Tengah malam, sehabis pertikaian salah paham. Ternyata musibah menimpah diriku; melarutkan dalam kecelakaan; mengantarku pada dilema. Seharusnya kejanggalan terus-terang dituangkan, kekeliruan harus diluruskan. Apalagi mengajarkan kau dan aku saling dewasa. Baik itu, lewat cara berpikir dan berjuang bersama.
Bila dari segi kebanyakan, kau dan aku seperti senapan laras yang pelatuknya berbeda. Maka aku ingin kita berdua mencari cara untuk menghentikan arah gerak peluru yang mengenai sasaran. Karena aku takut tertinggal di dalam penjara lantas perbuatan melanggar kemanusiaan.
Bila kita berbeda, lantas kenapa ancaman menjadi hakim penyelesaiaan? Atau kau menakutiku hilangkan jejakmu? Kau tak bisa hilang dalam garis waktu, kau tak akan lekang oleh kelupaan, kau adalah alasan kenapa aku masih tegak berdiri.
Aku ingin perbedaanmu menambah arti baru untuk menafsirkan gejala alam; gejala patahan pena menusuk harapan besar. Jangan berkutik kalau perbedaan jadi pemangsa membunuh tangan; mematahkan jemariku yang semakin hari diperkaya catatan kusam berdebu.
Ketika kau menghadap ke arah Roma, maka aku sujud berkiblat ke arah Mekkah. Ketika kau menulis tentang dunia kampusmu, aku mengeja bait-bait di jalanan anak kecil meratap. Jadi dekatkan durasi himne lantunanmu pada bahu dan telingaku.
Penyadaran harapan adalah memandang perbedaan sebagai jalan cerita sederhana bermakna. Biar kau dan aku beriring sejalan di atas tirai nyanyian orang gila yang sedang kelaparan.
Kecepatan lajumu tak bisa aku bendung dengan tubuh jelmaanku. Sebab yang hadir mengajakmu bercerita adalah sisi luar dandanan burukku. Yang dalamnya akan aku tunjukan bila beberapa tahapan telah kau lewati.
--- ¤ ¤ ¤ ---
Jika kita berbeda.
Tataplah berirama riang.
Jangan berhenti melalui.
--- ¤ ¤ ¤ ---
Makassar
Minggu, 11 Februari 2018
By: Djik22
Komentar