Lentera impian sedang berkuasa berbisik. Kapan target yang kau cita-citakan tercapai? Kenapa kau menjadi orang malas yang suka tidur? Cahaya lentera mulai redup, setelah badai membunuh; kejadian banjiri berantakan kediamanku. Padahal saat itu, aku sedang dalam keadaan bersemangat. Kau berharap ada namaku dalam lembar skripsimu.
Kejar target jadi bomerang; melanda lewat mainan licik. Kelician hanya lewat bayang tanpa suara. Sama dengan memuja sanjungan pemburu di hutan alam imajinasi; diburu penjaga hutan bangunkan tidur nyenyak. Sambil membuat pulau di atas ranjang.
Bukankah kau tahu siapa aku? Ingatkah pesan di hari bahagiamu "Teruslah membaca; teruslah menulis; susunlah kata-kata dengan perlawanan. Sebab bila kelak maut menjemput. Karyamu akan jadi harta berharga untuk anak cucumu". Bagaimana aku harus menulis? Kalau tinta dalam penaku telah kau keringkan; lembar baru tak berisi yang sudah dijual-belikan oleh sosok penggila.
Targetku bukan selesai kuliah terus jadi penganggur; korupsi uang orang tua dengan jualan sedih. Aku tak mau, ketika keringat mereka terkoyak oleh ganasnya kerja lantaran aku menipu. Berdosakah aku bila dididik dengan baik lalu aku berbohong? Atau kau mau mengantarku di catatan amal buruk sambil berlipat tangan? Kurasa tidak! Karena kau adalah pengantar berbakat; tapi pembunuh tragis sepasang nyawaku tersenyum; nadiku masih berdenyut.
Kau adalah alasan kenapa target kupatok; cita-cita kulayang terbawa angin. Sembari mencari jalan pulang mendapat peluang. Apalagi hari ini, peluang selalu ada jika potensi dalam diri terus dikembangkan. Bila target belum tercapai, maka rubahlah pola. Sama seperti aku gagal, menggunakan langkahmu dengan berharap, tapi kau malah pergi. Nyatanya kau telah sukses; aku jadi sasksi toga yang kau pakai di kepalamu lewat dunia semu.
Toga!... ijazah, Indeks Prestasi!!! Aduh... semua hanya syarat formalitas; syarat kepentingan yang diakses lewat om google. Baru aku tahu, kalau cepatnya kuliah harus diisi dengan wawasan yang luas; keberanian yang ulet. Tapi jangan kau perlakukan aku seperti kau mendapat gelar sarjana. Karena 'gelar' kau peroleh dengan membayar mahal. Tapi hanya menambah barisan perbudakan kalau kau berdiam diri menunggu.
Aku lebih memilih jadi file skripsi. Biar saat-saat menuju sarjana, kau sibukan dirimu mengomel dan sibuk menatapku. Sambil kau berceloteh "Oh...skripsi!!! Kaulah penentu layak tidaknya ujian; kau kucatat dengan kata-kata sendiri tanpa mencuri/ plagiat hasil orang". Lalu aku tak menjawab; aku memilih tetap terang lewat arus listrik mengisi batrei laptopmu. Biar kau dan aku tetap dalam cahaya.
Makassar
Kamis, 1 Maret 2018
By: Djik22
Komentar