Kehidupan manusia seperti perputaran roda. Manusia tidak bisa hidup secara terpisah. Karena manusia adalah makhluk sosial. Maka saling mendukung dan membutuhkan (ketergantungan). Sebagai makluk yang berakal budi, seharusnya beragam pesoalan mampu diretas dengan 'kepala dingin'. Jangan mengambil keputusan berdasarkan libido keegoisan.
Bertambahnya usia, cara berpikirmu semakin menurun. Padahal, tumpukan bukumu tersusun rapi di balik kamar tidur. Hari-hari kau memegang pena sambil mencoret garis-garis buku yang kosong. Tapi kenapa bacaanmu tidak kau tuangkan dalam bentuk sikap dan bertutur? Kenapa kau semakin sombong ketika kuliahmu semakin meningkat? Aku kehabisan cara berpikir untuk menenangkan lajunya arus amarahmu.
Bukankah dulu saat bulan puasa kau kabari aku menjaga kesetian? Kenapa kau meningalkanku memilih pelabuhan yang lebih besar? Dan ingatkah tangisanmu meminta sandar di pundakku lagi? Sambil kau kirim foto linangan air matamu menerobos pipi kiri kananmu.
Kalau niatanmu ingin mencari kapal dan nakhoda yang lebih ulung, maka kau tak harus menamparku dengan sikap telanjang amarahmu. Aku kira sisa kesempatan ini menyatukan hubungan kepalsuan. Bukan aku mau mengemis, bukan aku menete; bukan aku meminta balikan.
Siapa yang kejam antara kita? Aku diganggu dalam mimpi mengingatmu; aku dihujat dari jarak jauh lantaran tuduhan keluargamu. Jangan kau samakan 'buah yang jatuh tak jauh dari pohon' untuk menilaiku. Seharusnya aku yang berbalik tanya "Kenapa kau setega itu? Kenapa kau memilih abu-abu seperti warna kesukaanmu? Maka hasil yang aku terima adalah kata-kata bermakna ganda.
Kata-katamu singkat mengikat. Tapi tetap menusuk pada luka hatiku. Bagaimana tidak? Aku menegirim ribuan kata hanya kau jawab dengan empat lima deretan kalimat. Dari sisi pilihan kata, maka kau lebih dari orang-orang kikir yang pernah kujumpai di republik ini.
Hadirku adalah menambah inspirasi; menjalin hubungan baik sebagai kakak dan adik. Tapi kau malah memilih pada kecantikan terpampang murah. Kecantikan tak akan bertahan lama, biar kau rawat dengan kosmetik yang harganya mahal melampaui batas mampu orang miskin.
Lebih baik, menyandang status sederhana pemikat ribuan orang. Dari pada berpijak pada tatanan hawa napsu kotori tubuh molekmu. Saatnya, kau dan aku harus terbuka. Kalau pun memang kau kunci dengan deretan gembok raksasa, maka dengan mudah aku buka. Caranya adalah mendoakanmu jadi orang bebas tak kerdil pemikiran.
Kau memilih berdiri di Kota Pelajar kraton alam raya. Aku memilih berteduh di bawah alam para Karaeng. Maka sudah saatnya kebohongan yang selama ini kau tutupi, mampu terkuak dengan kesabaran hati.
Kau tak bisa menilai kata-kataku hanya lewat tulisan dengan tanda tanya, lalu kau beri penilaian "aku tidak kejam". Enteng betul gaya retorika sensasi bertabur racun. Menambah keheningan malamku tak berhenti.
Pada pandangan budaya, kau kuhargai sebagai garis darah. Tapi pada kaca mata perspektik ilmu, kau adalah murid yang harus banyak lagi belajar. Seperti kau katakan padaku "Akan memegang megafon didampingin ratusan ribu massa". Tapi sudahkah kau penunuhi janjimu? Sudahkah hari-harimu kau habisi untuk membaca, menulis, diskusi, dan silahturahmi? Atau jangan-jangan kau habisi waktumu mecari pemandangan menambah sederet galeri foto di anroidmu.
... ¤ ¤ ¤ ...
Sebelum berucap janji,
Pikirkan dahulu matang-matang.
Biar tak ada kekecewaan yang
mendarah daging.
... ¤ ¤ ¤ ...
Makassar
Rabu, 21 Februari 2018
By: Djik22
Komentar