Langsung ke konten utama

N. Raya

N. RAYA

PTJ 196 | PERIHAL CEMBURU (1)

Sebuah hubungan yang selama ini dijaga
Dirawat dengan hati berbalut rasa
Dihiasi rayuan-rayuan mendewasakan
Dengan segala macam perhatian

Namun semua hilang seketika
Saat sebuah badai tiba
Di tengah malam hari Rabu
Rindu dan rasa kini telah jadi beku

Membuat beberapa analisis lucu
Dari hasil telaah dan kata hati
Keabadian perlahan pergi
Perihal cemburu jadi dewa mengisi hari

Kecurigaan  itu selalu muncul. Tancapkan kata-kata dan bahasa yang serba kasar. Berontak untuk melawan sebuah rasa tanpa penglihatan yang bersih. Membutakan pikiran jernih dalam sebuah perhatian. Hingga hilang dan sirnah kemesraan yang selama ini dijaga dengan rapi.

Raya termenung dalam lamunan panjangnya. Tepat di kiriman puisi yang harus dibalas. Namun, naas semua curiga dan duga-sangka muncul dari Rani. Perempuan periang yang selalu memberinya biji-biji inspirasi untuk menuliskan kata-kata puitis. Sayang, tangan Raya seolah kaku ingin membalas proyek Puisi Dua Jemari. Karena inspirasi yang hadir tiba-tiba hilang terbawa angin malam yang begitu kencang dari Rani yang selama ini ia percaya.

Pena yang sudah ditancampkan di atas kertas putih. Ditarik kembali oleh Rani untuk meminta penjelasan atas beberapa pristiwa belakangan ini. Raya pun kaget atas sikap Rani yang coba menghalangi bendungan tulisan yang sudah dikonsepkan dalam alam pikiran dan kesuburan bahasa.

"Kenapa perhatianmu lebih diutamakan untuk orang lain? Apakah aku kau anggap sebagai sampah dan tempat pelampiasan nafsu belaka? Sebagai lelaki, kau harus terbuka dan selalu menjaga diri atas godaan dari orang lain. Apalagi, godaan dan rayu itu datang dari perempuan yang mengagumimu tanpa malu," tanya Rani dengan nada tinggi.

Tapi, Raya memilih diam. Menaruh kembali pena dan kertas putih yang ada digenggamannya. Dan mencoba tenangkan diri biar bisa membendung serangan dari Rani dengan ketabahan hati.

"Aku tak pernah menganggapmu sebagai sampah. Apalagi, dakwaanmu padaku dengan klaim 'hadirku untuk melampiaskan nafsu' pada orang yang selama ini menemaniku tenggelam dalam gudang inspirasi. Aku tak larang curigamu. Tapi, cobalah mengerti dengan keadaan." Tegas Raya.

Terkadang, keadaan terindah menjadi sebuah keburaman yang tak bisa dibendung. Karena manusia lebih mengedepankan duga-sangka ketimbang akal sehatnya. Atas dasar cemburu, semua dilayangkan untuk meminta penjelasan. Dan inilah sebuah kehidupan penuh cobaan yang harus segera diatasi.

Suasana kembali hening. Rani mengangkat bicara lagi.

"Tak bisa kau bohongi hati seorang perempuan. Karena filling seorang perempuan biasanya tidak meleset. Jadi, jangan kau sembunyikan darinya tentang rasa. Apalagi, kau sering ajarkan aku tentang kebenaran. Aku juga punya hak untuk minta penjelasan."

Raya masih saja diam dengan segala kebingungannya. Karena ketika memilih menjelaskan kepada Rani. Maka, suasana akan tambah gaduh. Hingga Raya tetap tunduk pada pojokan tempat biasa ia menulis.

Namun, Rani terus-terus bicara. Membuat Raya akhirnya angkat bicara "Aku mengerti tentang perasaanmu. Coba bedakan antara emosi dan melarang orang saling mengagumi. Tanyakanlah segala sesuatu dengan kelembutan. Dan jangan kedepankan emosi. Apalagi, emosimu lantaran duga-sangka dan cemburu karena atas nama 'cinta' yang katamu aku cundangi. Maafkan, aku. Lebih, baik kita memilih jeda untuk meredahkan emosi. Ketimbang aku dijadikan sebagai objek curiga. Akulah seorang pengarang lepas tak mau direnggut dan dilarang berkarya. Dan wajar, setiap orang menaruh perhatian dan bebas menyatakan rasa 'kangen' dan 'rindu' untuk datangkan imajinasi. Selama itu, masih dalam tataran pengayaan karya dan pengarsipan. Yang penting, bukan mengatakan 'cinta' untuk menjalin sebuah hubungan seperti kebanyak orang."

Raya bangkit dan pergi entah kemana tanpa menyalami tangan Rani. Dan sempat mengucapkan kepada Rani sebelum berpisah.

"Jangan tanyakan aku ke mana. Sebab, aku tak pantas untuk ditanyakan. Sekiranya, rasa dan rinduku padamu selalu ada tertanam dalam jiwa. Dan terima kasih sudah melayangkan curiga. Itu adalah hakmu. Tapi, jangan renggut penaku yang ingin membuat sebuah peradaban untuk anak cucu tentang pentinganya menulis. Apalagi, sebuah kertas kosong yang sering membawaku jauh menerawang lewat karya. Doakan aku ketika aku tak kembali. Namun, jangan pinta diriku untuk kembali kalau hanya membahas masalah yang sama. Aku mencintaimu tanpa tara. Dan menyagimu tanpa kebohongan. Jadi, biarkan aku pergi tanpa kau jatuhi air mata."

