Sumber foto: Geulgram
Setelah kau nikmati tubuhku
Aku kau buang bagai sampah
Tergelatak dalam kerumanan kumuh
Kemudian datang lalat mencicipi tubuh
Ialah sebuah tanggung jawab yang kau dustai
Ialah sederet janji bertuan yang kau tirikan
Sampai...
Kau bahagia dengan hari barumu itu
Bukan aku menuntut balas luka lembab
Bukan aku menaruh kumpulan dendam
Namun inilah ungkapan peluru pilu
Karena aku diusir dari rumah teduhmu dengan cara biadab
Untukmu yang bernama kenangan dan masa lalu. Tetaplah menjadi guru dan peluru yang bertuan. Biar kelak bidikanmu selalu tepat mengenai sasaran. Karena aku merupakan salah satu korban yang kau bidik paksa. Dengan segala rayuan gombal dan bahasa manismu. Hingga kita terjebak percaya pada benang dan tali asmara yang tak bisa putus diserang angin kencang.
Pristiwa itu, kalau aku susun kembali. Maka, akan seperti ini ceritanya:
Tepat di sebuah bulan yang tak kunamai. Dan di sebuah tahun yang kurahasiakan. Karena ini adalah pengelaman paling tragis yang pernah terjadi. Mungkin kau tak merasakan apa-apa. Tapi, aku masih tetap tergelatak setelah semuanya kau berlakukan dengan cara biadab.
Saat itu, malam sedikit gelap dengan cahaya yang muncul malu-malu. Entah, apa yang menjadi alasan aku terkesima dengan setiap bahasa dan kata-katamu. Ialah kata-kata tentang tanggung jawab dan janji bertuan di malam sepi dan sunyi itu. Kalau kuhitung kembali, maka aku teringat dua belas kalimat yang tak kubalas dan tujuh pertanyaan pancingan membuatku terjebak.
Iya, aku terjebak karena pintamu pada rasa mengisi kekosongan hati. Kebetulan, hatiku mengizinkan dirimu mengisi. Dan kita sudah menjadi sepasang kasih yang siap bertarung di belantara dan semesta raya. Bahagia tak sebanding dengan jalan yang dilalui saat pulang. Dan tak ada perasaan kehilangan berlaku di hari itu dalam pelukanmu.
Semua yang kita jaga tak bertahan lama. Karena drama dan segala sandiwaramu terkuak sendiri oleh dusta dan kebohongan yang selama ini dibungkus rapi. Ternyata, kaulah dalang untuk memikat segala rasa. Hingga aku sebagai salah satu korban sandiwara indahmu. Tapi, saat aku beranikan diri untuk bertanya. Malah, kau lari dengan segala tanya dan pergi dengan segala bukti yang siap kubentangkan di meja pertemuan.
Aku yang kau tinggali tak banyak kupinta. Namun, setidaknya dengan cara baik-baik menyelesaikan semuanya. Jangan perlakukan aku sebagai binatang telanjang yang telah kau nikmati. Apalagi, kau sudah mencicipi segala yang tersembunyi. Padahal, aku kira kau membawa raga menuju rumah teduhmu. Tapi, semua hanya janji dan desahan nikmat belaka.
Maka, dari saat itulah. Kau mengusir aku dari rumah teduhmu tanpa penjelasan. Dan setelah itu, kau hilang jejak untuk berpetualang ke hutan lain. Namun, kudoakan kau tetap menjadi seorang guru yang pernah hadir. Dan mampu merubahku yang suci menjadi sampah. Hingga lalat-lalat itu tiba lagi dengan gembira mencicipi tubuhku. Tapi, maaf saja. Tubuhku bukan murahan, ragaku bukan mainan, dan budayaku bukan penyerahan pasrah. Sekali luka tetap luka. Tapi, aku tak mau ditambah lagi dengan luka baru.
Makassar
Jumat, 15 Februari 2019
By: Djik22
Komentar