Sebuah cinta yang hilang. Saat itu, kau tiba dengan sulamanan tenun. Membangkitkan raga lewat senyum dan sapa. Hingga aku masih tetap berdiri mengagumimu.
_______
Dua puluh empat jam kau berikan perhatian. Setengahnya aku gunakan untuk mengeja patahan-patahan rindu. Dan tak ada lagi waktuku tersisa untuk lari ke lain hati. Jadi, jangan khawatirkan cintaku. Karena aku tak seperti cerita dan pendapat umum tentang sosok seorang lelaki.
Tepat adzan Magrib. Kabar darimu mengantarkan aku kembali ke Pemilik Semesta. Dan dengan ketenangan kuiyakan menjalankan perintah. Sebab, menanam bekal untuk setumpuk amal akan tetap berguna. Biar serpihan yang kotor dapat dibersihkan perlahan-lahan.
Kau datang lagi dengan kata-kata budaya "Jangan lupa pada helai benang-benang yang tersulam di tubuhmu. Karena ia sama dengan perekat budaya yang memiliki ciri khas tersendiri. Jika, ia tetap kau jaga, maka cintaku pun tak gampang kau nodai. Apalagi harus meragukan kesetiaanmu. Tetapalah jadi manusia yang tak lupa pada cinta dan budaya."
Sungguh indah hentakan kata-katamu. Dan aku mengucapkan "Terima kasih atas ingatan dan nasihat menawanmu. Yang coba kurenungi jadi sebuah senjata selama raga masih bergerak. Akan kujaga pemberianmu. Dan tetap kuhormati cinta dan keputusan setiamu."
Dan pada akhirnya, kita menjalin hubungan yang tak berakhir kata perpisahan. Karena kita berpegang pada prinsip kebenaran. Bukan prinsip atas dasar nafsu birahi yang membawa ke jurang kenikmatan. Maka, jadilah dirimu orang merdeka dan selalu tahu batas wajar sebagai manusia berbudaya.
Makassar, 25219 | Djik22
Komentar