Sebelum menuju pintu, Raya mengingatkan Rani kembali "Jangan lupa membaca sebuah catatan singkat yang aku simpan di atas meja belajarku."

••●★★●••

Penggarapan proyek 'Puisi Dua Jemari' tetap Raya tekuni dengan kedalaman perasaan. Karena bagi Raya "Menulis dan berkarya adalah sebuah pengabdian. Walau yang ditulis, hanya beberapa bait puisi."

Namun, proyek itu sering tertinggal dengan waktu yang disepakati. Karena Raya sering disibukan dengan beberapa agenda yang datang secara tiba-tiba setiap harinya. Tapi, ia selalu berusaha keras untuk tetap berkarya. Tak ada hari yang dilewati tanpa menulis. Dan tak ada tempat yang dipijaki untuk dijadikan warna inspirasi.

Seorang lelaki penjahat kata. Yang selalu mengukir penanya dalam keabadian. Dari segala diksi dan bahasanya selalu menggugah orang lain. Banyak yang terinspirasi dan ingin lebih dekat bersamanya. Melawan segala kebusukan dan ketidakadilan lewat kata-kata. Dan selalu menuai kekaguman dari setiap orang yang membaca atau mendengar pembacaan puisinya. Raya adalah sosok lelaki berani yang tak mau didikte oleh siapa pun.

Proyek 'Puisi Dua Jemari' adalah sebuah bangunan kesepakatan antara Raya dengan Putri. Kemauan itu lahir dari sebuah perenungan malam yang mendatang ilham. Ialah tentang dua jemari harus disatukan dalam karya puisi yang saling berbalas. Dan akhirnya, Putri merespon tawaran Raya dengan kelembutan hati.

Andaikan tangan Tuhan memberi jodoh. Maka, Raya dan Putri adalah dua pasang yang sedang menyatu. Namun, hanya dalam sebatas berkarya. Tak lebih dari itu. Karena mereka berdua pun masih menjungjung tinggi warisan leluhur dari negeri matahari terbit. Dan kedepankan rasa dan asa sebagai 'Sang Pemula' yang tenggelam dalam lautan kata dan hamparan bahasa yang kaya seperti pasir membentangi lautan.

••●★★●••

Penyesalan yang mendalam, perlahan menyerangi perasaan Raya. Harusnya ia tak pergi meninggalkan Rani. Dan ia merasa sebagai serorang lelaki yang tak mampu menghapus air mata kekasih. Serta tak mengajaknya untuk bisa bergembira kembali.

Untuk menenangkan hatinya, maka Raya menulis ulang duga-sangka yang telah lewat. Atas 'Perihal Curiga' datang menggebu. Kalau disusun kembali, maka alurnya akan seperti ini:

Pintu kamar Raya diketuk.
"Assalamualaikum... tok.... tok... tok..."

Raya masih terlelap dalam tidur pulasnya. Belum ia sadar dari mimpi indahnya. Pintu kembali diketuk dengan suara lebih kencang. Seolah-olah, ada sebuah bencana besar yang mau menenggelamkan umat manusia. Tapi, lagi-lagi pintu belum dibuka.

Pada ketukan ketiga, Raya kaget dan langsung bangun dari tidur. Sambil mencari bajunya yang dilempar di sembarang tempat.

"Waalaikumsalam... tunggu, sebentar...!!!"

Gagang pintu berbunyi sambil slot kunci berputar. Raya menyilakan tamunya masuk.

"Kenapa tak memberi kabar kalau mau datang?" Tanya Raya sambil persilahkan Rani duduk.

"Tadi beberapa kali aku telepon. Cuman tidak diangkat. Jadi, aku langsung ke sini. Karena kebiasaanmu suka terlelap dalam mimpi-mimpi indah" Dengan suara datar Rani menjelaskan kepada Raya.

Raya tertawa. Seolah merasa tak ada masalah atau tanda-tanda kemarahan pada raut wajah Rani. Dan Raya menjawab sambil lalu.

"Biasa, tadi malam menggarap beberapa karya. Jadi, hanya kecapean membuat aku terlelap dalam tidur. Kiranya jadi, maka karya itu akan menjadi sebuah anak yang lahir dengan suci yang terus-terus dirawat. Biar, kelak ia mengarungi alam raya dengan pembacaan tanpa jeda dari setiap penggemarnya. Semoga saja, ia tak mati di tengah jalan. Dan nyawanya tak direnggut oleh orang-orang di sekitarnya."

Rani merasa heran dengan penjelasan Raya. Entah mimpi apa ia semalam. Rani pun tak mengerti. Tapi, secara tersirat Rani menangkap makna yang terselip dalam bahasanya Raya. Lalu, merespon.

