Keesokan sore, pelataran rumah dipancarkan kondisi yang mendukung. Menatap langit, senyum membalas tujuanku. Apalagi kupandang sebelah kiri, tampak seorang bocah laki-laki menendang bola ke arahku. Lalu si bocah itu, menghampiriku dan berkata. "Kak... Kenapa senyum-senyum sediri? Boleh tidak kak menemaniku bermain bola?"
Sebelum kumemberi balasan, tanganku mengelus rambutnya yang disisir rapi. Langsung aku teringat kepada adikku. Banyak kesamaan antara mereka berdua. Bagaimana tidak...! Si bocah ini, menghabiskan waktunya dengan riang gembira. Pakian yang dikenakan selalu berpasangan antara baju dengan celana. Saat itu, sang bocah mengenakan baju dari salah satu club sepak bola tersohor dunia. Iya... Ia menggunakan baju Barcelona dengan nomor punggung 10 tertulis namanya, yaitu Faruqh Al-Habsyi.
Lalu si Faruqh pergi meninggalkanku tanpa mengingat lagi ajakannya. Mataku terus memandang, menatap dengan sedikit haru. Ternyata si Faruqh begitu mencintai bola sampai tak mengenal lelah dalam berlatih.
"Andaikan aku lelaki, maka bakatku dibagian olahraga mampu aku kembangkan. Tetapi sayang, aku ditakdirkan menjadi seorang perempuan. Apalagi ruang publik selalu memberi batasan sekat pemisah." Gumamku dalam hati, sambil menyeka air mataku yang membanjiri pipi tanpa kusadari.
Ketika dilahirkan sebagai perempuan, banyak kalangan yang menganggap remeh. Kata-kata sinis selalu berlaku untuk golonganku. Kami (perempuan) digolongkan sebagai kaum yang lemah, kaum yang selalu membuat kerusakan dengan penampilan. Baik menutup tubuh sepenuhnya, mau pun setengah telanjang. Tapi kenapa kebanyakan orang menilai dari sisi luar?
Apalagi banyak aturan yang menguntungkan pihak lelaki. Lelaki yang selalu menduduki posisi strategis. Yang lebih fatal adalah kebanyakan lelaki yang mensahkan aturan untuk mengebiri hak-hak perempuan. Lalu merasa bangga kalau perempuan hanya diam dan tak berani memberi perlawanan.
Inilah suatu pandangan kerdil yang sudah membudaya untuk merusaki pola pikir generasi pelanjut. Sebab pola pikir yang objektif akan menjadi penentu sebuah perubahan. Tidak hanya berpikir, tetapi pikiran yang cemerlang harus diaktualisasikan dalam bentuk tindakan. Sehingga tak hanya tersimpan untuk bahan doktrin dan ajaran sesat. Kenapa menjadi ajaran yang sesat? Karena kecerdasan tak dapat diwariskan. Tetapi kecerdasan hanya digunakan untuk menipu orang lain.
Semoga saja, Raka dan kawan-kawannya memandang perempuan sebagai kawan juang sejati. Kawan yang bukan sesaat, tetapi kawan sampai selamanya menuju kemenangan yang telah didengung-dengungkan. Baik itu, di forum diskusi maupun di dalam aksi demonstrasi.
Aku kaget, kalau hari ini ada pertemuan yang telah kukabari pada Raka. Pertemuan itu, dilaksanakan di taman kampus universitas Hasanuddin Makassar. Dengan langkah yang kaget, sambil mengambil Hp-ku di meja belajar. Aku menelpon Raka.
“Assalamualaikum... Raka di mana?”
“Maaf kalau aku sedikit terlambat, soalnya aku lupa kalau hari ini ada diskusi.”
Dengan suara yang lembut dan penuh kesabaran. Aku dapat merasakan lewat pilihan diksi yang digunakan dan layangkan lewat suara.
“Aku sudah di taman... Tidak apa-apa aku menunggu. Lagian aku belum sampai sebelas menit yang lalu.”
Jawabnya dari jarak yang berjauhan, tetapi kurasa begitu dekat. Seolah ia memberikan kenyamanan yang tak ada dua di dunia ini.
Aku menyiapkan diri. Kali ini, kebingungan menimpaku lagi. Sebab aku yang menyita waktu luangnya, tetapi aku yang terlambat. Tapi tidak jadi soal, lagian Raka adalah sosok lelaki yang pengertian. Apalagi ia adalah salah satu pengagum rahasiaku. Tapi tak ada satu pun yang tahu. Hanya aku yang menyimpannya dengan rapi tanpa harus diungkapkan.
Setelah selesai menyiapkan diri. Aku mengendarai motor kesayanganku. Dia adalah harta kesayanganku selalu menolong untuk melangkah. Sekaligus sahabat tersetia setelah buku. Butuh waktu sekitar dua puluh menit untuk sampai di taman Unhas. Belum lagi kemacetan di sore hari ketika kebanyakan orang pulang kerja. Butuh kesabaran yang tinggi untuk menerobos kepadatan pengguna kendaraan. Jadi kehati-hatian adalah kunci selamat menuju tujuan.
