#Part 01
Jangan tanyakan kenapa aku berubah. Kemana harus pergi berlindung. Seolah semua jalan sudah tertutup lantaran percaya. Lagian percaya, tak sesuai gambaran keadaan yang gelap di pelataran rumah kayu. Yang dicat berbagai warna dipadukan menawan. Ada hitam, merah, putih, dan masih banyak lagi campuran. Dipoleskan pada dinding-dinding sebagai seni bercampur mitos bacaan kepercayaan.
Tiba-tiba, datang sebuah badai yang sulit dilupakan bersamaan datang orang dari belakang menempuk pundakku.
"Kenapa mengelamun?"
Jawabku "Aku tak mengelamun." sambil menoleh ke arah sumber suara.
Ternyata yang datang adalah kenalan baikku. Usianya tak jauh beda denganku. Dia berusia 21 tahun, yang biasa dipanggil Raka.
Raka adalah anak anggota DPRD dari kota kelahiranku. Kebetulan kami sama-sama berdomisili untuk melanjutkan pendidikan tinggi di kota yang sama. Tapi berbeda kampus dan jurusan. Raka orang yang pengertian dan punya banyak cara menenangkan hati. Banyak kelebihan yang ia miliki, sehingga tak heran Raka selalu dimintai bantuan oleh kawan-kawannya.
Saat itu, aku dan Raka masih duduk di pelataran depan rumah. Yang dihiasi dengan keresahan kota dan pemandangan sedikit kumuh dengan bau-bau sampah yang mengganggu pernapasan. Beruntung, tempat kontrakanku di lantai dua.
Dengan sikap yang gugup, aku beranikan diri untuk bertanya sosok periang di depan mataku.
"Raka mau minum apa?"
Jawabnya malu-malu sambil garuk kepala "Em... apa ya? Eh... Kopi hitam saja".
Sambil dahi Raka sedikit keringat. Entah kaget dengan pertanyaanku atau memang sudah jadi pembawaannya sejak lahir.
Aku pamit sebentar ke Raka untuk memutarkan kopi. Tapi, aku lupa menanyakan takaran seperti apa, sehingga sesuai keinginan Raka. Di sini, muncul tebakan dan analisa subjektif. Kalau orang seperti Raka, harus meminum kopi sedikit manis tapi tak terlalu pahit.
Sekitar setengah jam, aku bergegas untuk menghidangkan kopi dan cemilan di meja tamu. Sambil berkata kepada Raka "Jangan malu-malu, anggap saja ini rumahmu". Raka pun memberi senyuman sedikit muncul gigi taring putih menawan menggoda hati di kebingungan rasa.
Raka mulai membuka cerita sedikit merapikan baju kameja coklat dan memperbaiki posisi dudukunya. Tapi, ada sedikit pancaran pucat di wajahnya. Sehingga Raka langsung menarik napas dan berkata.
"Sebenarnya saya mau bilang, kalau...!!!
Aku menikmati mimiknya dan sambil menunggu kelanjutan kata-kata yang belum diungkapkan.
Ternyata dia hanya menarik perhatian untuk memikat hatiku. Dengan sontak dan keberanian diri, aku berkata.
"Sebenarnya Raka mau bilang apa?"
Tapi Raka malah tak memberi jawaban sedikitpun.
Kondisi sore itu, mulai ramai dengan mainan-mainan. Anak-anak yang berumur sekitar 7 tahun menikmati pertandingan bola kaki di dalam lorong dan dijagai oleh orang tua mereka. Lalu-lalang sepeda-motor para penjual sedikit mengganggu permainan anak-anak kecil itu.
Aku dan Raka pun mengalihkan perhatian pada permainan yang sedang mereka lakukan. Seolah masa kecil ini yang sudah pernah aku alami di 14 tahun yang lalu bersama teman-teman mainku masa kecil.
Tak lama kemudian, Raka meminta pamit.
"Dil, saya pulang dulu ya?"
Soalnya sudah janjian sama kawan-kawan untuk agenda diskusi.
Raka pun menjabat tanganku sambil mengucapkan.
"Assalamualikum..."
Aku menjawab.
"Waalaikumsalam... hati-hati ya? Banyak anak-anak yang main di sepanjang lorong." Sambil mengunci pintu pagar.
