnya pemerintah mengajak kita mengutang dengan investor (swasta). Ketiga, jembatan Palmerah bukan proses meninabobokan masyarakat Flores Timur

ADONARA DALAM PUISI

Petuah kata sejarah Masih temani kaki untuk melangkah Dalam bayang-bayang ibu kuatkan hari Dalam jelmaan ayah pancarkan cahaya hati Hingga tebal awan kota Ingatkan suasan desa Dihimpit berdiri megahnya Ile Boleng Didekatkan Bukit Seburi tanah kampung Karena kitalah gunung yang berdiri Karena kitalah bukit yang menyapa Membawa bisikan bahari Ketika menghadap ke arah pantai Sampai kata dan petuah terus mengikut Wariskan api dari generasi ke generasi Tentang pentingnya menjaga kata Tentang indahnya memakai tenun ikat Maka... Tak kulupakan petuah indah dan keramat Tak kuingkari segala kata-kata bernyawa Di atas alam ditaburi darah dan air mata Karena air mata Bukan hanya tentang tangisan Bukan hanya tentang derita tanpa rasa Namun air mata darah tanda perjuangan Maka... Untuk mengingatmu yang di gunung Untuk mengenangmu yang di pantai Aku mengisi kata-kata lewat puisi Karena darah dan bisikan kata terus diasa Biar perang telah terganti buka dan pena

ANTARA (576)

Sering ada perbandingan pada kata 'antara' ketika diapit oleh kalimat. Antara kau dan aku ternyata banyak perbedaan, antara kau dan dia memiliki banyak kesamaan. Antara pacar dan mantan adalah orang yang pernah berlabu dan sementara bertahan. Baik terkandas di tengah jalan, mau pun mampu melewati batas getir yang melampau kesabaran. Namun, pada kata 'antara' seolah jadi misteri yang tersembunyi. Serupa kolom kosong yang disembunyikan dengan untain doa. Lalu, dipercaya menjadi sebuah legenda atau mitos. Bagaimana sesuatu yang dipercaya tapi tak pernah diinderai? Apakah setan yang berpenampilan putih pada malam Jumat hanya menakut-nakuti? Kemudian muncul pertanyaan, siapa yang menjahit pakian putih yang dipakai setan? Ulasan ini, aku dapati saat duduk di bangku SD. Sang guru selalu menakut-nakuti pada setiap siswa. Bahwa malam Jumat selalu ada tanda ketika melewati tempat-tempat gelap. Saat itu, aku dan kawan-kawan sebayaku selalu percaya. Namun, batang hidung p

KARYAMU TETAP MEMIKAT

Foto: Abdul Rahim (Khalifah05) Ketika doa-doa Telah kau panjat Dengan lemah-lembut Pada Tuhan Yang Esa Tak lupa pula Pintamu Pada para pendahulu Dengan merinding bulu-bulu Begitu dalam penghayatan Bersama angin Bersama waktu Bercampur masa lalu Maka... Yakin pun mendalam Tak secuil akan buram Tampak pada kaca belaka Namun ia selalu melekat Selalu mempererat Antara roh dan jasat Hingga karyamu tetap memikat Makassar Jumat, 21 September 2018 By: Djik22

PEMUDA SAHABAT PERUBAHAN (397)

Indonesia adalah negara yang terdiri dari ragam perbedaan. Baik suku, ras agama, budaya, dan corak berpikir. Inilah bagian kekhasan dari bangsa ini. Dengan kekhasan tersebut, maka tak heran bangsa Indonesia dikenal dengan kemajemukan dan menjujung tinggi perbedaan. Sebab perbedaan adalah varian dari semangat menuju persatuan. Belum lagi menerobos batas wilayah yang terdiri dari beberapa provinsi. Perlu kita menelisik lebih jauh lagi tentang bagaimana membangun tatanan bangsa. Supaya mampu keluar dari zona ketertinggalan. Ternyata, ketertinggalan adalah salah satu masalah dari apa yang dirasakan setelah revolusi Indonesia didengungkan. Walau merdeka secara pengakuan sudah memhudata sampai ke telinga anak cucu. Tapi pertanyaan besar yang harus dijawab, Kenapa merdeka secara praktik/ penerapan jauh panggang dari api? Ketika secara penerapan dalam kehidupan berbangsa mulai melenceng dengan dasar negara, maka harus kembali mengamalkan nilai-nilai kebaikan yang telah diletakan oleh