Langsung ke konten utama

Yang Tak Terungkap (206)


Aku yang sedang diserang gelombang rasa, terobang-ambing di batas bantingkan diri. Seolah tak ada keadilan atas pengakuan yang jujur: pengakuan yang dibalut emosi sedikit main-main. Aku kira, tak ada yang sedang bermain 'petak-umpet', tapi nyatanya pengelakan menimpa tanpa ditimang. Sehingga kau dan aku terlihat sedang buai dalam alam romantika.

Kenapa kau hadir membawa penyakit? Di mana aku mencari obat? Biar sakit ini cepat sembuh. Tapi tak ada yang bisa menunjuk arah; tak ada yang mencampuri urusan malam dihabiskan pagi. Seperti mata lain memandang, kalau kau dan aku lagi menjalin secercah magnet di lingkaran segi tiga.

Badai itu, tak mampu kubendung; tak sanggup kuhelai untuk pergi bersembunyi. Sepertinya kau curiga dalam-dalam. Kalau kau dan aku sedang dikejar oleh denyut nadi yang menggebu; diburuh oleh patahan kata; didampingi oleh perbuatan.

Kenapa semua tak kau elakan? Padahal, tak ada ikatan dan ikrar yang pasti. Aku ingin kejujuran, tapi kau beri dengan candaan. Aku berharap banyak terbuka, tapi kau menjadi tokoh setia mendengar segala keluhku. Tak bosankah dirimu berkurung? Lantas kau terus berdiam tak berkutik? Oh... tega dirimu, andaikan kau di posisiku, maka telah lama rasa sembilu tertusuk rahasia yang dinamai 'sebatang-kara perasaan'.

Bukankah sudah begitu lama kau temukan aku di dua tahun lalu? Ingatkah kau bila dua kali berkala kau memberi ungkap? Atau kau pura-pura tuli dan seolah pikun. Semoga saja, tak ada sengaja; tak ada yang bermain menitip berat. Ingatanku masih kuat; aku tak mudah lupa seperti para pemberi janji yang sedang berkempanye. Sebab aku lebih baik mati ketimbang tak penuhi dan lupa pada janji.

Bila ini tahun politik, maka izinkanlah aku berperan jadi tim sukses yang memenangkan kandidat di barisanmu. Biar aku duduk setara denganmu di sebuah jabatan murni tanpa noda; menikmati kursi empuk bergaris kuning tapi tak cemburu. Lalu kau dan aku membawa semua beban tanpa menyerah. Tapi kau dan aku selalu bahagia melalui hari. Atau kau terus menyiksaku dengan rela berkorban?

Ketika waktu tak bisa diputar mundur, maka izinkanlah aku memutar ingatan; iyakan restumu biar aku mengenang atas baikmu dan membuang jahatmu. Tapi aku terlalu diputar, hingga kepalaku seolah pusing sambil berbisik dalam hati "Apa yang ingin kau capai bila pernah kau tanam niat jahat?"

Padahal, aku tahu akan dusta; aku tahu akan pahit bergetir. Tapi tak bisa aku pergi darimu. Seolah kaulah pemberi paling nyaman; pendengar setia tak pernah bosan. Lalu, kenapa kau terus mau mendengar cerewetku? Bukankah kau sempat ingin melupakanku satu tahun yang lalu ketiga berada di tanah lahirmu?

Dan kini, kau datang lagi. Banyak hal yang kugali dari dasar tanah untuk bendung menahan cobaan. Lantaran sakit bila tak diungkap; lantaran galau bila dibiarkan. Terus kapan kita terbuka seolah bayi yang baru lahir tak bisa bicara lancar? Sayangnya, kita sudah diusia yang matang; di batas umur yang telah menamatkan studi.

Kau dan aku dilahirkan sebagai manusia yang normal. Pasangan tapi memiliki takdir yang berbeda. Seperti aku menentukan pilihan untuk menjadi tenaga pengajar yang baik di sebuah sekolah. Lalu kau rela antarkan diriku sambil pulang-pergi tanpa mengeluh. Yakinkah kau juga memiliki rasa berbeda? Atau aku yang terlalu merasa dengan detak jantung dan coleteh bibirmu sambil menciumku? Atau kau sengaja menikmati tanpa mengungkapkan sesuai inginku?

