Kegilaan masa remaja, membuat kebanggaan tersendiri terus diingat. Suka duka hidup dirasakan bersama saat di sekelilingku diapit para sahabat. Seperti sepasang saudara tapi beda air susu. Padahal antara aku dan mereka, banyak berbagai karakter berbeda. Tapi itulah keberagaman dengan candaan gokil yang sulit terulang lagi.
Warna putih kesukaanku melambangkan kemurnian hati; kesucian niat. Tapi hidup tak semudah mengembalikan 'telapak tangan'. Putih hanya sebatas simbol memutus harapan berlinang air mata. Tangisan seperti seorang kewae (Perempuan) Adonara yang dipukul pilu tanpa bedil. Mendengar kabar ayah telah meninggal saat aku kelas VI SD. Kenapa derita mengahadangku di teba jalan? Pada siapa aku harus mengadu kalau hanya berteman ibu?
Ayah meninggal di tanah perantaun. Hanya kudengar kabar lewat angin duka; menitihkan air mata tanpa ragu. Sontak teriak tapi tak ayah dengar. Oh...pulau Adonara pijakan pejuang. Kali ini aku lemas dahaga bersama pelukan hangat.
Merelakan kepergian dengan berat hati, itu sama seperti kumenatap budaya tenun (kewatek) di nusaku hanya digunakan untuk tidur berkusut bau. Budaya harus dilestarikan dengan semangat pantang mundur. Bagaimana hasil jerih payah pendahulu ludes terbawa arus zaman? Kalau generasinya hanya menonton telanjang mata.
Aku ingin, jerih payah bunda jadi kebanggaan. Aku tak mau rahim bundaku terus diperkosa. Takut menjerat bila cucunya tak digendong bersahaja. Biar tak ada penyesalan mendalam, maka harus kuhapus air mata ina (ibu) lewat keringat usaha.
Sekolahku telah putus di tengah jalan. Seperti aku nyasar, harus memilih persimpangan kiri jalan atau kanan jalan. Naas menimpah ketika universitasku lagi berkelahi dengan dua kubu kepemimpinan.
Memang benar kata Tan Malaka "Angka ganjil adalah angka sial." Penyatuan sepuluh bertambah satu melahirkan sebelah, maka itulah kecintaanku pada nomor angka.
Aku jadi gembel jalanan Kota Karang. Gembel yang berpenghasilan jadi karyawan kuliner. Kenapa harus kerja? Bukankah kita bekerja untuk memberi kekayaan kepada orang lain? Mendapatkan gaji sedikit untuk membeli kosmetik?
Iri kumelihat dunia sekarang. Ada yang bahagia bersama keluarga; bergelar pahlawan; berharta hasil rampokan. Tapi aku tertusuk bila menatap mereka yang di sanjung sosok ayah; dibelai rambut karena sudah tumbuh dewasa. Kenapa aku berteman sepi? Kenapa pemandangan sebagai tempat curhatku? Kuharap ibu tak segera menyusul.
Cerita ini kucurahkan lewat sosok misterius. Membakar rahasia yang kusembunyikan; memancing tangan berbalas nyeri dengan api pertanyaan. Kucukupkan kisah pada angka nomor empat. Ketika siap, maka lebih bijak dan tenang berceloteh memberi kesan.
Pesanku "Lestarikan tenun budaya bermotif. Tunjukan pada dunia, bahwa harga diri bukan hanya pada anggota tubuh. Tapi menjaga budaya sebagai generasi muda adalah amanah. Mari bergandeng tangan teriakan lestari alamku; lestari budayaku" Aku yang yatim saja masih bersemangat baja. Bagaimana geram dan lantangmu wahai pemuda yang sempurna keluarga? Jangan diam putus asa, jadilah hidup ini terus berarti. Seperti aku berusaha sisihkan keringatku demi keinginan ibu.
... ¤ ¤ ¤ ...
Bila kematian tak dapat ditawar-tawar,
maka manfaatkan segala tenaga selama masih hidup kuat.
Jangan sampai musibah lebih kejam datang menyerang.
... ¤ ¤ ¤ ...
Makassar
Rabu, 21 Februari 2018
By: Djik22
Komentar