Tangan ini, merasakan kehangatan sambil menatap kepergiannya. Tangan yang begitu halus seperti anak rumahan yang jarang kerja. Tapi setahuku, Raka adalah anak yang baik dan rajin bekerja.
Aku tak pernah merasakan hal terkesan seperti yang telah lewat. Karena ketika sebelum masuk kuliah. Aku habiskan waktuku di perpustakaan milik ayah. Banyak ribuan buku yang berjejer dan tersusun rapi. Mulai dari buku biografi para tokoh dunia, politik, ekonomi, kesehatan, pendidikan, filsafat, dan masih banyak lagi.
Membaca adalah agenda rutin yang diatur dalam rumah tangga. Sebab ayahku seorang Politisi dan ibuku seorang kepala sekolah di Sekolah Menengah Kejuruan. Setiap pulang sekolah pukul 13.00. aku masuk dalam perpustakaan dan keluar setelah menjelang sholat Magrib.
Sebelum azan, biasa ibu mengetuk pintu.
"Dil... Ayo mandi dulu...!!! sudah mau azan.
"Iya bu..!!! Sisa dua paragraf lagi bu. Nanggung kalau tidak dihabiskan".
Aku dan ibu pergi sholat berjamaah di masjid. Sepanjang jalan, aku menundukan kepala untuk menjaga, biar wudhuku tidak batal.
Aku adalah anak pertama dari dua bersaudara. Nama lengkapku Faradillah Abdul Malik. Yang biasa disapa dengan "Dillah". Umurku 20 tahun sama dengan Raka. Banyak kesamaan antara aku dengan Raka. Tapi, yang menjadi pembeda adalah Raka seorang lelaki dan aku adalah perempuan.
Ketika aku masuk di dalam kamar kontrakanku. Hpku berdering memberi kode, kalau ada chatt yang masuk. Tak sabar mendekati Hp dan membuka. Ada chatt WA dari kontak baru menyapaku
"Assalamualaikum... Bagaimana keadaanmu hari ini Dil?"
Lanjutan dari chatt itu...
"Besok kalau tidak sibuk, gabung sama kawan-kawanku, kita diskusi di sekretariat organisasi kami"
Kebetulan besok hari Sabtu dan tak ada aktivitas yang aku agendakan.
Tanpa nama sebagai identitas. Aku jadi penasaran. Tapi alamat yang tertera pada tempat tersebut, tak asing lagi. Sebab ketika pulang kampus, aku melihat banyak orang-orang berkunjung dan keluar-masuk. Ternyata inilah tempat yang biasa dijadikan tongkrongan para aktivis untuk pertemuan dan diskusi.
Walaupun aku mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, tapi aku lebih tertarik dengan dunia gerakan. Tapi gerakan yang murni dan berjuang bersama rakyat. Bukan gerakan yang ditunggangi atau dibayar. Aku berucap dalam hati "Inilah cita-cita, inilah yang aku cari-cari, dan keinginan yang iklas untuk bergabung" Gumamku dalam hati.
Aku tak akan mengabari ayah dan ibuku. Karena mereka pasti akan marah. Apalagi ibu seorang pendidik pasti selalu berpesan "Nak, jangan telibat dalam organisasi gerakan. Karena akan menghambat kuliahmu" Pesan ibu suatu ketika. Tapi itu adalah logika alamiah yang dipakai oleh ibuku. Karena sepengetahuanku, tak ada satu orang hebat pun tanpa melibatkan diri lewat diskusi dan organisasi.
Aku pun mempersiapkan diri untuk menghadiri undangan diskusi melalui pesan chatt kemarin. Sesuai undangan, maka diskusi dimulai pukul 15.00-selesai. Dengan agenda diskusi 'Ekonomi-Politik'. Ini adalah materi yang tak diajarkan di dunia perguruan tinggi yang mengupas tuntas. Karena dalam tuntutan yayasan selalu menekan untuk tak membuka kedok. Biar dalam tiap mata kuliah.
Tiba di sekretariat yang terletak di Suka Mulya VI, aku berjabat tangan ke semua kawan-kawan baru yang berjumlah lebih dari 30 orang. Mataku tertuju pada sosok lelaki yang duduk di samping papan tulis sambil menekan androidnya. Ternyata dia adalah Raka.
