Langsung ke konten utama

Tiba-tiba Bertanya #1 (262)

Part#1

Pada anak tangga berderet dibalut tehel. Ruang yang dibersihkan setiap saat. Lalu dilewati pada pagi, siang, sore, dan bahkan malam. Tapi kebanyakan menjadi ramai adalah di pagi hari. Sebab dengan semangat pagi, rasa ini seperti memulai kembali sambil menghembus angin segar dengan jatuhnya dedaunan di pelataran halaman kampus. Jatuhnya daun, tak lama bertahan. Karena langsung dibersihkan oleh para penjaga yang bekerja dengan giatnya.

Masih tentang pagi yang menjadi permulaaan mengingat. Begitu dekatnya hari. Sampai aku tak bisa membedakan, mana yang menjadi panggilan dan mana yang harus kuberpihak. Karena khawatir jika salah memilih; menimbang, dan menentukan. Maka sama halnya kejatuhan sudah mulai mendekati detak jantungku yang memikirkan keindahan, sederhana, dan apa adanya bila bertutur.

Ketika kakimu dan langkahku bertemu di sebuah lantai empat gedung dua. Sambil lalu kulewati pada sebuah pandangan. Kalau itulah penanda dan petanda kode mimik. Tapi saat itu, aku menebak bila hanya sebatas mengagumi.

Bertambahnya langkah. Yang digaris dengan warna hitam di lantai berwarna putih. Semoga kesucian tempat pijakan mengantarkan sukma ke dalam kebersihan dan kesucian. Semoga saja, tapi apakah saat itu kau rasakan yang sama? Bagaimana bila kita sama-sama berbeda merasakan? Lantas siapa yang harus disalahkan?

Namun, jenjang umur bukanlah jadi patokan. Sama halnya dengan jenjang kau menempuh pendidikan tinggi sampai sempat pindah jurusan. Lalu memilih untuk sesuai kata hati atau orang tua. Sebab, jarak dan waktu tak menginginkan adanya pertemuan di waktu dekat. Tapi setidaknya kau pernah menginjaki dasar yang menjadi sebagian jati diriku; menjadi makanan dan minuman lewat kata. Yang dinamakan jurusan bahasa. Rupanya ketika dilafaskan, maka dialeg kita akan berbeda. Walau pun kau dan aku sama-sama dilahirkan di Indonesia bagian Timur.

Setidaknya, watak keaslian yang digariskan dalam budaya tidak jauh berbeda. Bukan karena sama-sama manusia. Akan tetapi, banyak yang menjadi kontak untuk mengingat banyak hal. Termasuk angka-angka yang menjadi penghalang dan pemisah sebuah persembahan. Tapi tak sempat menikmati menuju pada cita-cita yang digagas dalam hati.

Bagaimana tidak! Aku ditakdirkan menangis di bulan November dengan rumit; penjagaan; serta kehati-hatian untuk merawat. Tetapi dirimu malah berpisah setelah sebuah hajatan sholat ID. Lantas kenapa kau berpisah bersama orang kedua sebagai kekasih? Bagaimana kau melawan sakit menuju kesembuhan? Kenapa sampai bertahan menyendiri?

Tiba-tiba, sontak aku kaget ketika bersuamu lagi di gedung dalam proses prekrutan sebuah lembaga. Saat itu, diriku diutus untuk membuka kegiatan. Tapi kenapa kau dan aku sama-sama duduk di posisi depan saling berhadapan? Karena aku di depan sambil menatap. Lalu  begitu juga dengan dirimu bersama calon anggota yang lain.

Masih tentang tiba-tiba. Tak banyak perubahan sebagai pembeda  Walau unurmu semakin bertambah; jenjang semestermu menjadi angka enam. Bila dicocokman, maka sama dengan cerita ina. Bagaimana tidak sesuai! Kalau kisah ini kutulis di menit kelima puluh enam. Angka lima sebagai tanda bulan lahirmu. Dan anehnya lagi, bertepatan dengan jam lima pagi buta yang hanya ditemani suara dari mata penjuru.

Ketika aku betanya "Angka apa yang paling kau disukai? Apakah angka ganjil atau genap? Sebelum dijawab, mudah dianalisi lewat bahasa tubuh dengan pendekatan psikologi. Sambil senyum malu dan sedikit rasa was-was, kau menjawab "Angka ganjil yang aku suka; tiga sebagai angka kesukaanku". Ini semakin menarik dan memikat. Karena diberi kesempatan untuk bertanya. Walau belum kau katakan setuju untuk aku bertanya selanjutnya.