"Oh... iya... Bagus kalau begitu. Semoga bukan hanya karya yang kau perhatikan. Sehingga orang-orang terdekatmu kau lupakan. Sampai, selalu membuka ruang kepada perempuan lain. Dengan alasan penggalian informasi yang mendatangkan imajinasi. Lelaki memang hebat, suka menggunakan akal sehat dan kecerdasannya menakhlukan seorang perernpuan. Dan tidak sadar, membuat banyak luka dan lara bagi orang lain."

Raya tambah bingung dengan penjabaran Rani. Ia menatap wajah Rani tanpa berkedip. Dan sambil memperbaiki duduknya, Raya menjawab.

"Kok, hari ini agak berbeda ya! Tak ada tampak badai, tapi yang tampak adalah tanda bahaya. Semoga tak ada kabar buruk yang kau bawa. Karena, kita sudah lama saling kenal. Jadi, aku tahu tentang bagian yang mendatangkan tanda bahaya. Dan banyak cara yang mewakili ungkapan curiga. Apalagi, duga-sangka kau kedapankan untuk aku perhatikan. Tanpa menanyakan duduk perkaranya dengan ketabahan hati."

Penjelasan Raya membuat Rani naik pitam "Maksud kau apa? Bukankah kau sering mengungkapkan 'kangen' dan 'cinta' kepada orang lain? Dan apakah hari ini kau mau mengelak? Kalau akulah yang memancing untuk semuanya dibuka. Aku datang tak mau berdebat. Dan aku tiba tak mau merusak mimpimu. Tapi, ada hal penting yang ingin aku bicarakan!"

Raya tambah bingung dengan penjabarannya Rani. Karena tak biasanya Rani bersikap seperti ini kepadanya. Rasa was-was itu muncul memengaruhi alur pikirnya. Dan tanpa menanyakan kembali. Raya coba menenangkan Rani. Namun semua sia-sia. Rani harus membuka hal yang ingin ia bicarakan.

"Kenapa diam? Berarti benar fillingku selama ini. Harusnya, kau sebagai lelaki bisa menjaga dirimu. Karena ketika kau buka hatimu, maka banyak perempuan yang menaruh harapan. Ini dunia yang semakin gila dengan segala macam kecanggihan. Jangan sampai, akal warasmu dirasuki dengan nafsu untuk memenuhi kenikmatan. Bukankah setia adalah sebuah kado yang sering kau hadiahkan untukku? Apakah hari ini cintaku sudah kau gadaikan demi bersandar ke bahu yang lain? Hingga dengan mudah kau ungkapkan kata-kata indah dan menawan kepada perempuan lain? Ayo jawab...!!!" Desak Rani.

"Maaf kalau aku salah. Tapi, jangan kedepankan duga-sangka. Biar fillingmu sejauh jangkauan JPS dan kepekaanmu seperti udara yang dihembus memberi kabar. Tapi, sebagai manusia yang merdeka, kita harus menggunakan bahasa yang lemah-lembut untuk selesaikan masalah. Apalagi, ini soal prasangka. Jadi, tenangkan dirimu. Jangan mudah terpengaruh dengan omongan orang tanpa sebuah pembuktian," bendung Raya yang coba tenangkan Rani.

Suasa tambah tegang. Raut wajah Rani merah padam. Ingin ia keluarkan segala unek-unek yang selama ini belum sempat diungkap. Tapi, ia sadar. Tak harus bersikap seperti ini kepada Raya. Karena baru kali ini ia bersikap berbeda. Padahal, desus-desus itu tiba dengan suara sumbang yang pengaruhi Rani. Belum lagi, ditambah trauma yang pernah terjadi di beberapa tahun lalu. Saat itu, Raya memilih dua jalan untuk berbagi  cinta. Dan mungkin ketakutan akan sebuah pristiwa membuat Rani kehilangan Raya.

Tapi, semua sudah terjadi. Tak bisa ditarik kembali. Masalah harus diselesaikan. Tak harus dijadikan tekanan untuk memendam dan mengganggu pikiran. Apalagi, Rani masih saja belum pulih dari emosinya.

Akhirnya, Raya bicara setelah beberapa saat mereka dua berdiam diri.

"Jika, satu kali kesalahan yang pernah kulakukan dan membuatmu trauma. Maka, aku minta maaf. Dan segala desas-desus dan duga-sangka itu, sebenarnya tak harus kita kedepankan emosi untuk selesaikan. Kau tahukan! Sering kali aku ingatkan. Jangan larang aku dalam berkarya. Karena duniaku adalah kata-kata dan bahasa. Siapa pun orangnya, aku selalu mendapatkan inspirasi. Baik perempuan atau pun lelaki, mereka punya sisi kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Begitu juga kita berdua."

Sambil menarik nafas. Mengambil rokok di atas meja. Raya membakarnya. Hingga asapnya mengganggu penciuman Rani. Dan Raya menyodorkan beberapa cemilan dan minuman dingin kepada Rani. Kemudian Raya melanjutkan.

"Jadi, jangan selalu desak aku untuk berkata segalanya. Karena aku merasa semua ini hanyalah sebuah tekanan psikologi dari segala macam pendapat umum. Tentang lelaki yang menggunakan kecerdasannya untuk menakhlukan perempuan. Tolong, mengertilah mimpi yang selama ini aku rawat. Apalagi, segala inspirasi selalu datang darimu. Jangan mendakwah diriku hanya 'perihal curiga' antata kita berdua. Izinkan kali ini saja aku harus mengatakan segalanya."