Giliran mendekati Raka, aku ingin bertanya, tapi malu-malu. Karena banyak kawan-kawannya di sekelilingku. Walaupun nanti akan tetap jadi kawan juangku. Apalagi banyak juga perempuan yang hadir di diskusi ini. Pasti mereka akan selalu jadi teman sekaligus kawan terbaik.
Diskusi pun dimulai, moderator (Aldy namanya yang kuketahui kemudian hari) membuka diskusi sambil membacakan fasilitator (pemateri) Ekonomi-Politik yang akan dibawakan oleh kawan Raka Abdillah Aziz.
Ternyaa tak salah kata orang. Kalau Raka adalah sosok lelaki yang dikagumi dan berkarismatik. Bagaimana tidak, beliau mampu menjadi seorang penengah dan kawan diskusi bersama kawan-kawan seperjuangannya. Termasuk aku di dalamnya.
Di sini, aku memaknai hidup. Kalau kesendirian itu tak semestinya berlarut-larut. Karena di kala meninggalkan orang yang kita sayangi, setidaknya banyak pengelaman baru dan masalah datang menyapa di depan mata. Sebagai kesyukuran hari-hari sebelumnya kesendirianku. Mampu aku bertemu dengan sosok Raka yang membawaku keluar dari ingatan masa laluku. Sebab tidak, maka aku akan menjadi sosok yang selalu mengikuti aturan keluargaku yang membatasi ruang gerakku untuk berorganisasi.
Sebab, perubahan itu bukan hanya dimulai dengan bekerja sendiri-sendiri. Tapi masalah akan mudah diselesaikan bila dikerjakan berasama-sama. Apalagi, perkumpulan (organisasi) yang membicarakan perubahan besar, yaitu bangsa dan negara.
Jikalau aku bersikukuh dengan jabatan orang tuaku, maka kemungkinan aku akan terlibat dalam kompromi yang maha berang lewat politik pragmatik. Karena ketika di usiaku yang sudah dewasa tapi masih jomblo, aku tak pernah bersikap santai dan jadi anak cengeng. Aku ingin menjadi perempuan yang berjuang, perempuan yang berdiri di garis depan, dan perempuan yang mampu berbicara kemudian dilaksankan dengan praktik yang berkali-kali.
Makassar
Jumat, 30 Maret 2018
By: Djik22
Tiba-tiba, datang sebuah badai yang sulit dilupakan bersamaan datang orang dari belakang menempuk pundakku.
"Kenapa mengelamun?"
Jawabku "Aku tak mengelamun." sambil menoleh ke arah sumber suara.
Ternyata yang datang adalah kenalan baikku. Usianya tak jauh beda denganku. Dia berusia 21 tahun, yang biasa dipanggil Raka.
Raka adalah anak anggota DPRD dari kota kelahiranku. Kebetulan kami sama-sama berdomisili untuk melanjutkan pendidikan tinggi di kota yang sama. Tapi berbeda kampus dan jurusan. Raka orang yang pengertian dan punya banyak cara menenangkan hati. Banyak kelebihan yang ia miliki, sehingga tak heran Raka selalu dimintai bantuan oleh kawan-kawannya.
Saat itu, aku dan Raka masih duduk di pelataran depan rumah. Yang dihiasi dengan keresahan kota dan pemandangan sedikit kumuh dengan bau-bau sampah yang mengganggu pernapasan. Beruntung, tempat kontrakanku di lantai dua.
Dengan sikap yang gugup, aku beranikan diri untuk bertanya sosok periang di depan mataku.
"Raka mau minum apa?"
Jawabnya malu-malu sambil garuk kepala "Em... apa ya? Eh... Kopi hitam saja".
Sambil dahi Raka sedikit keringat. Entah kaget dengan pertanyaanku atau memang sudah jadi pembawaannya sejak lahir.
Aku pamit sebentar ke Raka untuk memutarkan kopi. Tapi, aku lupa menanyakan takaran seperti apa, sehingga sesuai keinginan Raka. Di sini, muncul tebakan dan analisa subjektif. Kalau orang seperti Raka, harus meminum kopi sedikit manis tapi tak terlalu pahit.
