Perhentian tersisa hanya dalam benak para pencuri kesenangan. Napas terengah-engah naik ikuti getaran tubuh. Tapi tak lupa akan tugas, sebab lupa adalah kecelakaan terburuk proses kerja otak. Sehingga kedisiplinan sedikit redup termakan kemalasan. Pola berbenah diri mencuri alam sadar, realitas jauh dari keadilan, memaksa anak bangsa berpikir kerdil.
Media sosial penyerang fantastis. Bom berdentum kritik saran sebatas pemanis bahasa. Kapan perubahan diraih? Dimana persembunyian Ratu Adil dalam alkisah? Aneh-aneh serbuk pilihan diksi yang membingungkan. Mengajak tidur di tengah jarum-jarum tajam: melukai semua badan tumpahkan darah tercecer banjiri sekitan tanah yang subur.
Tanah? Atau tanah air yang subur dikotori tangan munafik manusia? Jangan-jangan perang dimulai dari tren berita. Apalagi bicara kemerdekaan, kesejahteraan, dan kesetaraan kalau hanya semesta sebagai saksi. Lantas keadilan seperti apa paling mulia? Puncak perbedaan bukan sebatas kata-kata, tapi dari kumpulan kata dihentakan dalam praktik terus-menerus. Seperti pengaruh media komunikasi melancarkan peran pemutaran film.
Semesta sebagai saksi, terkadang huru-hara dipandang buruk, demontrasi dinilai berbuat gaduh. Toh percaturan politik bangsa sedang dipertontonkan oleh politisi busuk. Katanya nasionalis, agamais, dan merakyat. Kok setelah masuk sistem jadi penakut yang mencundangi idealisme.
~~~
Semesta sebagai saksi,
retas sistem yang membunuh.
Saat suara dibungkam, maka kekuatan massa terus dipupuk.
~~~
Makassar
Jumat, 2 Februari 2018
By: Djik22
Komentar