Raya mengambil kertas dan ingin menulis catatan yang terpotong. Namun, Rani terlebih dahulu menarik pena dan kertas di genggaman Raya. Dan Raya merasa kebebasan menulisnya dirampas. Dan ia pandangi wajahnya dalam-dalam. Kemudian Raya merapikan kembali kertas-kertas yang berserak di atas meja.

Tapi, ada satu lembar kertas yang ia biarkan tergeletak di atas meja. Dan seolah-olah, tulisan itu sengaja dibuka biar dibaca oleh Rani. Namun, tak ada bahasa tubuh dan penjelasan. Raya memilih pergi. Dan meninggalkan Rani dalam kamar yang selama ini menjadi tempat perenungan. Tempat yang penuh kesan imajinasi mengukir karya. Bagi Raya, tempat itu adalah 'Rumah Teduh' proses penciptaan generasi.

Rani kaget ketika menarik kertas dengan tulisan tebal pena hitam. Sebuah kalimat pembuka yang ditulis dengan hati dan rasa yang mendalam. Air mata tak bisa dibendung. Langkah Raya tak bisa dihentikan. Biar mengejarnya pun, tak akan dapat lagi. Seolah ia terbang bersama mimpi dan alam imajinya, menuju sebuah tempat semu yang tak bisa dilacak keberadaannya. Air mata Rani semakin deras mengalir, ketika dalam penggalan tulisan Raya yang mengisahkan sebuah tragedi. Dan dengan terbata-bata ia membaca.

"Sebuah hubungan yang selama ini dijaga. Dirawat dengan hati berbalut rasa. Dihiasi rayuan-rayuan mendewasakan. Dengan segala macam perhatian. Namun semua hilang seketika. Saat sebuah badai tiba. Di tengah malam hari Rabu. Rindu dan rasa kini telah jadi beku."

Dan 'Aku Harus Pergi' Rani. Sebuah kata-kata penjelas yang tertulis pada catatan kaki dipadukan tanda-tangan. Atas nama Raya Mahardika yang pernah menyakitimu.


Makassar, 28219 | Djik22
_______


197 | AKU HARUS PERGI (2)

Kaki akan terus melangkah
Badan masih kuat berdiri di atas bumi
Karena waktu berputar begitu cepat untuk mencari
Segala yang masih samar-samar tanpa lelah

Dengan alasan mimpi
Tak aku meninggalkanmu dengan air mata
Saat semua tampak bahagia
Dan saat itu pula kau merasa rugi

Sebab kesempatan untukmu
Masih tak menentu
Dan aku harus pergi
Meninggalkanmu tanpa permisi

Raya meninggalkan kamar kontrakannya. Saat itu, Rani masih tertinggal di dalam kamar imajinasinya. Entah apa yang Rani perbuat. Raya pun tak tahu secara pasti. Namun, perasaan Raya lebih memilih mengghindar. Walau hati yang berat dengan pilihan ia tempuh. Raya melangkah dengan perasaan bimbang. Seolah-olah, ialah lelaki tersial yang pernah hadir di bumi.

Tepat pukul 16.00, Raya menuju Warkop Jaya Abadi untuk melanjutkan tulisannya. "Kiranya, dengan tegukan kopi sore mampu menghilangkan polemik dan mendatangkan inspirasi baru." Ucap Raya dalam hati.

Raya membuka laptop dari tasnya. Kemudian ia nyalakan. Sambil datang barista menawarkan menu.

"Mau pesan apa, Bang? Tanya seorang barista dengan senyuman yang dibuat-buat.

"Kopi hitam saja," jawab Raya sambil mencari colokan terminal mengisi daya batrei laptop yang lagi law.

Keramaian di warkop Jaya Abadi membuat perasaan Raya agak legah. Setidaknya, beberapa perdebatan panjang dengan Rani bisa hilang dengan suasana baru. Karena Raya adalah lelaki yang tak suka berdebat panjang dengan masalah kecil yang kemudian dibesar-besarkan.

Inspirasi baru di warkop, membuat Raya lebih semangat lagi, Ia memulai dengan sebuah tulisan penyesalan sebagai bentuk permohonan maaf. Tapi, ada makna yang tersembunyi di balik kalimat-kalimat indahnya. Rupanya, ada mimpi besar yang ingin diraih. Hingga Rara mengejar target yang telah dipatok. Menggunakan sisa tenga, mencari semangat baru, dan tangannya tetap bermesraan dengan mengukir ribuan kata-kata. Dan jemarinya lebih lincah ketimbang biasanya. Karena hujan turun dengan derasnya menemani semesta. Membuat Raya melampiaskan permulaan tulisannya sambil menunggu kopi hitam pesanannya tiba.

Dalam arah langkah mengelilingi semesta. Waktu berputar begitu cepat. Udara yang dihembus terasa menjadi sebuah kenikmatan yang luar biasa. Suatu kesyukuran atas takdir. Sebab, Tuhan masih memberi rahmat-Nya kepada hamba untuk terus berusaha.

Dan kaki akan terus melangkah. Menggapai segala mimpi. Menyingkirkan segala olokan yang coba melemahkan nalar kritis. Dan di atas tanah sejarah kita masih tetap berdiri dengan kuat. Memandangi langit-langit yang sedang meluapkan air mata.

