#Part 02
Bayang-bayangku silih berganti menghantui sosok periang dan kharismatik. Dari kepolosan serta kesederhanaannya, aku banyak belajar tentang perubahan. Baik itu, perubahan yang kecil sampai menuju sebuah perubahan mahadasyat.
"Kenapa aku terjebak masuk di sebuah lingkaran yang berpikir tentang bangsa dan negara?"
Tanyaku dalam hati saat berada di tempat tidur.
Aku memaksa untuk memejamkan mata, agar rasa kantukku mampu dikalahkan oleh getaran dalam dada. Getaran itu, baru pertama kurasakan. Seolah-olah rasa ini, lebih berkuasa dan tak mau pergi. Rasa yang bergelembung sel pori-pori tak dapat kujabarkan. Sebab aku tak sepintar alat pembesar yang mampu mendeteksi benda sekecil apa pun.
Tapi ini hal yang berbeda. Mata manusia tak dapat memandang sampai sejauh ke dalam hati yang sedang aku rasakan. Karena aku adalah sosok perempuan yang sulit ditebak bila hanya lewat analisis pandangan mata sesaat. Bola mataku selalu menawarkan bingkisan makna, patahan sengsara, dan gumpalan kesenangan.
Biarlah orang-orang menebakku dengan penilaian seperti apa. Aku tak kuasa membatasi dari sisi apa pun. Atas dasar penilaian, banyak hal yang harus aku rubah.
"Bagaimana cara merubah hasrat yang bergelora?"
Pertanyaan ini, akan menjadi teka-teki sepanjang malam menuju pagi.
Tepat pukul Dua Belas malam arah jarum jam dinding, mataku belum bisa ditutup. Pada kesunyian yang sepi, kesendirian yang tak berteman, sepi yang merobek memberi ketakutan. Sebagai penanda kalau keadaan tidak sedang baik-baik.
"Kenapa hatiku begitu gusar?"
"Kenapa Raka terus ada dalam pikiran?"
Pertanyaan-pertanyaan itu, tak dapat kuelakan. Kalau saat ini, aku sedang dihantui asmara sebelah pihak yang hanya mengorbankan diriku.
Untuk menghilangkan bayang-bayang Raka, aku mengambil sebuah buku yang ditulis oleh Simon Reid Henry dengan judul 'Fidel & Che: Persahabatan Revolusioner Tak Tertandingi'. Buku yang berlambang bintang ditaburi warna kuning. Lalu disampul depan, terdapat gambar dua sosok pejuang yang tak asing lagi di kalangan aktivis.
Ketika menatap gambar Che Guevara, bayang-bayang Raka terus memanggil namaku.
"Dil...! Kenapa kau mengelak untuk membaca buku?"
"Yakinkah bacaanmu jadi referensi kalau pikiranmu lagi digoda oleh sosok lelaki?"
Tiba-tiba aku kaget. Kalau ingatanku adalah refleksi atas pristiwa yang telah lewat. Baik itu tentang Raka, organisasi, orang tua, dan urusan perkuliahan.
"Bisakah aku membaca buku tentang gerakan?"
"Kenapa Raka dan kawan-kawannya bicara tentang revolusi?"
Aku merasa terus kebingungan. Seolah aku terjebak pada filsafat yang tak dikaji sampai ke alar-akarnya (radikal). Ketika filsafat bicara tentang 'Cinta dan kebijaksanaan' secara akar kata, maka aku rerlalu dini memaknai cinta yang hari ini menimpa generasi muda. Generasi yang berlipat tangan, memandang sebelah mata kesengsaraan yang terjadi di negeri ini.
Aku terus membaca buku karangan Simon Reid Henry sampai di halaman Dua Puluh Satu. Ketika kubuka lembaran berikutnya, ternyata lembarannya kosong. Mataku melirik ke halaman Dua Puluh Tiga yang tertulis '2 Zarpazo'. Aku menghentikan bacaanku, karena Hp-ku berbunyi. Kubukai aplikasi WA tertulis sebuah pesan baru.
"Dil...! Kenapa kau belum tidur?"
