Semasa hidup, banyak waktu yang dihabiskan dengan hura-hura; melupakan dunia nyata. Sampai terlarut dalam dunia khayal sebagai imaji semu. Padahal keadaan selalu menekan dengan sombongnya sambil menggunakan topeng. Seolah menunggu kapan maut datang; kapan nyawa dilayangkan dengan mudah lewat penembakan misterius. Kenapa sosok 'penembak misterius' susah dibuka kedoknya? Bagaimana akan tersampai?
Padahal, dalam diri ada dua sisi yang saling berlawanan; kebaikan-keburukan. Tetapi, banyak yang lebih memilih pada penilaian keburukan tanpa mencari sebab pokok. Dengan mudah tuduhan dan klaim pembodohan yang mendidik generasi untuk jangan mengungkap tentang kebenaran; jangan bicara soal kesetaraan; jangan jadi cerdas. Cukup jadi budak yang tunduk dan patuh.
Sebab, hanya ada dua nilai untuk bertahan dan bersaing. Nilai berdasarkan pengkajian objektif dan penafsiran subjektif. Maka muncullah antara kawan dan lawan. Sama halnya pertarungan yang diselip politik; dibesarkan dengan media; lalu dibacai oleh sepasang mata setia yang sayu.
Ketika suara azan dilantunkan; bacaan yang menenangkan jiwa; yang terus memanggil dengan suara merdu sampai masuk dalam tulang-belulang. Tapi tangan dan kaki tidak bisa berjalan.
Ketakutan yang merayuku dengan sedikit iringi detak jantung; mandikan peredaran darah. Tapi tak cepat rasa itu pergi. Karena ketakutan ingin menguasai diriku; ingin meminta pengakuan kalau aku yang kalah dan menyerah. Akan tetapi tak semudah dengan rayuan seperti lawan mengalahkan perlombaan hidup dan mati yang ditebas nyawa. Lalu dua pilihan yang menguji adrenalin untuk memutar cara apa pun yang penting napas, jasad, dan kelengkapan indera terus bergerak.
Hanya ingin menguasai dan duduk bertahan; menunggu jatah yang dilakoni oleh para anak buah diperintah dengan dalil gaji (upah) yang mahal. Tapi misi yang dijalankan adalah suatu kesalahan. Karena perintah untuk membunuh orang yang tidak bersalah.
Ternyata jabatan punya mau; kekuasaan punya ingin. Semua jaring-jaring ditutup dengan segumpal 'amplop penenang'. Biar terjadi pristiwa seolah tak tahu, seolah pikun, seolah lupa dan jadi tak waras. Kenapa korbankan tenaga orang lain? Kenapa tidak berbuat sendiri? Bagaimana berita rahasia akan bocor?
Biarkan bocor sebesar apa pun sambil mengalir darah; meminta ampun. Tapi tidak ada membendung sebuah rahasia terbungkus yang dimainkan oleh kawan dan lawan. Kawan bisa baik, tetapi lawan tetap tak akan baik. Maka bagaimana mendamaikan kawan dan lawan? Cukupkah dengan damai semua jadi aman?
Ternyata tak ada yang menjamin; tak ada garansi tawaran seperti membeli barang di sebuah tempat belanja orang pelit. Ketika selesai masa garansi barang, maka tak dapat lagi ditukar. Lagi-lagi uang punya mau untuk menghilangkan kesopanan dan moral sebagai manusia yang bermoral serta berbudi luhur.
Semakin kutunggu, kematian mulai dekat memberi kode. Lalu sepucuk surat kutemui di atas perpustakaan pribadi tertulis "Jangan lagi bicara tentang kebenaran suara, sebab kau tak takut pada pembunuhan. Baik dengan senjata tajam atau penculikan. Tapi hanya satu permintaan, bungkamlah suara kebenaran. Karena akan mengganggu dan menghalang-halangi kemauan."
Kuangkat baik-baik dan menatap dengan tajam pada surat tersebut sambil berucap dalam hati "Jika kau ingin aku diam tanpa kata dan melarang berpijak pada kebenaran, maka jangan lagi mengancam dengan topeng. Tapi terbukalah dan saling berbagi. Karena aku bukan dididik dari masyarakat maling; bukan dari golongan pembohong. Tapi senjata yang membesarkanku adalah 'prisai kebenaran'. Maka aku tak takut pada kematian."
Rabu, 11 April 2018
By: Djik22
Komentar