Tiba-tiba tanganku bergetar menekan dataran tanah. Hati diganggu tak teratur; dicumbui rasa yang tak kutahu namanya. Kata-katamu begitu menyejukan jiwa; menyenangkan alam sukmaku yang berada di bawah kibaran bendera kebenaran. Bukan hanya soal kebenaran antara kau dan aku, tapi kebenaran alam semesta dan pencipta.
Kaulah penantang terbaik yang pernah kutemui di bumi Nusantara. Jelmaan kata-katamu; sontak suara petikan bahasamu, aku menemukan sebatang tongkat penyatu. Bukan tentang sama-sama memiliki, tetapi kau dan aku menggapai satu tujuan.
Apa sebenarnya membuatmu seberani itu? Kenapa kau hadir begitu cepat? Bagaimana cara menjaga dan merawatmu? Bila benar, maka aku memilih jadi angin; aku memilih mendengar suara merayu merdumu di seberang pulau. Kenapa aku tak memilih hujan? Kenapa tanganmu tak berhenti menekan layar lebar androidmu?
Setidaknya aku masih waras. Karena tujuanku bukan merayu sesat lalu pergi. Aku ingin seperti citamu; aku ingin hadir dalam senyummu. Biar kau dan aku tetap berkarya. Itu seperti, sepasang suara yang tak dapat digenggam. Bagaimana cara menggenggam kalau tanganku kaku?
--- ¤ ¤ ¤ ---
Galak tawa membaca di sore hari, hati adalah alasan kau dapati nyaman. Tetapi kenapa begitu cepat rasa nyamanmu tiba? Bukankah belum genap tiga hari seperti ketukan palu kesepakatan kau tiba? Aku takut kau begitu cepat; aku jadi sesat terbawa arus zona yang tak nyaman.
Katamu padaku "Tak cukup alasan bagiku berhenti mengigatmu, jika membaca adalah penyatu dunia digenggam; jika itu kau mau". Aku kehabisan cara, maka kukirimkan saja bahasa sepenggal "Cukuplah dengan umur sebelum rayap menyapa; aku ingin tetap dalam hati; aku tahu caranya mengingat, karena ingatan akan cepat pergi".
Suara merayu merdu, seperti sapaan paling mulia budi pekerti dalam dunia peradaban. Dunia yang ditumbuhi pahit seperti rasa kopi; dan manis seperti madu membawa napsu. Aku tetap memilih rasa pahit. Karena aku ingin menyulam laba-laba dengan tangan tegarku; melawan rasa nyamanku dengan keteduhan tak manjakan diri.
--- ¤ ¤ ¤ ---
Bila kenyamanan terlalu cepat,
maka tetaplah bertahan menimbang.
Walau hadir lewat suara merayu,
Tetapi tetaplah pada hitam dan putih.
--- ¤ ¤ ¤ ---
Makassar
Senin, 12 Februari 2018
By: Djik22
Komentar