Delapan tahun silam, penggulingan waktu yang sempat digores hilang dari bejana otakku. Meninta seolah memaksa; merayu kaku lantaran wawancara. Tanganmu dan tanganku tak pernah bersalaman secara sengaja. Seperti masa remaja yang dikuasa rasa menggebu membara. Saat itu, penyatuan warna hitam dan putih belum jadi kentara. Hanya sebatas warna yang mengiringi kelakuan benci merajut dendam. Ingatkah nakalku lantaran di bukit depan Puskesmas? Saat olahraga dijadikan permainan yang mahadasyat bergembira.
Lantas aku dianggap teman? Bila belum mengiyakan pergi lalu datang lagi? Atau hanya sang mantan yang kembali kala keadaanmu sedang jomblo. Entahlah, aku yang terlalu percaya pada kesesatan atau dilalui dengan kesalahan ingatan. Ingatkanlah bila aku keliru; tegurlah aku bila terlalu lebay.
Teman rasa mantan ditulisan yang ke seratus tujuh puluh. Dengan sepuluh pertanyaan dipoles memancing. Itu seperti aku mengajak cicipi Jagung Titi makanan budaya kesukaanmu. Soalah, kita terlarut dalam jebakan pertanyaan, sehingga masih kaku mengatur ulang soal jembatan penghubung.
Keberatan ini, sepadan dengan beratnya memilih siapa orang yang paling dicintai. Bukan aku; bukan dia; bukan mantan. Tapi ini tentang sosok yang membawamu keluar, sampai di peradaban masa yang tak kau tatap ratap sang bunda.
Mungkin dengan mudah kau menjawab "Akulah sang mantan atau teman sejawat yang pernah duduk di bangku keramat yang sering kerasukan". Setidaknya perjumpaan menggatasnamakan benci; mewakili buih-buih rasa; dan keinginan yang tak terungkap langsung. Ia hanya kulayangkan kertas putih yang sementara kau baca.
Tiga angka kesukaanmu, yang terhitumg dari terkecil, maka akan berjejer satu keesaan percaya; lima melambangkan jari tanganku yang bergaris sembilan puluh sembilan; sebelas tahun dimana aku menangis melihat dunia baru.
Apakah dirimu sedang sendirian menunggu di perempatan jalan? Yang menghubungkan wilayah timur, barat, dan tengah. Lalu, aku menghela napas; aku tetap memilih di posisi yang tak disebutkan. Biar batasan peletak seperti mengosongkan hatimu.
Maukah bila kau kugoda dengan bermula sambil menatap lautan di pinggir rumahmu? Sebelum mengurai, aku telah menebak kalau kau menolak lalu menjawab "Jadikanlah aku sepasang yang tanpa mengikat; karena mantan tidak akan, sebab tak ada permulaan."
Kini tahun menunjukan angka delapan. Ada kesamaan pengenalan di waktu perputaran episode. Yang lambat kuhitung; yang malu-malu kueja dengan cakaran pena berwarna hitam. Ah... hitam, ternyata warna yang mewakili dirimu; warna yang menandakan kedukaan. Sama seperti kau relakan kepergian bunda berteman ayah.
Atau masih tahan air matamu? Masih kuat tanganmu menuruni garis batas layar kaca? Kukira ada haru yang nobatkan lewat kontak batin dari jarak miliaran yang ditempuh. Seolah aku hadir mengorek; aku hadir mengganggu pikiran bijakmu; memaksamu di sebuah kematian yang tak seharusnya bangkit.
Selasa, 13 Maret 2018
By: Djik22
13. 08
Komentar