Kau larangku menangis, kau pintaku jangan mengeluh. Semua telah kupenuhi, sebab kau didikku saat bangsa ini sedang dilanda krisi ekonomi. Sama kondisi serupa menimpa raga layuku. "Jangan menangis, jangan malas" Itulah pesanmu untuk kuhabiskan hidup.
Bagaimana bangsa ini bisa dirubah? Kalau anak-anak diserang busung lapar? Kenapa aku yang berkulit hitam selalu jadi bahan olokan? Rambutku hitam sama seperti ampasnya kopi yang kau keduk di sore hari hilangkan penatmu. Rambutku keriting menyamai jalan likumu. Jalanan panjang telah kau lalui sebagai pejuang ulung di daerah yang bukan tempat lahirmu. Baru amanah telah disandarkan dengan sedikit sopan berkedok hubungan keluarga.
Bila kaulah pejuang sejati, maka ada darah juang yang mengalir di ragaku. Ketika kau gabungkan aku dengan kesucian dan amanat kotor. Nah... saat ini, berdiriku dengan tegar. Kau gabungkan aku dengan lentik jemari dan hidung mancung saat busur dan tombak ditusak patah di dada kirimu.
Protes tak terbatah tanpa harap pujian. Nakhodai berlayar ribuan pujian kala di batu yang berjumlah lima sebagai mitos sakral nama lahir bunda. Kenapa kita dianggap pendatang di negara hukum? Bukankah dalam Kartu Tanda Penduduk kita sebagai warga negara Indonesia? Begitu kejam julukan pendatang. Itu seperti Bung Karno berucap "Tak ada mayoritas dan minoritas di negara yang namanya Indonesia".
Ayah... kaulah petani berlahan garap; masa mudamu kau habiskan menanam, demi darah dagingmu. Agar kelak tak kelaparan getir sibuk meminta. Sekolah Menengah Atas kau tak menamatkan. Saat bunda lari menghampiri rumah berlatar ilalang berdinding bambu.
Kenapa kau dibenci bila berbuat baik? Kenapa kedengkian sampai turun-temurun? Betul apa kata mereka "Menjadi panglima, maka harus siapkan nyawa jadi bayaran". Tapi saat ini, kumemandang rambut hitammu mulai memutih. Tangan yang kekar dulu, kini mulai terkuras karena memikirkan nasib bangsa dan generasimu.
Akulah anak kedua yang telah dilupakan. Kisah telah tertanam sampai ke telinga para tetangga. Bukan perampok yang mengambil lahan milik warga; bukan negara lain yang menguasai ibu pertiwi. Tapi kenakalanku menjadi kutukan semesta. Padahal nakalku dengan bercita-cita menjadi sosok yang mandiri dan tak mau merugikan banyak orang.
Sebenarnya aku merindukanmu saat jauh malam datang; saat liburan panjang kumemilih tak pulang. Karena suatu ketika kau bisikan padaku "Jangan pulang sebelum menang; jangan pulang sebelum banyak pengelamanmu. Kalau tidak, maka lebih baik kau jadi orang gila yang berjalan tak ada tujuan pasti".
Kisah anak yang dilupakan adalah penggalan terberat, bila badai tak kubendung. Saat ini, aku baru sadar kalau terganggu mimpi malam.
... ¤ ¤ ¤ ...
Setidaknya mimpi
adalah bunga tidur,
maka mimpi akan jadi nyata.
Kalau kau mengingat
kesengsaraan yang
ada di negeri ini.
... ¤ ¤ ¤ ...
Rabu, 28 Februari 2018
By: Djik22
Komentar