Langsung ke konten utama

Terkesan Teman dan Mantan (170)


Delapan tahun silam, penggulingan waktu yang sempat digores hilang dari bejana otakku. Meninta seolah memaksa; merayu kaku lantaran wawancara. Tanganmu dan tanganku tak pernah bersalaman secara sengaja. Seperti masa remaja yang dikuasa rasa menggebu membara. Saat itu, penyatuan warna hitam dan putih belum jadi kentara. Hanya sebatas warna yang mengiringi kelakuan benci merajut dendam. Ingatkah nakalku lantaran di bukit depan Puskesmas? Saat olahraga dijadikan permainan yang mahadasyat bergembira.

Lantas aku dianggap teman? Bila belum mengiyakan pergi lalu datang lagi? Atau hanya sang mantan yang kembali kala keadaanmu sedang jomblo. Entahlah, aku yang terlalu percaya pada kesesatan atau dilalui dengan kesalahan ingatan. Ingatkanlah bila aku keliru; tegurlah aku bila terlalu lebay.

Teman rasa mantan ditulisan yang ke seratus tujuh puluh. Dengan sepuluh pertanyaan dipoles memancing. Itu seperti aku mengajak cicipi Jagung Titi makanan budaya kesukaanmu. Soalah, kita terlarut dalam jebakan pertanyaan, sehingga masih kaku mengatur ulang soal jembatan penghubung.

Keberatan ini, sepadan dengan beratnya memilih siapa orang yang paling dicintai. Bukan aku; bukan dia; bukan mantan. Tapi ini tentang sosok yang membawamu keluar, sampai di peradaban masa yang tak kau tatap ratap sang bunda.

Mungkin dengan mudah kau menjawab "Akulah sang mantan atau teman sejawat yang pernah duduk di bangku keramat yang sering kerasukan". Setidaknya perjumpaan menggatasnamakan benci; mewakili buih-buih rasa; dan keinginan yang tak terungkap langsung. Ia hanya kulayangkan kertas putih yang sementara kau baca.

Tiga angka kesukaanmu, yang terhitumg dari terkecil, maka akan berjejer satu keesaan percaya; lima melambangkan jari tanganku yang bergaris sembilan puluh sembilan; sebelas tahun dimana aku menangis melihat dunia baru.

Apakah dirimu sedang sendirian menunggu di perempatan jalan? Yang menghubungkan wilayah timur, barat, dan tengah. Lalu, aku menghela napas; aku tetap memilih di posisi yang tak disebutkan. Biar batasan peletak seperti mengosongkan hatimu.

Maukah bila kau kugoda dengan bermula sambil menatap lautan di pinggir rumahmu? Sebelum mengurai, aku telah menebak kalau kau menolak lalu menjawab "Jadikanlah aku sepasang yang tanpa mengikat; karena mantan tidak akan, sebab tak ada permulaan."

Kini tahun menunjukan angka delapan. Ada kesamaan pengenalan di waktu perputaran episode. Yang lambat kuhitung; yang malu-malu kueja dengan cakaran pena berwarna hitam. Ah... hitam, ternyata warna yang mewakili dirimu; warna yang menandakan kedukaan. Sama seperti kau relakan kepergian bunda berteman ayah.

Atau masih tahan air matamu? Masih kuat tanganmu menuruni garis batas layar kaca? Kukira ada haru yang nobatkan lewat kontak batin dari jarak miliaran yang ditempuh. Seolah aku hadir mengorek; aku hadir mengganggu pikiran bijakmu; memaksamu di sebuah kematian yang tak seharusnya bangkit.

... ¤ ¤ ¤ ...
Bila ada peristilahan mantan,
maka jangan lekatkan pada hidup.
Sebab aku bukanlah pasangan kekasih.
Tapi akulah teman sejawat.
Dan sekali lagi teman.
... ¤ ¤ ¤ ...

Makassar
Selasa, 13 Maret 2018
By: Djik22
13. 08

Komentar

Populer

FILOSOFI DAUN PISANG

Harapan dan mimpi dari setiap kepala tidak semua terpenuhi dengan usaha dan praktik. Tapi masih membutuhkan untuk saling dekat dan merespon segala polomik. Di masa yang akhir ini, perutmu telah melahirkan bayi yang masih merangkak dipaksa berjalan di kerikil jalan persimpangan. Dari rawat dan buaian, telah membuka mata batin, mengevaluasi adalah jalan yang tepat. Karena kurangnya menilai dari setiap sisi. Sehingga lahir dua persimpangan kiri kanan jalan. Mata telah terang, langkah sudah tepat, bersama sudah terpupuk, kesadaran mulai bangkit. Berdiri dan bergerak. Saatnya cahaya jadi penerang. Titipan amanah 20 21 11 14 jadi bahan belajar bersama. Filosofi "Daun Pisang dan Bidikan Panah yang Tepat" telah ditemui jawaban dan makna yang dalam. Dia bukan sekedar kata, tapi dialah nyawa setiap yang di dalam. Makassar, April 2017 By: Djik22

TOGAKU TAK IBU SAKSIKAN

Perjuanganmu ibu Mengantarkanku meraih mimpi Mataku lembab berhari-hari Setiap saat mengingat ibu Harapan ibu Aku tetap kuat Aku tetap melaju Tapi ibu Saat bahagiaku Takku tatap lagi ibu Wajah bersinar hadir dalam mimpiku Kala itu ibu Ibu Toga dan pakian kebahagiaanku Semua untuk ibu Togaku tak ibu saksikan Karena ibu telah tiada Yakinku ibu senyum melihatnya Tetap tersenyum di sisiku ibu Dua puluh tiga November dua ribu tiga belas Dua kali dengan angka tiga Ibu telah berbaring bergegas Makassar Minggu, 1 Oktober 2017 By: Djik22

PERLUKAH JEMBATAN PALMERAH?