Dari depan pos satpam. Aku menatap sosok yang tak asing lagi. Sosok yang banyak membuat orang-orang terinspirasi, aku termasuk salah satunya.
“Tetapi kenapa ada perempuan berhijab yang belum pernah kulihat dikala diskusi?”
“Rupanya ada tambahan kawan baru. Semoga dia menjadi kawan kaligus curahan hatiku.”
Saat memandang di arah kiri-kanan. Ternyata banyak orang lalu-lalang. Ada yang berjualan, ada yang berdiskusi, ada yang berolahraga, dan masing-masing menjalankan aktivitasnya. Maklum aku heran, sebab baru pertama kali aku berkunjung.
Mengenal Raka, banyak hal baru yang aku dapatkan. Ia adalah orang pertama menunjukan dunia gerakan, diskusi, dan sedikit romantisme. Walau tidak pernah diucapkan, tetapi ia tunjukan lewat gerak-geriknya. Apalagi saat bertemu, Raka selalu memberikan senyuman sambil menggodaku.
“Tanganmu mulus ya! Pasti suka perawatan.”
Ucapan ini, ia katakan ketika kami bertemu di sekretariat yang kedua kalinya.
Aku menghampiri Raka dan perempuan yang berhijab tersebut.
“Hy... Raka... Maaf aku terlambat !!! Soalnya tadi ditambah macet.”
Sambil aku menyodorkan tanganku memberi salam. Raka pun memperkenalkan perempuan berhijab itu.
“Dil..! Kenalin, ini Dina.”
“Hy... Dina... Aku Dila. Senang berkenalan denganmu.”
Tapi firasatku merasakan lain. Seolah ada yang telah mengguncang bersama tarikan napasku.
“Kenapa aku pucat dan malu ketika bertemu Raka dan Dina?”
“Apakah ada hal yang Raka sembunyikan? Atau jangan-jangan Raka ingin memperkenalkan kalau Dina adalah pacarnya...!!!”
Biar Dina adalah pacarnya Raka. Tak ada hakku untuk mencari tahu. Karena aku dengan Raka tak ada hubungan istimewa. Lagian Raka adalah lelaki yang tak mudah jatuh cinta. Karena ia ingin berjuang tanpa dibatasi oleh perempuan. Apalagi perempuan berhijab.
Bagi Raka, memperbanyak kawan adalah jalan untuk mempermudah segala urusan. Apalagi Raka dan kawan-kawannya memiliki mimpi yang mulia. Pasti ia tak tergiur pada perempuan yang membatasi ruang geraknya. Karena dua hari yang lalu, ia menceritakan tepat di depan halaman kontrakanku.
Kami bertiga mulai bediskusi tentang ‘Strategi taktik’ memenangkan panggung politik di dalam kampus. Karena kampus hari ini, menambah bobot mahasiswa seperti ‘Mesin robot’ yang tak bisa berbuat apa-apa. Belum lagi, ditambah aturan kampus yang membatasi ruang demokrasi. Kami berdiskusi bagaimana penerapan ‘Demokrasi sejati’ mulai digerakan secara perlahan. Jikalau banyak mahasiswa di dalam kampus mulai bersikap acuh tak acuh, maka pola dan metode mengorganisir massa harus dirubah.
Sebab belakangan ini, rezim boneka mulai mengalihkan dalil propaganda yang menenangkan gerakan mahasiswa. Padahal mahasiswa sebagai ‘Pelopor’ yang mampu membawa bangsa ini menuju masyarakat adil dan makmur sesuai dengan keinginan para pendiri bangsa dan dasar negara Republik Indonesia.
Ragam stratregi taktik yang kami hasilkan dari diksusi mini ini untuk mengisi ruang-ruang ideologis harus dimulai dengan forum yang kecil. Karena perlawanan sekarang harus diserang lewat berbagai sisi untuk menghapus sistem penindasan dan perbudakan bertambah jadi setelah pemerintah mendatangkan tenaga kerja asing untuk dipekerjakan di bumi pertiwi ini. Dengan upah yang lebih tinggi dibandingkan kaum buruh yang ada di Indonesia itu sendiri. Begitu miris dan kejam, hidup di negeri yang kaya tetapi sengsara lalu menjerit sambil meratap tangis.
Kondisi sekeliling kami mulai gelap. Orang-orang menuju jalan pulang. Menatap suasana semakin sepi, tatapanku tertuju pada air mancur yang tak jauh dari tempat duduk Raka. Seolah air itu memancarkan makna tentang keterikatan. Tapi kata-kataku tak bisa kulanjutkan untuk memaknai filosofi air mancur. Setidakanya air sebagai penyejuk dan mampu mendinginkan keadaan yang gerah.
Tanganku memaini air sambil aku membacakan puisi tiga bait. Puisi yang kutulis dalam ruang satpam sebelum aku bertemu dengan Raka dan Dina. Tulisan ini kuangkat dari kisah nyata, lalu kupadukan dengan imajinasiku sendiri.
“Dil... Ayo gabung!"
Sambil menggelengkan kepala sebagai bentuk penolakan. Aku memberi kode kepada Raka dan Dina kalau aku tak mengganggu kenyamanan mereka.
Komentar