... ¤ ¤ ¤ ...
Bila tak ada pengakuan,
maka jangan lagi menunjukku,
dengan bukti sikap.
Sebab semakin kau ikuti mauku,
maka kenyamanan tak akan
pergi tinggalkan diriku
... ¤ ¤ ¤ ...

Makassar
Senin, 26 Maret 2018
By: Djik22

Komentar

Populer

FILOSOFI DAUN PISANG

Harapan dan mimpi dari setiap kepala tidak semua terpenuhi dengan usaha dan praktik. Tapi masih membutuhkan untuk saling dekat dan merespon segala polomik. Di masa yang akhir ini, perutmu telah melahirkan bayi yang masih merangkak dipaksa berjalan di kerikil jalan persimpangan. Dari rawat dan buaian, telah membuka mata batin, mengevaluasi adalah jalan yang tepat. Karena kurangnya menilai dari setiap sisi. Sehingga lahir dua persimpangan kiri kanan jalan. Mata telah terang, langkah sudah tepat, bersama sudah terpupuk, kesadaran mulai bangkit. Berdiri dan bergerak. Saatnya cahaya jadi penerang. Titipan amanah 20 21 11 14 jadi bahan belajar bersama. Filosofi "Daun Pisang dan Bidikan Panah yang Tepat" telah ditemui jawaban dan makna yang dalam. Dia bukan sekedar kata, tapi dialah nyawa setiap yang di dalam. Makassar, April 2017 By: Djik22

TOGAKU TAK IBU SAKSIKAN

Perjuanganmu ibu Mengantarkanku meraih mimpi Mataku lembab berhari-hari Setiap saat mengingat ibu Harapan ibu Aku tetap kuat Aku tetap melaju Tapi ibu Saat bahagiaku Takku tatap lagi ibu Wajah bersinar hadir dalam mimpiku Kala itu ibu Ibu Toga dan pakian kebahagiaanku Semua untuk ibu Togaku tak ibu saksikan Karena ibu telah tiada Yakinku ibu senyum melihatnya Tetap tersenyum di sisiku ibu Dua puluh tiga November dua ribu tiga belas Dua kali dengan angka tiga Ibu telah berbaring bergegas Makassar Minggu, 1 Oktober 2017 By: Djik22

PERLUKAH JEMBATAN PALMERAH?

Sedikit menggelitik, ketika wacana pembangunan jembatan Palmerah. Wacana ini, hadir di beberapa tahun terakir. Di tahun 2017, tidak kala seksi pendiskusian jembatan Palmerah. Maka muncullah pro dan kontra. Padahal merefleksikan wacana ini sangat penting. Kenapa Wacananya Jembatan Palmerah? Mari kita menganalisa secara seksama. Pertama, jembatan Palmerah adalah sejarah pertama di Indonesia bila terbangun. Karena menyambungkan dua pulau, yaitu Pulau Adonara dan Pulau Flores (Larantuka). Jarak jembatan Palmerah dengan panjang bentangan 800 meter akan dipasang turbin 400 meter. Kedua, persoalan proses pembangunan jembatan Palmerah dibutuhkan dana tidak sedikit. Diperkirakan dana mencapai Rp. 51 triliun. Hal ini, perlu dipikirkan. Karena Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi NTT pada tahun 2016 hanya mencapai Rp. 3,8 triliun. Sama halnya pemerintah mengajak kita mengutang dengan investor (swasta). Ketiga, jembatan Palmerah bukan proses meninabobokan masyarakat Flores Timur

