Sumber foto: Pintersest
Adalah suara kegaduhan di kota ini
Yang tak henti-hentinya menjama diri
Yang tak pandang bulu saling menggilas
Dalam dentuman penjuru penuh jurus
Membuat diri lebih kuat untuk bertahan
Melawan semua tekanan dan cobaan
Yang datang sili berganti tanpa kasihan
Yang tiba tanpa undangan yang dilayangkan
Hingga di sebuah titik persinggahan
Mengukir namamu dengan kekuatan
Diilhami dari bisikan semesta kampung halaman
Dan mengukirmu jadi sebuah peradaban
Selamat pagi kawan yang menyapa. Menanyakan kemalangan yang menimpa nasib. Datang dengan hujan pertanyaan bertubi-tubi. Tak mau pergi walau semua sudah redah dengan jawaban. Namun, tetap bertahan dengan polemik perdebatan yang saling mendesawakan. Bukan saling menggurui hingga lupa pada budaya saling mendengarkan.
Tepat arah jarum jam bergeser mengenai kata hati. Suaramu berbisik "Mari berbagi semasa masih muda. Biar kita tak pelit dalam berbagi. Walau secuil pengetahuan dan sepotong cahaya sebagai penerang. Yang penting, kita gunakan nalar maju dan daya sehat menyelesaikan segala masalah" yang datang tanpa diundang.
Tanpa membuang waktu. Aku berkata dengan diksi yang lebih halus "Kita yang muda harus berikhtiar dan tetap semangat. Memasang suluh juang tanpa gampang terombang-ambing" dalam batas wajar majunya dunia dengan dandanan rupa-rupa.
Sampai, di titik kediaman suasana sepi. Kita berbagi lagi dengan jalan terang. Yaitu, menuangkan semua dalam karya yang ditulis dengan kata hati. Tanpa harus sembunyikan segala potensi yang sedang mekar. Dan tak jadi malu saling meminta koreksi. Ah... begitu indah sebuah zona dengan pengelaman baru tanpa saling merugikan.
Dan pagi ini. Kita memegang prinsip untuk mengukir sebuah peradaban. Ialah peradaban yang kaya akan aksara dan tak mau terbuang sia-sia. Dan berbahagialah diri yang mudah akrab dan saling menyesuaikan. Tanpa diikat oleh kepentingan politik yang menjanjikan jabatan dan kursi kekuasaan.
Makassar, 23219 | Djik22
Komentar