Sedikit menggelitik, ketika wacana pembangunan jembatan Palmerah. Wacana ini, hadir di beberapa tahun terakir. Di tahun 2017, tidak kala seksi pendiskusian jembatan Palmerah. Maka muncullah pro dan kontra. Padahal merefleksikan wacana ini sangat penting. Kenapa Wacananya Jembatan Palmerah? Mari kita menganalisa secara seksama. Pertama, jembatan Palmerah adalah sejarah pertama di Indonesia bila terbangun. Karena menyambungkan dua pulau, yaitu Pulau Adonara dan Pulau Flores (Larantuka). Jarak jembatan Palmerah dengan panjang bentangan 800 meter akan dipasang turbin 400 meter. Kedua, persoalan proses pembangunan jembatan Palmerah dibutuhkan dana tidak sedikit. Diperkirakan dana mencapai Rp. 51 triliun. Hal ini, perlu dipikirkan. Karena Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi NTT pada tahun 2016 hanya mencapai Rp. 3,8 triliun. Sama halnya pemerintah mengajak kita mengutang dengan investor (swasta). Ketiga, jembatan Palmerah bukan proses meninabobokan masyarakat Flores Timur

ADONARA DALAM PUISI

Petuah kata sejarah Masih temani kaki untuk melangkah Dalam bayang-bayang ibu kuatkan hari Dalam jelmaan ayah pancarkan cahaya hati Hingga tebal awan kota Ingatkan suasan desa Dihimpit berdiri megahnya Ile Boleng Didekatkan Bukit Seburi tanah kampung Karena kitalah gunung yang berdiri Karena kitalah bukit yang menyapa Membawa bisikan bahari Ketika menghadap ke arah pantai Sampai kata dan petuah terus mengikut Wariskan api dari generasi ke generasi Tentang pentingnya menjaga kata Tentang indahnya memakai tenun ikat Maka... Tak kulupakan petuah indah dan keramat Tak kuingkari segala kata-kata bernyawa Di atas alam ditaburi darah dan air mata Karena air mata Bukan hanya tentang tangisan Bukan hanya tentang derita tanpa rasa Namun air mata darah tanda perjuangan Maka... Untuk mengingatmu yang di gunung Untuk mengenangmu yang di pantai Aku mengisi kata-kata lewat puisi Karena darah dan bisikan kata terus diasa Biar perang telah terganti buka dan pena

ANTARA (576)

Sering ada perbandingan pada kata 'antara' ketika diapit oleh kalimat. Antara kau dan aku ternyata banyak perbedaan, antara kau dan dia memiliki banyak kesamaan. Antara pacar dan mantan adalah orang yang pernah berlabu dan sementara bertahan. Baik terkandas di tengah jalan, mau pun mampu melewati batas getir yang melampau kesabaran. Namun, pada kata 'antara' seolah jadi misteri yang tersembunyi. Serupa kolom kosong yang disembunyikan dengan untain doa. Lalu, dipercaya menjadi sebuah legenda atau mitos. Bagaimana sesuatu yang dipercaya tapi tak pernah diinderai? Apakah setan yang berpenampilan putih pada malam Jumat hanya menakut-nakuti? Kemudian muncul pertanyaan, siapa yang menjahit pakian putih yang dipakai setan? Ulasan ini, aku dapati saat duduk di bangku SD. Sang guru selalu menakut-nakuti pada setiap siswa. Bahwa malam Jumat selalu ada tanda ketika melewati tempat-tempat gelap. Saat itu, aku dan kawan-kawan sebayaku selalu percaya. Namun, batang hidung p

KARYAMU TETAP MEMIKAT

Foto: Abdul Rahim (Khalifah05) Ketika doa-doa Telah kau panjat Dengan lemah-lembut Pada Tuhan Yang Esa Tak lupa pula Pintamu Pada para pendahulu Dengan merinding bulu-bulu Begitu dalam penghayatan Bersama angin Bersama waktu Bercampur masa lalu Maka... Yakin pun mendalam Tak secuil akan buram Tampak pada kaca belaka Namun ia selalu melekat Selalu mempererat Antara roh dan jasat Hingga karyamu tetap memikat Makassar Jumat, 21 September 2018 By: Djik22

PEMUDA SAHABAT PERUBAHAN (397)

Indonesia adalah negara yang terdiri dari ragam perbedaan. Baik suku, ras agama, budaya, dan corak berpikir. Inilah bagian kekhasan dari bangsa ini. Dengan kekhasan tersebut, maka tak heran bangsa Indonesia dikenal dengan kemajemukan dan menjujung tinggi perbedaan. Sebab perbedaan adalah varian dari semangat menuju persatuan. Belum lagi menerobos batas wilayah yang terdiri dari beberapa provinsi. Perlu kita menelisik lebih jauh lagi tentang bagaimana membangun tatanan bangsa. Supaya mampu keluar dari zona ketertinggalan. Ternyata, ketertinggalan adalah salah satu masalah dari apa yang dirasakan setelah revolusi Indonesia didengungkan. Walau merdeka secara pengakuan sudah memhudata sampai ke telinga anak cucu. Tapi pertanyaan besar yang harus dijawab, Kenapa merdeka secara praktik/ penerapan jauh panggang dari api? Ketika secara penerapan dalam kehidupan berbangsa mulai melenceng dengan dasar negara, maka harus kembali mengamalkan nilai-nilai kebaikan yang telah diletakan oleh