Sumber foto: Nurhikmah Syakira
Ibu semesta yang telah mendewasakan
Dengan linangan kasih berbalut hangat
Dengan air dari segala sumber aliran
Dibisikan dengan doa tanpa penat
Ialah bisikan tentang merajut menjaga
Ialah doa tentang merawat dengan tawa
Biar badai terus menerjang-menghadang
Biar deru-angin terus meniup rasa
Namun aku tetap berpijak di tubuh ibu
Dengan segala cinta tanpa benci
Dengan segala rasa kupupuk kembali
Dari sebuah surga yang hilang berlalu
Pertiwiku dalam deretan kisah. Kebanyakan ditafsir tunggal tanpa sebuah analisis yang matang. Memutuskan jalannya sejarah tanpa banyak belajar. Hingga, melahirkan generasi yang buta-tuli pada penggalan ajaran sejarah. Maka, berdirilah anak zaman yang lemah tanpa banyak mencari tahu. Karena sejarah dianggap sebagai soal-soal kelabu tanpa ada rindu belajar pada amanah para pendahulu.
Ibu yang kusapa dengan suara serak dan malu-malu. Dengarlah segala curahan hatiku. Bahwa di tanahmu mulai kering membudayakan ajaran kebaikan. Sampai, kami lupa tentang cara sopan-santun. Karena kehausan dan keserakahan mengalahkan segala yang lembut. Hingga, air dan susumu tak mampu menggantikan kekeringan dan perpecah-belahan. Lalu, untuk apa air dari segala sumbermu yang kami minum? Semoga kami tak menjadi generasi kacang lupa kulitnya. Dan cepat bosan tanpa banyak berbuat dalam subur dan gersang yang tak usai.
Bukankah di bumimu adalah surga yang terapung? Apakah gunung-gunung emas berawan putih pun mulai buram saat berdiriku? Sekiranya, akulah perawan yang belum dijama. Maka, kebertahananku tak akan pindah untuk disetubuhi. Karena akulah warisan yang tersisa. Aku dirawat dengan segala cinta dan rasa. Mampu melewati badai sejarah dan tantangan zaman. Maka, dengan tegas aku berkata pada telinga yang mendengar dan kulit yang masih peka. Bahwa, aku siap mengajak yang lain untuk tetap menjaga kesucian bumi pertiwi.
Semua kekayaan telah dirampas; semua yang berlimpah dijual-belikan. Sampai, tubuh dan dagingku mau dijadikan tumbal. Namun, aku dan pendirian masih bertahan di sini. Maka, tetaplah sebagai kompas untuk membimbing segala usahaku tanpa menjadikan diri pengeluh setia. Karena yakin yang membisiskanku. Bahwa, di tanah tandus dan subur sekalipun harus tetap bertahan. Tanpa menggadaikan semua yang ada. Apalagi, pertiwi ini sedang menderita. Belum lagi, surga yang hilang pun tak kunjung ditemukan.
Maka, tuntunlah aku dan mereka di garis jalan kebenaran. Biar angin yang kami hirup dari semesta tanah lahir mampu memberi imaji dan sumber inspirasi. Tanah yang kami pijak mampu jadi pupuk kesuburan tanpa banyak mengeluh. Hingga tangan Tuhan dan semesta merestui segala kekayaan bumi, tanah, air, dan udara kita mengelolanya dengan mandiri. Bukan didikte dan dikelola oleh negara lain.
Makassar
Senin, 4 Februari 2019
By: Djik22
Komentar