Sekitar setengah jam, aku bergegas untuk menghidangkan kopi dan cemilan di meja tamu. Sambil berkata kepada Raka "Jangan malu-malu, anggap saja ini rumahmu". Raka pun memberi senyuman sedikit muncul gigi taring putih menawan menggoda hati di kebingungan rasa.
Raka mulai membuka cerita sedikit merapikan baju kameja coklat dan memperbaiki posisi dudukunya. Tapi, ada sedikit pancaran pucat di wajahnya. Sehingga Raka langsung menarik napas dan berkata.
"Sebenarnya saya mau bilang, kalau...!!!
Aku menikmati mimiknya dan sambil menunggu kelanjutan kata-kata yang belum diungkapkan.
Ternyata dia hanya menarik perhatian untuk memikat hatiku. Dengan sontak dan keberanian diri, aku berkata.
"Sebenarnya Raka mau bilang apa?"
Tapi Raka malah tak memberi jawaban sedikitpun.
Kondisi sore itu, mulai ramai dengan mainan-mainan. Anak-anak yang berumur sekitar 7 tahun menikmati pertandingan bola kaki di dalam lorong dan dijagai oleh orang tua mereka. Lalu-lalang sepeda-motor para penjual sedikit mengganggu permainan anak-anak kecil itu.
Aku dan Raka pun mengalihkan perhatian pada permainan yang sedang mereka lakukan. Seolah masa kecil ini yang sudah pernah aku alami di 14 tahun yang lalu bersama teman-teman mainku masa kecil.
Tak lama kemudian, Raka meminta pamit.
"Dil, saya pulang dulu ya?"
Soalnya sudah janjian sama kawan-kawan untuk agenda diskusi.
Raka pun menjabat tanganku sambil mengucapkan.
"Assalamualikum..."
Aku menjawab.
"Waalaikumsalam... hati-hati ya? Banyak anak-anak yang main di sepanjang lorong." Sambil mengunci pintu pagar.
Tangan ini, merasakan kehangatan sambil menatap kepergiannya. Tangan yang begitu halus seperti anak rumahan yang jarang kerja. Tapi setahuku, Raka adalah anak yang baik dan rajin bekerja.
Aku tak pernah merasakan hal terkesan seperti yang telah lewat. Karena ketika sebelum masuk kuliah. Aku habiskan waktuku di perpustakaan milik ayah. Banyak ribuan buku yang berjejer dan tersusun rapi. Mulai dari buku biografi para tokoh dunia, politik, ekonomi, kesehatan, pendidikan, filsafat, dan masih banyak lagi.
Membaca adalah agenda rutin yang diatur dalam rumah tangga. Sebab ayahku seorang Politisi dan ibuku seorang kepala sekolah di Sekolah Menengah Kejuruan. Setiap pulang sekolah pukul 13.00. aku masuk dalam perpustakaan dan keluar setelah menjelang sholat Magrib.
Sebelum azan, biasa ibu mengetuk pintu.
"Dil... Ayo mandi dulu...!!! sudah mau azan.
"Iya bu..!!! Sisa dua paragraf lagi bu. Nanggung kalau tidak dihabiskan".
Aku dan ibu pergi sholat berjamaah di masjid. Sepanjang jalan, aku menundukan kepala untuk menjaga, biar wudhuku tidak batal.
Aku adalah anak pertama dari dua bersaudara. Nama lengkapku Faradillah Abdul Malik. Yang biasa disapa dengan "Dillah". Umurku 20 tahun sama dengan Raka. Banyak kesamaan antara aku dengan Raka. Tapi, yang menjadi pembeda adalah Raka seorang lelaki dan aku adalah perempuan.
Ketika aku masuk di dalam kamar kontrakanku. Hpku berdering memberi kode, kalau ada chatt yang masuk. Tak sabar mendekati Hp dan membuka. Ada chatt WA dari kontak baru menyapaku
"Assalamualaikum... Bagaimana keadaanmu hari ini Dil?"
Lanjutan dari chatt itu...
"Besok kalau tidak sibuk, gabung sama kawan-kawanku, kita diskusi di sekretariat organisasi kami"
Kebetulan besok hari Sabtu dan tak ada aktivitas yang aku agendakan.
