Sumber foto: Geulgram
Dirimu adalah sebuah rumah
Yang mengajarkan tentang sejarah
Yang mengajarkan tentang dunia
Dari balik kertas putih
Hingga sandaranku pada sebuah pohon
Tempat yang biasa untuk merenung
Tempat dimana api diwariskan
Biar generasi tidak menjadi pikun
Maka...
Kenalilah duniamu lewat membaca
Karena dengan membaca kau tak buta
Hingga tetap mengayuh pena untuk aksara bara
Akulah anak kecil yang diasingkan oleh keadaan kota. Karena di sini terlalu bising. Sampai, hak hidupku terus dirampas. Hanya mampu membuat aku memandang maling-maling berseragam itu. Ialah mereka yang menjual seluruh kekayaan dari perut bumi.
Padahal, tak ada yang kurang di negeri kaya melimpahnya emas dan sumber daya. Namun, sayang seribu tangis hanya memasrahkan diri pada percaturan politik yang penuh omong-kosong. Kata mereka "demi kesejahteraan rakyat" tapi kata sejahtera hanya janji belaka. Hingga maling tetap tersenyum dan kebanyakan nasibnya rakyat tetap menderita.
Andai saja, aku tak mengenal aksara bara. Maka, diriku dan mereka juga tergilas deru zaman dengan segala kemegahan. Padahal, di atas semua kemegahan itu terbangun dari hutang-piutang yang selalu dijaga rapi. Kerapian itu bukan kata dan aksara apinya. Tapi, kerapian itu adalah maling teriak maling tanpa mengakui kesalahan yang diperbuat. Sampai, ruang penjara hanya dipenuhi oleh rakyat jelata yang kesalahan secuil kerikil tajam.
Tempat yang biasanya aku merenung. Kini digusur dan pohon-pohonnya ditebang. Dengan alasan sederhana "pembangunan yang merata" untuk negeri dan Bumi Manusia. Tapi, sampai sekarang pembangunan itu tampak tidak merata berlaku bagi kami yang diasingkan ini.
Maka, untuk menyediakn peluru dan senjata. Aku mengumpulkan ribuan kata tak terhingga dan ratusan stategi taktik yang ampuh. Biar, mereka datang lagi kami bisa melawan dengan kekuatan yang lebih besar. Karena melawan demi membela kebenaran itu lebih berguna, ketimbang mempertahankan kesalahan jadi budaya yang dinikmati oleh anak cucu.
Sekiranya kertas putih pun kau nodai dengan razia. Maka, apalah daya kami tahu tentang sejarah bangsa. Jika, hak kami terus dirampas tanpa henti. Maka, sekiranya akal budimu tak menyesatkan kami. Atau tuan lupa pada semangat awal-mula negara ini didirikan? Apakah kau lupa bangsa ini tak mengenal dakwaan mayoritas dan minoritas?
Huuuuuuuuh... bruuuuukkkkk... pintu kamar dibanting oleh petugas. Aku pun di bawa dan diseret masuk ke dalam jeruji. Namun, tanpa kutahu apa salahku. Memang betul dunia ini penuh Para Bedebah seperti yang dikatakan oleh Tere Liye (Darwis) dalam novelnya.
Makassar
Kamis, 14 Februari 2019
By: Djik22
Komentar