Sumber foto: Muh. Ramadhan Hamid
Kita terlahir dari keadaan sederhana
Kita tak harus merelakan diri
Untuk dibelunggu manusia bermuka-dua
Untuk memasrahkan diri tanpa rasa
Karena rasa itu terus membuat kita peka
Dengan segala sentuhan lembut
Dan timangan kasih tak gampang sedih
Tanpa merelakan yang tiba menghasut
Jika mereka pernah menghasut
Jika mereka pernah sakiti dengan pahit
Kita harus tetap sabar dan bermain cantik
Dengan jiwa yang ikhlas menatap ke langit
Tragedi terus berganti. Tiba dengan kesengajaan yang berlarut-larut. Ialah tragedi dari bumi dan manusia. Yang suka pada ketamakan dan kekuasaan. Namun, sebagai manusia yang sederhana, kita tak harus merelakan diri untuk terus dibelenggu. Karena mereka membelenggu kita dengan pola muka-dua. Sayangnya, kita tak menggubris segala hasutan. Biar Tuhan dan semesta yang membalasnya. Sebagai manusia, kita tak pernah dididik untuk menyimpan dendam. Apalagi, kita hidup hanya sementara di tanah sengketa. Sampai, diasingkan di tanah sendiri. Oh... dunia tanah dan air yang mulai mengamuk.
Tanah tempat kita berpijak, selalu menuntun dengan ajaran kebenaran. Maka, pesanmu selalu kuingat. Adalah pesan "tetap bermain cantik bila kesengajaan itu sering datang" dengan ragam pola dan cara-cara yang busuk. Sebab, kau dan aku masih ingat pada timangan lembut bunda dan jerih payah keringat ayah yang terus bercucuran. Yang penting, kita tak gampang sedih dan merelakan diri sebagai budak. Karena kita berdiri di atas kesamaan hukum sebagai warga negara.
Jika, kau pernah melangkah dan belajar secara tahap demi tahap. Maka, tetap ingatkan kami menyiapkan senjata. Menyiapkan segala kebaikan dan metode jitu untuk menghadapi para manusia bermuka-dua itu. Mereka baik di depan kita, tapi bejat dan munafik di belakang.Ternyata, semua yang terjadi adalah panggung sandiwara dari perlakuan mereka.
Kepercayaan dan keyakinan pada kebenaran yang menjadi titik dasar kita. Karena kita makan dan besar dari keringat sendiri. Apalagi, segala inspirasi selalu tiba. Maka, untuk kali ini aku lebih nyaman menatap ke langit. Biar suatu ketika, generasiku tak hanya menatap ke belakang. Tapi, harus menatap ke depan, kiri, kanan, dan ke atas. Karena kita terus berjalan maju. Sekali maju, kita tak pantang surut dan menyerah. Apalagi, mereka hanya mengancam dan nenakut-nakuti saja.
Makassar
Kamis, 7 Februari 2019
By: Djik22
Komentar