Maukah kau menyertaiku mengukir keindahan langit? Lalu, menyelami setiap pengelaman jadi sebuah petualangan yang luar biasa. Maka, mendekatlah pada diri yang sedang menunggu. Peganglah jemariku. Kita akan terus berjalan tanpa henti sebelum maut tiba.

Dan saat mendung tiba. Aku harus pergi meninggalkanmu. Walau aku tahu tangisanmu terus mengalir lewat sepucuk surat yang tersimpan di atas meja belajarku. Dan tepat hujan perlahan akan turun membasahi semesta. Aku menitipkanmu kado setia namun tetap ada tangisan. Semua karena 'Perihal Curiga' atas pandangan umum.

Maafkan aku Rani. Kali ini aku tak bisa memberi kepastian kapan kita akan bersama kembali. Mungkin, setelah air mata redah dan duga-sangkamu pergi. Baru kita akan menuai janji yang masih samar-samar. Doakan diriku saat kau menghadap Tuhan. Karena aku pun selalu menyertai doa-doa panjangku kepada Pemilik Bumi. Biar, kelak kita berjodoh dan didampingi sebuah anak bersejarah yang kita beri nama Raya.

Dan sebentar lagi ia akan lahir di bumi dengan pergulatan sejarahnya. Karena aku pergi demi pengarsipan. Hingga pulangku membuat sebuah gebrakan besar. Atas nama sebuah pinta dalam al-kisah Raya Mahardika dalam penggalan bahasa 'Aku Harus Pergi' meninggalkanmu.

- - -* * * - - -

Setelah selesai menulis tulisan yang sempat tertunda. Raya mengoreksi ulang. Dan akhirnya, ia legah telah menyelesaikan tulisan yang mendatanhkan air mata dan haru. Serta mendatangkan sebuah keyakinan dibalut rasa penasaran.

Raya coba menggambil gawainya. Ia mencari-cari kontak yang bisa dihubungi. Sekiranya, bisa menemani dirinya yang sedang sendirian. Karena Raya adalah lelaki periang dan suka berinteraksi sama siapa saja. Yang penting, ia dapat hal-hal baru yang penuh kesan. Tapi, kali ini Raya lebih menghubingi seorang kawannya yang selali setia pada saat duka dan bahagia. Kontak yang dicari-cari telah didapat. Raya layangkan pesan lewat aplikasi WhatshApp.

"Assalamualaikum, Posisi?"

Lama Raya menunggu pesan balasan. Ia kembali meneguk kopi hitam dan melanjutkan jemarinya tenggelam bersama inspirasinya. Jangan sampai, menunggu kelamaan tanpa ada sesuatu yang dibuat. Maka, akan datang sebuah kejenuhan dan rasa bosan. Raya selalu mengadikan momen jadi sebuah catatan berkesan.

Saat, Raya mau menekan tangannya di tombol keyboard laptop. Tiba-tiba bunyi notifikasi dari pesan WhatsApp. Raya segera membuka layar gawainya.

"Waalaikumsalam... Aku lagi nongkrong sama kawan-kawan. Kamu dimana?"

Raut wajah Raya berubah total setelah membaca pesan yang barusan dikirim oleh Adi. Seolah, kegembiraan kawan-kawannya mampu menyebarkan virus bahagia kepada Raya yang sedang dirundung sepi dan kegelisahan.

Adi merupakan kawan dekat Raya. Bagi Raya, Adi adalah kawan yang paling paham dan mengerti tentang sikap dan prinsip hidup Raya. Sehingga, keakraban itu tercipta karena sama-sama mengalami nasib sebaga para perantau yang sedang bergelut dengan tekanan kota dan gemuruh angin sampah yang melayang ke udara. Dan datangkan debu yang menempel pada setiap dinding-dinding berkaca.

Tangan Raya tetap menggenggam gawai hitam miliknya. Segera ia membalas pesan ke Adi.

"Ok, Aku tunggu di warkop Jaya Abadi. Ada hal penting yang harus dibicarakan."

Sambil menunggu Adi. Raya memilih ke kamar mandi untuk membasi rambutnya. Karena kekusaman masih tampak jelas pada diri. Hingga rambut berserak ingin terbang bersama kipas angin yang sedang terbang dan menari-nari mebiaskan udara pada para pengunjung warkop.

Sepuluh menit dalam penungguan. Tepat pukul 17.00 Adi tiba dengan wajah penuh kewaspadaan. Karena ia tanggapi serius apa yang dikatakan Raya melalu pesan WhatsApp. Dikiranya Adi sedang dirundung sebuah masalah besar. Adi seolah dikejar dan mempercepat langkah tanpa peduli, kalau bunyi sepatunya meminta perhatian para pengunjung yang lain.

"Ada apa, Ya?" Tanya Adi sambil menjabat tangannya Raya.

"Santai dulu, Di. Sebentar aku ceritakan. Kamu kaya tidak kenal aku saja. Ya udah, kamu pesan aja minumannya!" Pinta Raya sambil mengedit tulisannya.

"Jangan-jangan aku dikerjain lagi. Awas kalau dikerjain. Aku acak rambutmu. Biar jadi gembel sekalian." Canda Adi penuh semangat.