Malam itu tak lagi menjadi sebuag teka-teki. Karena rahasia yang terkunci dengan sandi. Sudah didapatkan dengan pertanyaan. Tapi tak bisa kubendung kalau suasana malam Senin itu seperti mengajakku bercerita terus-menerus. Walau banyak orang di sekeliling kita. Namun, perlahan aku mulai diperhatikan lewat cara pandangmu yang tak biasa; cara yang tak bisa harus dituang dalam kondisi yang lagi rumit dengan nyanyian-nyanyian mengganggu redang telinga. Cuman bahasaku terus kulanjut; ceritaku terus mengarah ke ranah sastra. Biar mampu mengatasi ketegangan hatimu.

Aku terus-terus berbicara sambil banyak mata dan raut yang menuju arahku. Seolah ceritaku tentang tokoh Firdaus dalam novel 'Perempuan di Titik Nol' yang ditulis oleh Nawal el-Saadawi pernah kau bacai dalam bukumu. Dengan kaget kau katakan "Kalau novel tersebut ada di dalam kamarku sebagai koleksi pribadimu". Yang tak jadi asing, kalau sampulnya berwarna merah.

Bila dimulai dengan hitungan pertama, maka tulisan ini akan segera berakhir. Sama seperti kau dan aku menyepakati observasinya nanti dilanjutkan. Karena kondisi tambah parah dengan begitu banyak pengunjung. Apalagi akhir dari tulisan ini adalah angka sebelas ditambah dua, maka hasilnya akan tetap ganjil. Semoga keganjilan paragraf, tidak menjadi akhir dari lanjutan alkisah. Sebab aku ingin terus menulis, ingin mengembangkan bakat seni. Sama juga dengan dirimu, yang mendapatkan seni dari keturunan sang ibu. Senimu dan seniku telah banyak aku tuang lewat melukis; lewat menggambar yang akan kau pegang. Tapi aku belum sempat menggambarkan hatimu yang akan berlabuh ke siapa. Karena keadaanmu sekarang sedang sendiri.


Makassar
Senin, 16 April 2018
By: Djik22

Komentar

Populer

FILOSOFI DAUN PISANG

Harapan dan mimpi dari setiap kepala tidak semua terpenuhi dengan usaha dan praktik. Tapi masih membutuhkan untuk saling dekat dan merespon segala polomik. Di masa yang akhir ini, perutmu telah melahirkan bayi yang masih merangkak dipaksa berjalan di kerikil jalan persimpangan. Dari rawat dan buaian, telah membuka mata batin, mengevaluasi adalah jalan yang tepat. Karena kurangnya menilai dari setiap sisi. Sehingga lahir dua persimpangan kiri kanan jalan. Mata telah terang, langkah sudah tepat, bersama sudah terpupuk, kesadaran mulai bangkit. Berdiri dan bergerak. Saatnya cahaya jadi penerang. Titipan amanah 20 21 11 14 jadi bahan belajar bersama. Filosofi "Daun Pisang dan Bidikan Panah yang Tepat" telah ditemui jawaban dan makna yang dalam. Dia bukan sekedar kata, tapi dialah nyawa setiap yang di dalam. Makassar, April 2017 By: Djik22

TOGAKU TAK IBU SAKSIKAN

Perjuanganmu ibu Mengantarkanku meraih mimpi Mataku lembab berhari-hari Setiap saat mengingat ibu Harapan ibu Aku tetap kuat Aku tetap melaju Tapi ibu Saat bahagiaku Takku tatap lagi ibu Wajah bersinar hadir dalam mimpiku Kala itu ibu Ibu Toga dan pakian kebahagiaanku Semua untuk ibu Togaku tak ibu saksikan Karena ibu telah tiada Yakinku ibu senyum melihatnya Tetap tersenyum di sisiku ibu Dua puluh tiga November dua ribu tiga belas Dua kali dengan angka tiga Ibu telah berbaring bergegas Makassar Minggu, 1 Oktober 2017 By: Djik22

PERLUKAH JEMBATAN PALMERAH?

Sedikit menggelitik, ketika wacana pembangunan jembatan Palmerah. Wacana ini, hadir di beberapa tahun terakir. Di tahun 2017, tidak kala seksi pendiskusian jembatan Palmerah. Maka muncullah pro dan kontra. Padahal merefleksikan wacana ini sangat penting. Kenapa Wacananya Jembatan Palmerah? Mari kita menganalisa secara seksama. Pertama, jembatan Palmerah adalah sejarah pertama di Indonesia bila terbangun. Karena menyambungkan dua pulau, yaitu Pulau Adonara dan Pulau Flores (Larantuka). Jarak jembatan Palmerah dengan panjang bentangan 800 meter akan dipasang turbin 400 meter. Kedua, persoalan proses pembangunan jembatan Palmerah dibutuhkan dana tidak sedikit. Diperkirakan dana mencapai Rp. 51 triliun. Hal ini, perlu dipikirkan. Karena Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi NTT pada tahun 2016 hanya mencapai Rp. 3,8 triliun. Sama halnya pemerintah mengajak kita mengutang dengan investor (swasta). Ketiga, jembatan Palmerah bukan proses meninabobokan masyarakat Flores Timur

