Di dalam keluarga sederhana aku telah dianggap anak durhaka, anak yang tak bisa diatur. Semua keburukan sebagai titel sapaan di kalangan kawan sebayaku. Apalagi, di jalanan, aku seperti cacing kepanasan bila terkena abu dapur. Tetapi jalan hidup tetap kunikmati, tetap kusyukuri, tetap menjadi mujizat yang jatuh dari negeri seberang. Negeri yang sampai sekarang masih mencari dimana kepastian tempatnya. Karena aku temukan negeri subur itu, di dalam alam mimpi malamku.
Tak lagi mendengar kata-kata bermakna ganda (ambigu). Sebab seburuk-buruknya tingkah-laku, aku masih tetap memegang komitmen, memegang slogan kebajikan. Karena setiap kalimat yang keluar dari mulut manis manusia, pasti memiliki maksud yang berselubung. Seperti memberi hadiah (sedakah) dengan tangan kanan, berharap tangan kiri menerima balas puja-puji meninggi.
Apakah aku lebih buruk? Kenapa aku disalahkan? Benarkah penilaian tanpa bukti dapat dikatakan sebuah kebenaran? Ah...itu sama saja menuntun roh orang hidup yang merasuki anak kandungnya di perkampungan kumuh. Yang harus dikeluarkan roh jahat dengan sesajen dan bacaan mantra yang melebih-lebihkan.
Aku adalah perempun suci, yang belum dikotori kemolekan tubuhku, belum pernah dijamah oleh lelaki. Walaupun pasangan hidupku. Karena aku membuat diriku setara dengan butir telur; sekali pecah, maka tidak lagi dibuat utuh kembali. Lonjongnya telur sama mirip dengan paras cantikku.
Untuk kesekian kalinya, aku digoda, aku dirayu gombal kata bermutiara, kata bertujuan melampiaskan napsu demi mencicipi daging murniku.
Menjalin hubungan, aku terus dikhianati, terus dicaci-maki dengan kata-kata yang tak wajar. Kalau aku mengutuk, maka bisa saja jadi patung yang kaku berdiri. Tetapi aku tak seburuk itu, yang menyimpan dendam berlarut-larut. Aku ingin lapang dada dan berbudi luhur menjalani sisa masa remajaku.
Orang tuaku tak lagi mengangap aku adalah bagian dari keluarga mereka. Karena aku pernah melakukan kesalahan memilukan; kesalahan mencoreng nama baik keluarga. Yaitu aku mengonsumsi obat-obatan terlarang (narkoba). Tetapi mereka (keluarga) tidak pernah bertanya "Kenapa aku mengonsumsi obat-obat terlarang? Kenapa aku senekat itu?".
Sekarang aku mulai sadar, kalau di mata manusia, budaya, adat, dan agama maka aku salah besar. Tetapi janjiku dalam-dalam penuh ikhlas. Bahwa tak lagi mengulangi kesalahan yang sama. Aku percaya Tuhan mendengar keluhku, Tuhan mengampuni segala dosaku bila aku bertaubat seutuhnya.
Memasuki usia 25 tahun. Aku merawat tubuh tetap cantik, tetap alami. Biar kelak kutemukan pasangan hidup yang menerima diriku dengan ikhlas. Membawaku dalam buku, menepel tanda tangan di lembar tulisan basah, mendampingiku di atas podium pengantin. Sambil mencium keningku yang disaksikan oleh ribuan mata para undangan. Maka akan kujaga rambut hitam ini, tak sedikit kubiarkan jatuh dipelukan lelaki lain.
--- ¤ ¤ ¤ ---
Untuk yang tak lagi terhitung.
Dengarlah seksama.
Nilailah perbuatan dengan sewajarnya.
--- ¤ ¤ ¤ ---
Makassar
Kamis, 8 Februari 2018
By: Djik22
Komentar