Adi dan Rama sering punya cara tersendiri untuk saling memberi kejutan. Bahkan, kadang-kadang ada saja konsep untuk membuat hal yang sulit jadi mudah. Suasana yang sepi jadi ramai. Dan masalah yang setumpuk jadi cair penuh dengan tawa ria. Karena dengan segala riang-gembira mereka hadapi masalah tanpa keluh. Sebab, setiap cobaan dan tantangan selalu saja punya jalan tersendiri untuk diselesaikan.

Apalagi, tugas sebagai seorang kawan harus saling mensuport dan menguatkan antara satu sama lain. Bukan saling menusuk atau memanfaatkan. Dan pada akhirnya, orang yang hendak ditolong menanti selusi. Malah diberi ragam cara palsu dan janji-janji manis belaka. Hingga persahatan hanya saling merugikan, namun tak membuat suatu mimpi dan kesepakatan bersama. Biar, menghabiskan masa muda dengan semangat kolektif yang terus-terus dijunjung tinggi.

Karena hidup adalah sebuah sandiwara, maka kita dituntut menjadi seorang dalang yang peka dan selalu bijaksana. Mampu meneropong batas gelap yang tersembunyi. Dan memahatnya dengan cahaya perlahan-lahan. Biar segala polemik bisa diatasi. Karena di atas dunia pun. Orang-orang punya kepentingan berbeda-beda Hingga emosi terkadang tak terkontrol. Muncullah persepsi subjektif dan duga-sangka. Kemudian saling hujat-menghujat tak pandang norma dan budaya.

Namun, tidak bagi Raya dan Adi. Mereka adalah dua kawan yang punya mimpi besar. Karena mimpi Raya dan Adi adalah "Sebagai anak muda, kita harus membuat suatu sejarah dengan cara tersendiri. Dan persahabatan tetap setia sampai mati. Sambil mengisi kekurangan menjadi senjata kekuatan yang baru."

Setelah menghabiskan kopi dan kesepakatan sebuah misi. Raya dan Adi meninggalkan warkop. Ketiga ditangga turun. Adi merasa gembira. Karena kali ini ia bukan dikerjain oleh Raya.

"Tidak sia-sia aku datang, man. Ini adalah misi yang harus kita siapkan dengan cara yang lebih cantik. Dan gerakannya tetap rapi. Terima kasih, Ya. Kamu memang lelaki gila dan penjahat kata yang pernah aku kenal," ucap Adi penuh kegembiraan.

"HAHAHAHAAAAA... Mantap rayuan dan gula kata pemberianmu, man. Seolah mengalahkan kopi yang masih tersisa di lidah liarku .... Jadilah kawan yang siap mengemban misi. Aku tak mau kau jadi pengkhianat. Ingat itu...!!! Canda Raya kepada Adi.

••●★★●••


(Masih dalam tahap editan)

Titik jenuh dan kebosanan ada dalam pikiran Raya, perlahan dibayar dengan berbagi cerita dengan kawan-kawannya. Walau bukan masalah pribadi yang jadi curhatan, tapi polemik yang sering terjadi di bangsa ini. Khususnya, tentang kehidupan kaum muda di kota metropolitan.

Zaman selalu menawarkan ragam cara untuk mencokoki pikiran. Perlahan coba merasuki keberanian menjadi sebuah hal yang tidak berguna hingga bersikap masa bodoh. Dan selalu menghindarkan diri pada persoalan yang terjadi. Sekiranya, jiwa pengecut sepertii ini tetap terbangun, maka generasi muda semakin hari akan memisahkan diri dari penderitaan masyarakat lemah. Belum lagi prinsip yang terbangun adalah memperbaiki diri sendiri itu lebih penting. Dari pada sibuk membantu orang lain yang sedang merasakan kesengsaraan.

Dan pemikiran seperti ini yang ditolak oleh Raya dan kawan-kawannya. Bagi mereka "Sebagai manusia yang memijakan kaki di atas semesta, kita ditugaskan untuk saling tolong-menolong terhadap sesama. Hingga tawaran dunia penuh jeritan kemegahan yang selalu bersembunyi dengam pola menghardik orang untuk bebas. Kalau kadaan ini terus dibiarkan, maka segala macam bentuk penindasan manusia atas manusia dan penindasan bangsa atas bangsa orang tak lagi menaruh harap untuk menyuarakan." Dan berlandaskan pada hal ini, maka Raya dan kawan-kawannya ingin menyebarkan virus idologisasi kepada orang lain. Apalagi, sebagai kaum muda yang memegang tongkat estafet arah-gerak bangsa ini.

"Kiranya, beberapa keresahan ini yang harus dicari point untuk meretas," Ujar Peri untuk mengajak kawan-kawannya yang sedang berdebat kusir.

"Aku sepakat, kalau wejangan indah ini harus kita selesaikan. Dari pada kita malah terus-terus berdebat tentang isu politik yang sering membodohi rakyat. Bukankah kita melihat politik itu bukan ada uang abang dibela, tidak ada uang abang ditinggalkan?" Tegas Peron.

