Pada anak tangga berderet dibalut tehel. Ruang yang dibersihkan setiap saat. Lalu dilewati pada pagi, siang, sore, dan bahkan malam. Tapi kebanyakan menjadi ramai adalah di pagi hari. Sebab dengan semangat pagi, rasa ini seperti memulai kembali sambil menghembus angin segar dengan jatuhnya dedaunan di pelataran halaman kampus. Jatuhnya daun, tak lama bertahan. Karena langsung dibersihkan oleh para penjaga yang bekerja dengan giatnya.
Masih tentang pagi yang menjadi permulaaan mengingat. Begitu dekatnya hari. Sampai aku tak bisa membedakan, mana yang menjadi panggilan dan mana yang harus kuberpihak. Karena khawatir jika salah memilih; menimbang, dan menentukan. Maka sama halnya kejatuhan sudah mulai mendekati detak jantungku yang memikirkan keindahan, sederhana, dan apa adanya bila bertutur.
Ketika kakimu dan langkahku bertemu di sebuah lantai empat gedung dua. Sambil lalu kulewati pada sebuah pandangan. Kalau itulah penanda dan petanda kode mimik. Tapi saat itu, aku menebak bila hanya sebatas mengagumi.
Bertambahnya langkah. Yang digaris dengan warna hitam di lantai berwarna putih. Semoga kesucian tempat pijakan mengantarkan sukma ke dalam kebersihan dan kesucian. Semoga saja, tapi apakah saat itu kau rasakan yang sama? Bagaimana bila kita sama-sama berbeda merasakan? Lantas siapa yang harus disalahkan?
Namun, jenjang umur bukanlah jadi patokan. Sama halnya dengan jenjang kau menempuh pendidikan tinggi sampai sempat pindah jurusan. Lalu memilih untuk sesuai kata hati atau orang tua. Sebab, jarak dan waktu tak menginginkan adanya pertemuan di waktu dekat. Tapi setidaknya kau pernah menginjaki dasar yang menjadi sebagian jati diriku; menjadi makanan dan minuman lewat kata. Yang dinamakan jurusan bahasa. Rupanya ketika dilafaskan, maka dialeg kita akan berbeda. Walau pun kau dan aku sama-sama dilahirkan di Indonesia bagian Timur.
Setidaknya, watak keaslian yang digariskan dalam budaya tidak jauh berbeda. Bukan karena sama-sama manusia. Akan tetapi, banyak yang menjadi kontak untuk mengingat banyak hal. Termasuk angka-angka yang menjadi penghalang dan pemisah sebuah persembahan. Tapi tak sempat menikmati menuju pada cita-cita yang digagas dalam hati.
Bagaimana tidak! Aku ditakdirkan menangis di bulan November dengan rumit; penjagaan; serta kehati-hatian untuk merawat. Tetapi dirimu malah berpisah setelah sebuah hajatan sholat ID. Lantas kenapa kau berpisah bersama orang kedua sebagai kekasih? Bagaimana kau melawan sakit menuju kesembuhan? Kenapa sampai bertahan menyendiri?
Tiba-tiba, sontak aku kaget ketika bersuamu lagi di gedung dalam proses prekrutan sebuah lembaga. Saat itu, diriku diutus untuk membuka kegiatan. Tapi kenapa kau dan aku sama-sama duduk di posisi depan saling berhadapan? Karena aku di depan sambil menatap. Lalu begitu juga dengan dirimu bersama calon anggota yang lain.
Masih tentang tiba-tiba. Tak banyak perubahan sebagai pembeda Walau unurmu semakin bertambah; jenjang semestermu menjadi angka enam. Bila dicocokman, maka sama dengan cerita ina. Bagaimana tidak sesuai! Kalau kisah ini kutulis di menit kelima puluh enam. Angka lima sebagai tanda bulan lahirmu. Dan anehnya lagi, bertepatan dengan jam lima pagi buta yang hanya ditemani suara dari mata penjuru.
Ketika aku betanya "Angka apa yang paling kau disukai? Apakah angka ganjil atau genap? Sebelum dijawab, mudah dianalisi lewat bahasa tubuh dengan pendekatan psikologi. Sambil senyum malu dan sedikit rasa was-was, kau menjawab "Angka ganjil yang aku suka; tiga sebagai angka kesukaanku". Ini semakin menarik dan memikat. Karena diberi kesempatan untuk bertanya. Walau belum kau katakan setuju untuk aku bertanya selanjutnya.
Malam itu tak lagi menjadi sebuag teka-teki. Karena rahasia yang terkunci dengan sandi. Sudah didapatkan dengan pertanyaan. Tapi tak bisa kubendung kalau suasana malam Senin itu seperti mengajakku bercerita terus-menerus. Walau banyak orang di sekeliling kita. Namun, perlahan aku mulai diperhatikan lewat cara pandangmu yang tak biasa; cara yang tak bisa harus dituang dalam kondisi yang lagi rumit dengan nyanyian-nyanyian mengganggu redang telinga. Cuman bahasaku terus kulanjut; ceritaku terus mengarah ke ranah sastra. Biar mampu mengatasi ketegangan hatimu.
Aku terus-terus berbicara sambil banyak mata dan raut yang menuju arahku. Seolah ceritaku tentang tokoh Firdaus dalam novel 'Perempuan di Titik Nol' yang ditulis oleh Nawal el-Saadawi pernah kau bacai dalam bukumu. Dengan kaget kau katakan "Kalau novel tersebut ada di dalam kamarku sebagai koleksi pribadimu". Yang tak jadi asing, kalau sampulnya berwarna merah.
Bila dimulai dengan hitungan pertama, maka tulisan ini akan segera berakhir. Sama seperti kau dan aku menyepakati observasinya nanti dilanjutkan. Karena kondisi tambah parah dengan begitu banyak pengunjung. Apalagi akhir dari tulisan ini adalah angka sebelas ditambah dua, maka hasilnya akan tetap ganjil. Semoga keganjilan paragraf, tidak menjadi akhir dari lanjutan alkisah. Sebab aku ingin terus menulis, ingin mengembangkan bakat seni. Sama juga dengan dirimu, yang mendapatkan seni dari keturunan sang ibu. Senimu dan seniku telah banyak aku tuang lewat melukis; lewat menggambar yang akan kau pegang. Tapi aku belum sempat menggambarkan hatimu yang akan berlabuh ke siapa. Karena keadaanmu sekarang sedang sendiri.
Makassar
Senin, 16 April 2018
By: Djik22
Komentar