Aku yang sedang diserang gelombang rasa, terobang-ambing di batas bantingkan diri. Seolah tak ada keadilan atas pengakuan yang jujur: pengakuan yang dibalut emosi sedikit main-main. Aku kira, tak ada yang sedang bermain 'petak-umpet', tapi nyatanya pengelakan menimpa tanpa ditimang. Sehingga kau dan aku terlihat sedang buai dalam alam romantika.
Kenapa kau hadir membawa penyakit? Di mana aku mencari obat? Biar sakit ini cepat sembuh. Tapi tak ada yang bisa menunjuk arah; tak ada yang mencampuri urusan malam dihabiskan pagi. Seperti mata lain memandang, kalau kau dan aku lagi menjalin secercah magnet di lingkaran segi tiga.
Badai itu, tak mampu kubendung; tak sanggup kuhelai untuk pergi bersembunyi. Sepertinya kau curiga dalam-dalam. Kalau kau dan aku sedang dikejar oleh denyut nadi yang menggebu; diburuh oleh patahan kata; didampingi oleh perbuatan.
Kenapa semua tak kau elakan? Padahal, tak ada ikatan dan ikrar yang pasti. Aku ingin kejujuran, tapi kau beri dengan candaan. Aku berharap banyak terbuka, tapi kau menjadi tokoh setia mendengar segala keluhku. Tak bosankah dirimu berkurung? Lantas kau terus berdiam tak berkutik? Oh... tega dirimu, andaikan kau di posisiku, maka telah lama rasa sembilu tertusuk rahasia yang dinamai 'sebatang-kara perasaan'.
Bukankah sudah begitu lama kau temukan aku di dua tahun lalu? Ingatkah kau bila dua kali berkala kau memberi ungkap? Atau kau pura-pura tuli dan seolah pikun. Semoga saja, tak ada sengaja; tak ada yang bermain menitip berat. Ingatanku masih kuat; aku tak mudah lupa seperti para pemberi janji yang sedang berkempanye. Sebab aku lebih baik mati ketimbang tak penuhi dan lupa pada janji.
Bila ini tahun politik, maka izinkanlah aku berperan jadi tim sukses yang memenangkan kandidat di barisanmu. Biar aku duduk setara denganmu di sebuah jabatan murni tanpa noda; menikmati kursi empuk bergaris kuning tapi tak cemburu. Lalu kau dan aku membawa semua beban tanpa menyerah. Tapi kau dan aku selalu bahagia melalui hari. Atau kau terus menyiksaku dengan rela berkorban?
Ketika waktu tak bisa diputar mundur, maka izinkanlah aku memutar ingatan; iyakan restumu biar aku mengenang atas baikmu dan membuang jahatmu. Tapi aku terlalu diputar, hingga kepalaku seolah pusing sambil berbisik dalam hati "Apa yang ingin kau capai bila pernah kau tanam niat jahat?"
Padahal, aku tahu akan dusta; aku tahu akan pahit bergetir. Tapi tak bisa aku pergi darimu. Seolah kaulah pemberi paling nyaman; pendengar setia tak pernah bosan. Lalu, kenapa kau terus mau mendengar cerewetku? Bukankah kau sempat ingin melupakanku satu tahun yang lalu ketiga berada di tanah lahirmu?
Dan kini, kau datang lagi. Banyak hal yang kugali dari dasar tanah untuk bendung menahan cobaan. Lantaran sakit bila tak diungkap; lantaran galau bila dibiarkan. Terus kapan kita terbuka seolah bayi yang baru lahir tak bisa bicara lancar? Sayangnya, kita sudah diusia yang matang; di batas umur yang telah menamatkan studi.
Kau dan aku dilahirkan sebagai manusia yang normal. Pasangan tapi memiliki takdir yang berbeda. Seperti aku menentukan pilihan untuk menjadi tenaga pengajar yang baik di sebuah sekolah. Lalu kau rela antarkan diriku sambil pulang-pergi tanpa mengeluh. Yakinkah kau juga memiliki rasa berbeda? Atau aku yang terlalu merasa dengan detak jantung dan coleteh bibirmu sambil menciumku? Atau kau sengaja menikmati tanpa mengungkapkan sesuai inginku?
Makassar
Senin, 26 Maret 2018
By: Djik22
Komentar