HAHHAAAAAAA... isi ruangan penuh tawa terbahak-bahak. "Kamu itu, bahasnya uang melulu. Uang itu bukan raja. Dan pembahasan politik kita jangan kaku. Memangnya kamu sudah lihay banyak blusukan yang sering membagi-bagi uang sampai masuk ke kantong-kantong mahasiswa?" Tegas Raya membuat tawa hilang seketika.

Raya berbicara karena melihat sisi lain dalam dunia pendidikan yang ikut mengarah kepada kepentingan politik. Sampai, membuat sebuah percaruran silang antara senior dan jenior ada sebuah sekat pembeda.

"Jika watak penidas masih tumbuh subur di tanah air ini, maka mari perlahan kita basmi. Yang penting kita tetap memegang prinsip dan komitmen bersama. Yaitu, sebagai kawan tugas kita harus memberikan pemahaman yang baik krpada siapa yang membutuhkan. Biar kesesatan berpikir tidak menjadi menara gading yang penjarakam nalar kritis." Tambah Adi dengan suara berapi-api.

"Ini pada ngomongin, Apa? Kok, seru sekali...!!!" Tanya Rano yang baru datang dari pendakian.

"Lagi, bahas soal politik dan kegaduhan di bangsa ini. Lemahnya semangat kaum muda untuk bersatu demi membela kepentingan rakyat. Dan sikap kaum muda yang sering acuh tak acuh pada segala bentuk kesengsaraan." Jelas Raya pada Rano.

"Ohhhhh .... kiraian lagi bahas cewe. Atau dunia percintaan bertepuk sebelah tangan." Tangan Rano sambil mebuntuk ke arah Adi yang sedang menyimak pembicaraannya.

Arah jarum jam bergerak tanpa disadari. Waktu telah menunjukan pukul 00.000. Suara Raya dan kawan-kawan perlahan mulai dikecilkan. Karena takut mengganggu para tetangga yang sedang istirahat.

••●★★●••

Jika masih banyak orang yang masih cuek untuk berbuat suatu perubahan demi kepentingan orang banyak. Maka, mulailah dari sekarang. Dan jangan lupa ajak orang lain yang ingin mengabdikan dirinya demi kebenaran. Hingga, benih-benih kebersamaan selalu terpupuk untuk menggandeng yang lain.

Karena negara tak lagi mampu mengurusi segala soal waeganya dari Sabang-Merauke. Maka, isilah kekurangan dengan tenaga, pikiran, dan segala bantuanmu. Biar kita bukan hanya jagonya memberi kritik tanpa memberi solusi.

Kalau pun masih banyak lagi yang patah sekolah persoalan ekonomi, maka bentuklah komunitas atau taman belajar dengan suka rela. Sehingga, cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa bukan hanya tugasnya pemerintah. Tapi, kita yang puda pun diuji untuk selalu peka dan ragam cara.

Jangan sampai, titel dan sarjana hanya melahirkan pengangguran yang beranak-pinak. Maka, ciptakanlah lapangan kerja sebisamu. Sehingga, lulusan sarjana bukan jadi bandit yang memalak kepentingan warganya. Dan masig banyak lagi cari-cara lain yang lebih indah dan menawan.

Makassar, 28219 | Djik22

Komentar

Populer

FILOSOFI DAUN PISANG

Harapan dan mimpi dari setiap kepala tidak semua terpenuhi dengan usaha dan praktik. Tapi masih membutuhkan untuk saling dekat dan merespon segala polomik. Di masa yang akhir ini, perutmu telah melahirkan bayi yang masih merangkak dipaksa berjalan di kerikil jalan persimpangan. Dari rawat dan buaian, telah membuka mata batin, mengevaluasi adalah jalan yang tepat. Karena kurangnya menilai dari setiap sisi. Sehingga lahir dua persimpangan kiri kanan jalan. Mata telah terang, langkah sudah tepat, bersama sudah terpupuk, kesadaran mulai bangkit. Berdiri dan bergerak. Saatnya cahaya jadi penerang. Titipan amanah 20 21 11 14 jadi bahan belajar bersama. Filosofi "Daun Pisang dan Bidikan Panah yang Tepat" telah ditemui jawaban dan makna yang dalam. Dia bukan sekedar kata, tapi dialah nyawa setiap yang di dalam. Makassar, April 2017 By: Djik22

TOGAKU TAK IBU SAKSIKAN

Perjuanganmu ibu Mengantarkanku meraih mimpi Mataku lembab berhari-hari Setiap saat mengingat ibu Harapan ibu Aku tetap kuat Aku tetap melaju Tapi ibu Saat bahagiaku Takku tatap lagi ibu Wajah bersinar hadir dalam mimpiku Kala itu ibu Ibu Toga dan pakian kebahagiaanku Semua untuk ibu Togaku tak ibu saksikan Karena ibu telah tiada Yakinku ibu senyum melihatnya Tetap tersenyum di sisiku ibu Dua puluh tiga November dua ribu tiga belas Dua kali dengan angka tiga Ibu telah berbaring bergegas Makassar Minggu, 1 Oktober 2017 By: Djik22

PERLUKAH JEMBATAN PALMERAH?