Tanya Raka lewat chatt.
Tanganku gemetar membaca chattnya Raka sambil berusaha untuk membalas. Lalu badanku penuh dengan keringat dingin. Kuatur napas panjang sambil merapikan rambut dan posisi dudukku. Kujawab dengan singkat.
"Iya ni...".
Berharap Raka membalas chattku, tetapi ia hanya membaca. Aku pun merasa bersalah. Seakan-akan Raka adalah lelaki yang tidak suka dengan dunia maya yang penuh manipulasi, penuh dengan kebohongan.
"Tetapi inikan chatt pribadi...!"
Tanyaku heran dalam hati.
Aku beranikan diri bertanya kepada Raka.
"Raka kenapa belum tidur?"
Dengan cepat ia membalas.
"Aku baru habis diskusi sama kawan-kawanku. Kami diskusi tentang penguasaan Sumber Daya Alam Indonesia oleh negara lain. Yaitu negara China dan Amerika Serikat."
Gila ini cowo, rela begadang demi memberikan kesadaran untuk golongan muda. Mewariskan semangat untuk menjadi kaum muda yang selalu berdiri di garis terdepan demi menyuarakan 'Perubahan'.
"Bagaimana orang seperti Raka dilipatgandakan dalam perlawanan?"
"Bagaimana mereka mengorganisir massa untuk turut berjuang?"
Di kepalaku akan terus muncul pertanyaan-pertanyaan yang kulayangkan tanpa jawaban. Sepertinya Raka dan kawan-kawannya memiliki misi besar.
"Betulkah apa yang dikatakan Raka barusan?"
Aku membalas pesannya Raka.
"Sukses selalu dan terus semangat di medan juang. Besok sore, aku minta waktumu untuk kita diskusi. Aku pamit tidur terlebih dahulu. Besok sore kita bertemu di taman kampus Universitas Hasanuddin Makassar. Sekaligus menikmati suasana kampus rasa pasar. Wasallam".
Makassar
Minggu, 22 April 2018
By: Djik22
Bayang-bayangku silih berganti menghantui sosok periang dan kharismatik. Dari kepolosan serta kesederhanaannya, aku banyak belajar tentang perubahan. Baik itu, perubahan yang kecil sampai menuju sebuah perubahan mahadasyat.
"Kenapa aku terjebak masuk di sebuah lingkaran yang berpikir tentang bangsa dan negara?"
Tanyaku dalam hati saat berada di tempat tidur.
Aku memaksa untuk memejamkan mata, agar rasa kantukku mampu dikalahkan oleh getaran dalam dada. Getaran itu, baru pertama kurasakan. Seolah-olah rasa ini, lebih berkuasa dan tak mau pergi. Rasa yang bergelembung sel pori-pori tak dapat kujabarkan. Sebab aku tak sepintar alat pembesar yang mampu mendeteksi benda sekecil apa pun.
Tapi ini hal yang berbeda. Mata manusia tak dapat memandang sampai sejauh ke dalam hati yang sedang aku rasakan. Karena aku adalah sosok perempuan yang sulit ditebak bila hanya lewat analisis pandangan mata sesaat. Bola mataku selalu menawarkan bingkisan makna, patahan sengsara, dan gumpalan kesenangan.
Biarlah orang-orang menebakku dengan penilaian seperti apa. Aku tak kuasa membatasi dari sisi apa pun. Atas dasar penilaian, banyak hal yang harus aku rubah.
"Bagaimana cara merubah hasrat yang bergelora?"
Pertanyaan ini, akan menjadi teka-teki sepanjang malam menuju pagi.
Tepat pukul Dua Belas malam arah jarum jam dinding, mataku belum bisa ditutup. Pada kesunyian yang sepi, kesendirian yang tak berteman, sepi yang merobek memberi ketakutan. Sebagai penanda kalau keadaan tidak sedang baik-baik.
"Kenapa hatiku begitu gusar?"
"Kenapa Raka terus ada dalam pikiran?"