ADONARA DALAM PUISI

Petuah kata sejarah Masih temani kaki untuk melangkah Dalam bayang-bayang ibu kuatkan hari Dalam jelmaan ayah pancarkan cahaya hati Hingga tebal awan kota Ingatkan suasan desa Dihimpit berdiri megahnya Ile Boleng Didekatkan Bukit Seburi tanah kampung Karena kitalah gunung yang berdiri Karena kitalah bukit yang menyapa Membawa bisikan bahari Ketika menghadap ke arah pantai Sampai kata dan petuah terus mengikut Wariskan api dari generasi ke generasi Tentang pentingnya menjaga kata Tentang indahnya memakai tenun ikat Maka... Tak kulupakan petuah indah dan keramat Tak kuingkari segala kata-kata bernyawa Di atas alam ditaburi darah dan air mata Karena air mata Bukan hanya tentang tangisan Bukan hanya tentang derita tanpa rasa Namun air mata darah tanda perjuangan Maka... Untuk mengingatmu yang di gunung Untuk mengenangmu yang di pantai Aku mengisi kata-kata lewat puisi Karena darah dan bisikan kata terus diasa Biar perang telah terganti buka dan pena

ANTARA (576)

Sering ada perbandingan pada kata 'antara' ketika diapit oleh kalimat. Antara kau dan aku ternyata banyak perbedaan, antara kau dan dia memiliki banyak kesamaan. Antara pacar dan mantan adalah orang yang pernah berlabu dan sementara bertahan. Baik terkandas di tengah jalan, mau pun mampu melewati batas getir yang melampau kesabaran. Namun, pada kata 'antara' seolah jadi misteri yang tersembunyi. Serupa kolom kosong yang disembunyikan dengan untain doa. Lalu, dipercaya menjadi sebuah legenda atau mitos. Bagaimana sesuatu yang dipercaya tapi tak pernah diinderai? Apakah setan yang berpenampilan putih pada malam Jumat hanya menakut-nakuti? Kemudian muncul pertanyaan, siapa yang menjahit pakian putih yang dipakai setan? Ulasan ini, aku dapati saat duduk di bangku SD. Sang guru selalu menakut-nakuti pada setiap siswa. Bahwa malam Jumat selalu ada tanda ketika melewati tempat-tempat gelap. Saat itu, aku dan kawan-kawan sebayaku selalu percaya. Namun, batang hidung p

KARYAMU TETAP MEMIKAT

Foto: Abdul Rahim (Khalifah05) Ketika doa-doa Telah kau panjat Dengan lemah-lembut Pada Tuhan Yang Esa Tak lupa pula Pintamu Pada para pendahulu Dengan merinding bulu-bulu Begitu dalam penghayatan Bersama angin Bersama waktu Bercampur masa lalu Maka... Yakin pun mendalam Tak secuil akan buram Tampak pada kaca belaka Namun ia selalu melekat Selalu mempererat Antara roh dan jasat Hingga karyamu tetap memikat Makassar Jumat, 21 September 2018 By: Djik22

PEMUDA SAHABAT PERUBAHAN (397)

Indonesia adalah negara yang terdiri dari ragam perbedaan. Baik suku, ras agama, budaya, dan corak berpikir. Inilah bagian kekhasan dari bangsa ini. Dengan kekhasan tersebut, maka tak heran bangsa Indonesia dikenal dengan kemajemukan dan menjujung tinggi perbedaan. Sebab perbedaan adalah varian dari semangat menuju persatuan. Belum lagi menerobos batas wilayah yang terdiri dari beberapa provinsi. Perlu kita menelisik lebih jauh lagi tentang bagaimana membangun tatanan bangsa. Supaya mampu keluar dari zona ketertinggalan. Ternyata, ketertinggalan adalah salah satu masalah dari apa yang dirasakan setelah revolusi Indonesia didengungkan. Walau merdeka secara pengakuan sudah memhudata sampai ke telinga anak cucu. Tapi pertanyaan besar yang harus dijawab, Kenapa merdeka secara praktik/ penerapan jauh panggang dari api? Ketika secara penerapan dalam kehidupan berbangsa mulai melenceng dengan dasar negara, maka harus kembali mengamalkan nilai-nilai kebaikan yang telah diletakan oleh