Sedikit menggelitik, ketika wacana pembangunan jembatan Palmerah. Wacana ini, hadir di beberapa tahun terakir. Di tahun 2017, tidak kala seksi pendiskusian jembatan Palmerah. Maka muncullah pro dan kontra. Padahal merefleksikan wacana ini sangat penting. Kenapa Wacananya Jembatan Palmerah? Mari kita menganalisa secara seksama. Pertama, jembatan Palmerah adalah sejarah pertama di Indonesia bila terbangun. Karena menyambungkan dua pulau, yaitu Pulau Adonara dan Pulau Flores (Larantuka). Jarak jembatan Palmerah dengan panjang bentangan 800 meter akan dipasang turbin 400 meter. Kedua, persoalan proses pembangunan jembatan Palmerah dibutuhkan dana tidak sedikit. Diperkirakan dana mencapai Rp. 51 triliun. Hal ini, perlu dipikirkan. Karena Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi NTT pada tahun 2016 hanya mencapai Rp. 3,8 triliun. Sama halnya pemerintah mengajak kita mengutang dengan investor (swasta). Ketiga, jembatan Palmerah bukan proses meninabobokan masyarakat Flores Timur

ADONARA DALAM PUISI

Petuah kata sejarah Masih temani kaki untuk melangkah Dalam bayang-bayang ibu kuatkan hari Dalam jelmaan ayah pancarkan cahaya hati Hingga tebal awan kota Ingatkan suasan desa Dihimpit berdiri megahnya Ile Boleng Didekatkan Bukit Seburi tanah kampung Karena kitalah gunung yang berdiri Karena kitalah bukit yang menyapa Membawa bisikan bahari Ketika menghadap ke arah pantai Sampai kata dan petuah terus mengikut Wariskan api dari generasi ke generasi Tentang pentingnya menjaga kata Tentang indahnya memakai tenun ikat Maka... Tak kulupakan petuah indah dan keramat Tak kuingkari segala kata-kata bernyawa Di atas alam ditaburi darah dan air mata Karena air mata Bukan hanya tentang tangisan Bukan hanya tentang derita tanpa rasa Namun air mata darah tanda perjuangan Maka... Untuk mengingatmu yang di gunung Untuk mengenangmu yang di pantai Aku mengisi kata-kata lewat puisi Karena darah dan bisikan kata terus diasa Biar perang telah terganti buka dan pena

ANTARA (576)

Sering ada perbandingan pada kata 'antara' ketika diapit oleh kalimat. Antara kau dan aku ternyata banyak perbedaan, antara kau dan dia memiliki banyak kesamaan. Antara pacar dan mantan adalah orang yang pernah berlabu dan sementara bertahan. Baik terkandas di tengah jalan, mau pun mampu melewati batas getir yang melampau kesabaran. Namun, pada kata 'antara' seolah jadi misteri yang tersembunyi. Serupa kolom kosong yang disembunyikan dengan untain doa. Lalu, dipercaya menjadi sebuah legenda atau mitos. Bagaimana sesuatu yang dipercaya tapi tak pernah diinderai? Apakah setan yang berpenampilan putih pada malam Jumat hanya menakut-nakuti? Kemudian muncul pertanyaan, siapa yang menjahit pakian putih yang dipakai setan? Ulasan ini, aku dapati saat duduk di bangku SD. Sang guru selalu menakut-nakuti pada setiap siswa. Bahwa malam Jumat selalu ada tanda ketika melewati tempat-tempat gelap. Saat itu, aku dan kawan-kawan sebayaku selalu percaya. Namun, batang hidung p

KARYAMU TETAP MEMIKAT

Foto: Abdul Rahim (Khalifah05) Ketika doa-doa Telah kau panjat Dengan lemah-lembut Pada Tuhan Yang Esa Tak lupa pula Pintamu Pada para pendahulu Dengan merinding bulu-bulu Begitu dalam penghayatan Bersama angin Bersama waktu Bercampur masa lalu Maka... Yakin pun mendalam Tak secuil akan buram Tampak pada kaca belaka Namun ia selalu melekat Selalu mempererat Antara roh dan jasat Hingga karyamu tetap memikat Makassar Jumat, 21 September 2018 By: Djik22

PEMUDA SAHABAT PERUBAHAN (397)

Indonesia adalah negara yang terdiri dari ragam perbedaan. Baik suku, ras agama, budaya, dan corak berpikir. Inilah bagian kekhasan dari bangsa ini. Dengan kekhasan tersebut, maka tak heran bangsa Indonesia dikenal dengan kemajemukan dan menjujung tinggi perbedaan. Sebab perbedaan adalah varian dari semangat menuju persatuan. Belum lagi menerobos batas wilayah yang terdiri dari beberapa provinsi. Perlu kita menelisik lebih jauh lagi tentang bagaimana membangun tatanan bangsa. Supaya mampu keluar dari zona ketertinggalan. Ternyata, ketertinggalan adalah salah satu masalah dari apa yang dirasakan setelah revolusi Indonesia didengungkan. Walau merdeka secara pengakuan sudah memhudata sampai ke telinga anak cucu. Tapi pertanyaan besar yang harus dijawab, Kenapa merdeka secara praktik/ penerapan jauh panggang dari api? Ketika secara penerapan dalam kehidupan berbangsa mulai melenceng dengan dasar negara, maka harus kembali mengamalkan nilai-nilai kebaikan yang telah diletakan oleh