Selama kubergelut; kumenoleh kiri-kanan; atas bawah. Tak ada yang mendampingi beriring memberi semangat. Bukan pada soal sepasang lawan berbeda kelamin. Tapi aku, kau, dia, dan mereka adalah anak yang dibesarkan; anak yang dididik berbudi membangun diskusi. Ia adalah ayah sekaligus ibu; sumber dasar mengatur sedikit bergeser. Bukan hanya pada teori 'gerak' statis, tapi gerak yang progresif mengakar membudaya.
Kurintihkan hujan meminta leluhur. Kalau saat ini, aku tak punya apa-apa; yang kupunya hanyalah 'bertati menanti' rampas tutupi kelemahan. Kau rayuku dalam wadah pecinta mata; pencium bau keberagaman dialektika sedikit kaku; membiarkan menangis memanggil sambil sembunyi tangan menuduh mengarah. Arah seharusnya jadi kompas, mata tujuan meneropong pada kedalaman berbagi.
Anak tiri di rumah sendiri. Bukankah kita adalah rahim seibu? Yang dibalut dalam slogan bernada. Aku tak mau seperti luka yang ditempel pembalut. Sebab, di luar tampak putih; di dalam penuh darah. Yang tersisa adalah nyeri kesakitan; yang teringat adalah kebiasaan lama; yang jatuh pada 'lubang yang sama' mencekik cengeng.
Maukah kau melepasku menelan godaan pahit? Relakah kau bila aku sendiri berdiri? Tanpa ada kau, dia, dan mereka yang sedikit menyulam bersama. Janganlah pentolan curiga jadi makanan kenyal yang dimuntahkan; terbuat dari daging tikus-tikus lorong.
Jangan cekokin aku pada palu pukulan sepakat salah; jangan kau deraskan air mata jatuh mendongkrak badai. Karena setiap dudukku; saat berdiriku; saat berlantunku selalu kawalkan dalam doa panjatkan meminta restu.
Jika aku terlalu cepat berlayar, maka bantulah aku nyalakan mesin putarkan baling-baling. Biar aku melalang buana atas nama rumah kita. Rumah yang tiangnya mulai keropos; tergores tangan bernoda; meninggalkan bekas tanpa menghilangkan noda-noda berbakteri.
Aku bukan virus jahat; kau bukan kutukan menelan; dia bukan terus disembah tanpa menimbang. Tapi mari mengapit berderet menggaet. Biar kekuatan terus berlaku dalam lingkaran bergema warna. Bukankah setiap warna penuh makna? Bagaimana cara membalas atas budi bekal yang dirihdoi? Laksana arus membawa mimpi hanya sebatas bicara; hanya beragam konsep. Tapi eksekusi berwatak ajar berdobel mulai tertikam ilusi.
Anak malang menjadi piatu. Dalam dada tertekan lembut; aku percaya ada iba berbuat; ada keinginan merubah. Tak maukah bila pola memisahkan kita; strategi yang mencekik leher sambil batuk menanda mengolok.
Selasa, 6 Maret 2018
By: Djik22
Komentar