Tanpa nama sebagai identitas. Aku jadi penasaran. Tapi alamat yang tertera pada tempat tersebut, tak asing lagi. Sebab ketika pulang kampus, aku melihat banyak orang-orang berkunjung dan keluar-masuk. Ternyata inilah tempat yang biasa dijadikan tongkrongan para aktivis untuk pertemuan dan diskusi.
Walaupun aku mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, tapi aku lebih tertarik dengan dunia gerakan. Tapi gerakan yang murni dan berjuang bersama rakyat. Bukan gerakan yang ditunggangi atau dibayar. Aku berucap dalam hati "Inilah cita-cita, inilah yang aku cari-cari, dan keinginan yang iklas untuk bergabung" Gumamku dalam hati.
Aku tak akan mengabari ayah dan ibuku. Karena mereka pasti akan marah. Apalagi ibu seorang pendidik pasti selalu berpesan "Nak, jangan telibat dalam organisasi gerakan. Karena akan menghambat kuliahmu" Pesan ibu suatu ketika. Tapi itu adalah logika alamiah yang dipakai oleh ibuku. Karena sepengetahuanku, tak ada satu orang hebat pun tanpa melibatkan diri lewat diskusi dan organisasi.
Aku pun mempersiapkan diri untuk menghadiri undangan diskusi melalui pesan chatt kemarin. Sesuai undangan, maka diskusi dimulai pukul 15.00-selesai. Dengan agenda diskusi 'Ekonomi-Politik'. Ini adalah materi yang tak diajarkan di dunia perguruan tinggi yang mengupas tuntas. Karena dalam tuntutan yayasan selalu menekan untuk tak membuka kedok. Biar dalam tiap mata kuliah.
Tiba di sekretariat yang terletak di Suka Mulya VI, aku berjabat tangan ke semua kawan-kawan baru yang berjumlah lebih dari 30 orang. Mataku tertuju pada sosok lelaki yang duduk di samping papan tulis sambil menekan androidnya. Ternyata dia adalah Raka.
Giliran mendekati Raka, aku ingin bertanya, tapi malu-malu. Karena banyak kawan-kawannya di sekelilingku. Walaupun nanti akan tetap jadi kawan juangku. Apalagi banyak juga perempuan yang hadir di diskusi ini. Pasti mereka akan selalu jadi teman sekaligus kawan terbaik.
Diskusi pun dimulai, moderator (Aldy namanya yang kuketahui kemudian hari) membuka diskusi sambil membacakan fasilitator (pemateri) Ekonomi-Politik yang akan dibawakan oleh kawan Raka Abdillah Aziz.
Ternyaa tak salah kata orang. Kalau Raka adalah sosok lelaki yang dikagumi dan berkarismatik. Bagaimana tidak, beliau mampu menjadi seorang penengah dan kawan diskusi bersama kawan-kawan seperjuangannya. Termasuk aku di dalamnya.
Di sini, aku memaknai hidup. Kalau kesendirian itu tak semestinya berlarut-larut. Karena di kala meninggalkan orang yang kita sayangi, setidaknya banyak pengelaman baru dan masalah datang menyapa di depan mata. Sebagai kesyukuran hari-hari sebelumnya kesendirianku. Mampu aku bertemu dengan sosok Raka yang membawaku keluar dari ingatan masa laluku. Sebab tidak, maka aku akan menjadi sosok yang selalu mengikuti aturan keluargaku yang membatasi ruang gerakku untuk berorganisasi.
Sebab, perubahan itu bukan hanya dimulai dengan bekerja sendiri-sendiri. Tapi masalah akan mudah diselesaikan bila dikerjakan berasama-sama. Apalagi, perkumpulan (organisasi) yang membicarakan perubahan besar, yaitu bangsa dan negara.
Jikalau aku bersikukuh dengan jabatan orang tuaku, maka kemungkinan aku akan terlibat dalam kompromi yang maha berang lewat politik pragmatik. Karena ketika di usiaku yang sudah dewasa tapi masih jomblo, aku tak pernah bersikap santai dan jadi anak cengeng. Aku ingin menjadi perempuan yang berjuang, perempuan yang berdiri di garis depan, dan perempuan yang mampu berbicara kemudian dilaksankan dengan praktik yang berkali-kali.
Makassar
Jumat, 30 Maret 2018
By: Djik22
Komentar