Pertanyaan-pertanyaan itu, tak dapat kuelakan. Kalau saat ini, aku sedang dihantui asmara sebelah pihak yang hanya mengorbankan diriku.
Untuk menghilangkan bayang-bayang Raka, aku mengambil sebuah buku yang ditulis oleh Simon Reid Henry dengan judul 'Fidel & Che: Persahabatan Revolusioner Tak Tertandingi'. Buku yang berlambang bintang ditaburi warna kuning. Lalu disampul depan, terdapat gambar dua sosok pejuang yang tak asing lagi di kalangan aktivis.
Ketika menatap gambar Che Guevara, bayang-bayang Raka terus memanggil namaku.
"Dil...! Kenapa kau mengelak untuk membaca buku?"
"Yakinkah bacaanmu jadi referensi kalau pikiranmu lagi digoda oleh sosok lelaki?"
Tiba-tiba aku kaget. Kalau ingatanku adalah refleksi atas pristiwa yang telah lewat. Baik itu tentang Raka, organisasi, orang tua, dan urusan perkuliahan.
"Bisakah aku membaca buku tentang gerakan?"
"Kenapa Raka dan kawan-kawannya bicara tentang revolusi?"
Aku merasa terus kebingungan. Seolah aku terjebak pada filsafat yang tak dikaji sampai ke alar-akarnya (radikal). Ketika filsafat bicara tentang 'Cinta dan kebijaksanaan' secara akar kata, maka aku rerlalu dini memaknai cinta yang hari ini menimpa generasi muda. Generasi yang berlipat tangan, memandang sebelah mata kesengsaraan yang terjadi di negeri ini.
Aku terus membaca buku karangan Simon Reid Henry sampai di halaman Dua Puluh Satu. Ketika kubuka lembaran berikutnya, ternyata lembarannya kosong. Mataku melirik ke halaman Dua Puluh Tiga yang tertulis '2 Zarpazo'. Aku menghentikan bacaanku, karena Hp-ku berbunyi. Kubukai aplikasi WA tertulis sebuah pesan baru.
"Dil...! Kenapa kau belum tidur?"
Tanya Raka lewat chatt.
Tanganku gemetar membaca chattnya Raka sambil berusaha untuk membalas. Lalu badanku penuh dengan keringat dingin. Kuatur napas panjang sambil merapikan rambut dan posisi dudukku. Kujawab dengan singkat.
"Iya ni...".
Berharap Raka membalas chattku, tetapi ia hanya membaca. Aku pun merasa bersalah. Seakan-akan Raka adalah lelaki yang tidak suka dengan dunia maya yang penuh manipulasi, penuh dengan kebohongan.
"Tetapi inikan chatt pribadi...!"
Tanyaku heran dalam hati.
Aku beranikan diri bertanya kepada Raka.
"Raka kenapa belum tidur?"
Dengan cepat ia membalas.
"Aku baru habis diskusi sama kawan-kawanku. Kami diskusi tentang penguasaan Sumber Daya Alam Indonesia oleh negara lain. Yaitu negara China dan Amerika Serikat."
Gila ini cowo, rela begadang demi memberikan kesadaran untuk golongan muda. Mewariskan semangat untuk menjadi kaum muda yang selalu berdiri di garis terdepan demi menyuarakan 'Perubahan'.
"Bagaimana orang seperti Raka dilipatgandakan dalam perlawanan?"
"Bagaimana mereka mengorganisir massa untuk turut berjuang?"
Di kepalaku akan terus muncul pertanyaan-pertanyaan yang kulayangkan tanpa jawaban. Sepertinya Raka dan kawan-kawannya memiliki misi besar.
"Betulkah apa yang dikatakan Raka barusan?"
Aku membalas pesannya Raka.
"Sukses selalu dan terus semangat di medan juang. Besok sore, aku minta waktumu untuk kita diskusi. Aku pamit tidur terlebih dahulu. Besok sore kita bertemu di taman kampus Universitas Hasanuddin Makassar. Sekaligus menikmati suasana kampus rasa pasar. Wasallam".
Makassar
Minggu, 22 April 2018
By: Djik22
Komentar