Foto: Trivonia Gita
Aku menyapa
Bukan untuk menakhlukan hatimu
Aku bertemu denganmu
Bukan untuk mengatakan setia
Tapi...
Aku ingin kita lebih dekat
Biar dalam waktu kepepet
Rahim ketubaban tak dilupai
Karena kaulah bunda semesta perasa aksra
Karena kaulah ayah diksi tak sepi-sepi
Kalungkan aku dengan waktu
Hingga terus mengenang wajahmu
Di bahasa yang ke sekian dan ingatan yang ke berapa, aku pun tak menghitung kembali. Tapi, tepat di bawah kaki langit saat bulan merayu malam untuk bersahat. Dan saat itu juga, sapamu yang kedua membuat diri jadi rindu. Hingga semuanya sulit terlupakan.
Karena melupakanmu adalah dosa terbesar sebagai generasi aksara. Maka, aku ingin kembali memelukmu hangat penuh belaian. Biar kita terhanyut pada keabadian kata-kata dan perbuatan. Apakah kau ingin tetap bersama? Sanggupkah kita berdiri pada deretan kata yang tak berujung tanda titik? Sampai, di sebuah kesempatan kita sepakat pada dengan pendirian. Kalau kata-kata kita akan tetap abadi.
Dua puluh empat delapan adalah sapa kedua. Ini yang lebih berkesan seperti petir menyambar manusia saat musim hujan. Atau hak rakyat dirampas oleh mereka yang suka berlagak bangga ketamakan. Namun, aku tahu kau tak akan sama seperti mereka. Sebab, prinsipmu adalah sebuah juang dengan kata perlawanan dan pengabdian tanpa tara menuai tanah.
Maka, kau pun terlena seperti lelaki yang pernah menaklukan rahim purbamu dulu. Dan saat itu kau berkata padaku "Kau lelaki pencinta sajak suka bermain kata... Biarkan kujuluki dirimu sebagai si pesulap kata" yang suka menggoda. Ah... terlalu berlebihan julukan itu.
Karena aku tak ingin julukan serta tak suka ditinggikan dengan bahasa. Maka, kujawab "Aku tak mau julukan apapun. Karena rahim ketubanmu selalu mengajarkan aku sebagai generasi yang tak lupa pada budaya. Maka, aku ingin kita sama-sama dalam kejujuran" sebagai representasi dari tindakan dan bahasa. Apakah kau masih tetap setia? Atau cintamu sedikit-tidaknya sudah tergiur dengan perbuatanku?
Ah... ibu, maafkan anakmu yang mulai dihantui dengan kata-kata. Dan terus dicumbui manis dalam pikiran. Hingga ajakan untuk kembali selalu saja hadir. Sampai, wajahnya menyerupai kemiripan ayah diksi dalam kata-kata perlawanan.
Setidaknya, aku patut turut memelukmu. Dan kau dongengkan aku tentang pentingnya jadi petarung sejati. Sampai, kau abdikan aku dalam-dalam. Seperti ucapmu di malam itu "Tenang saja, aku telah abadikan dirimu pada secarik tulisanku. Kelak jika rindu akan kubuka kembali barandaku dan mengejanya lagi" sampai terlelap dalam tidur.
Hanya saja, aku masih ingin tahu lebih dalam. Seperti penggalianku pada tanah lahir dari naskah yang hilang. Dan selalu ingin bersama dengan orang-orang yang menyeru perlawanan. Apakah kau siap kita menelanjangi kebusukan lewat kata? Atau kau hanya suka pada kata-kata romantisme yang penuh pemerkosaan?
Ah... aku akan berontak lebih gila kalau tubuhmu dileceti. Karena kaulah mutiara yang bersinar. Hingga kini, aku masih saja menitipkan kata-kata untuk tenangkan dirimu. Sebab, akulah jiwa-jiwa ayah. Dan akulah jelmaan pendobrak peradaban. Maka, jagalah dirimu melebihi telur dan kapas. Biar aku dan orang lain lebih segan mengganggu dan membawamu terbang tak tahu arah. Sekiranya, menganggu akan mengakgiru cinta. Maka ini hanya permulaan dari kali kedua kita bersua.
Makassar
Minggu, 17 Februari 2019
By: Djik22
Komentar