ADONARA DALAM PUISI

Petuah kata sejarah Masih temani kaki untuk melangkah Dalam bayang-bayang ibu kuatkan hari Dalam jelmaan ayah pancarkan cahaya hati Hingga tebal awan kota Ingatkan suasan desa Dihimpit berdiri megahnya Ile Boleng Didekatkan Bukit Seburi tanah kampung Karena kitalah gunung yang berdiri Karena kitalah bukit yang menyapa Membawa bisikan bahari Ketika menghadap ke arah pantai Sampai kata dan petuah terus mengikut Wariskan api dari generasi ke generasi Tentang pentingnya menjaga kata Tentang indahnya memakai tenun ikat Maka... Tak kulupakan petuah indah dan keramat Tak kuingkari segala kata-kata bernyawa Di atas alam ditaburi darah dan air mata Karena air mata Bukan hanya tentang tangisan Bukan hanya tentang derita tanpa rasa Namun air mata darah tanda perjuangan Maka... Untuk mengingatmu yang di gunung Untuk mengenangmu yang di pantai Aku mengisi kata-kata lewat puisi Karena darah dan bisikan kata terus diasa Biar perang telah terganti buka dan pena

ANTARA (576)

Sering ada perbandingan pada kata 'antara' ketika diapit oleh kalimat. Antara kau dan aku ternyata banyak perbedaan, antara kau dan dia memiliki banyak kesamaan. Antara pacar dan mantan adalah orang yang pernah berlabu dan sementara bertahan. Baik terkandas di tengah jalan, mau pun mampu melewati batas getir yang melampau kesabaran. Namun, pada kata 'antara' seolah jadi misteri yang tersembunyi. Serupa kolom kosong yang disembunyikan dengan untain doa. Lalu, dipercaya menjadi sebuah legenda atau mitos. Bagaimana sesuatu yang dipercaya tapi tak pernah diinderai? Apakah setan yang berpenampilan putih pada malam Jumat hanya menakut-nakuti? Kemudian muncul pertanyaan, siapa yang menjahit pakian putih yang dipakai setan? Ulasan ini, aku dapati saat duduk di bangku SD. Sang guru selalu menakut-nakuti pada setiap siswa. Bahwa malam Jumat selalu ada tanda ketika melewati tempat-tempat gelap. Saat itu, aku dan kawan-kawan sebayaku selalu percaya. Namun, batang hidung p

KARYAMU TETAP MEMIKAT

Foto: Abdul Rahim (Khalifah05) Ketika doa-doa Telah kau panjat Dengan lemah-lembut Pada Tuhan Yang Esa Tak lupa pula Pintamu Pada para pendahulu Dengan merinding bulu-bulu Begitu dalam penghayatan Bersama angin Bersama waktu Bercampur masa lalu Maka... Yakin pun mendalam Tak secuil akan buram Tampak pada kaca belaka Namun ia selalu melekat Selalu mempererat Antara roh dan jasat Hingga karyamu tetap memikat Makassar Jumat, 21 September 2018 By: Djik22

PEMUDA SAHABAT PERUBAHAN (397)

Indonesia adalah negara yang terdiri dari ragam perbedaan. Baik suku, ras agama, budaya, dan corak berpikir. Inilah bagian kekhasan dari bangsa ini. Dengan kekhasan tersebut, maka tak heran bangsa Indonesia dikenal dengan kemajemukan dan menjujung tinggi perbedaan. Sebab perbedaan adalah varian dari semangat menuju persatuan. Belum lagi menerobos batas wilayah yang terdiri dari beberapa provinsi. Perlu kita menelisik lebih jauh lagi tentang bagaimana membangun tatanan bangsa. Supaya mampu keluar dari zona ketertinggalan. Ternyata, ketertinggalan adalah salah satu masalah dari apa yang dirasakan setelah revolusi Indonesia didengungkan. Walau merdeka secara pengakuan sudah memhudata sampai ke telinga anak cucu. Tapi pertanyaan besar yang harus dijawab, Kenapa merdeka secara praktik/ penerapan jauh panggang dari api? Ketika secara penerapan dalam kehidupan berbangsa mulai melenceng dengan dasar negara, maka harus kembali mengamalkan nilai-nilai kebaikan yang telah diletakan oleh